Bukit (Gunung?) Di Tengah Pemukiman Sumedang
Berawal dari rasa penasaran saya pada beberapa dua bukit yang ada di sekitar rumah saya. Lokasi kedua bukit tersebut berada di tengah pemukiman padat penduduk dan tidak dikeruk seperti bukit lainnya yang kebanyakan beralih fungsi jadi perumahan. Bagus sih sebenarnya, jadi mempertahankan keseimbangan ekosistem dan menghasilkan oksigen.
Keduanya berlokasi di Sumedang Selatan. Saya pun menaiki keduanya untuk melihat ada apa di puncaknya. Perhatikan gambar di bawah ini. (Sumber Gambar dari Video Youtube Lensa Drone: Link).
Saya mencari informasi ke sekitar bukit tersebut dan ternyata di masyarakat sekitar lebih dikenal sebagai Gunung Cupu dan Gunung Merak.
Sudah jadi kebiasaan di kalangan masyarakat jika istilah gunung memiliki pengertian luas untuk menggambarkan suatu tanah yang lebih tinggi dari daerah di sekitarnya, terlepas dari berapapun ketinggiannya. Padahal jika mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, gunung/gu·nung/ n adalah bukit yang sangat besar dan tinggi (biasanya tingginya lebih dari 600 m). Itu artinya jika ketinggian tanahnya kurang dari 600m sebenarnya lebih cocok disebut bukit 😀
Gunung Cupu
Gunung Cupu berada di Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Sumedang Selatan. Akses menuju ke sana bisa melalui Jalan Pangeran Santri, dengan melalui Gang bertuliskan Pondok Pesantren Gunung Cupu. Selanjutnya berjalan kaki sekitar 5 menit melewati rumah-rumah warga kita sudah sampai di puncaknya.
Di puncak terdapat bangunan rumah yang di dalamnya ada beberapa makam. Menurut informasi yang saya kutip dari Channel Youtube Dedi Kusmayadi Soerialaga, makam tersebut adalah milik Ratu Nyimas Pasarean. Mungkin itu jugalah yang membuat daerah tersebut dinamakan Dusun Pasarean. Ratu Nyimas Pasarean atau Nyimas Halimah adalah putri dari Sunan Munding Saringsingan dan merupakan isteri ke-3 Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya. Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun adalah antara 1578 – 1610 Masehi, berarti nyimas Pasarean meninggal 3 tahun sesudah masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun.
Di sebelah kanan makam Ratu Nyimas Pasarean, ada 2 makam pengalihan dari bagian bawah wilayah Gunung Cupu karena merupakan tanah hak milik pribadi dan tergerus longsor. Jadi kedua makam tersebut bukan keluarga Ratu Nyimas Pasarean.
Selain makam Ratu Nyimas Pasarean, tepat di samping makam tersebut terdapat Pondok Pesantren Gunung Cupu pimpinan Ustad Hilmi Aminudin. Terdapat pula Komplek Makam Gunung Ciung Pasarean Gede, petilasan Resi Cupu alias Resi Sukmana, salah seorang dari 7 orang, jaman pengiring medal kamulyaan dari Kerajaan Salakanagara sekitar abad 3 sampai abad 4 Masehi, dan makam-makam lainnya yang tak dikenal oleh warga sekalipun, karena memang Gunung Cupu sejak jaman kerajaan Sumedang larang pun telah dijadikan lokasi pemakaman.
Gunung Merak
Gunung Merak berada tak jauh dari Gunung Cupu, hanya berjarak sekitar 300m ke arah timur. Lokasi tepatnya di Lingkungan Malangbong, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Untuk menuju ke sana kita bisa melalui Gang Gunung Merak, Jalan Kebonkol.
Menurut artikel Sumedang Ekspres, Gunung Merak sering dijadikan incaran orang dari luar kota untuk ziarah karena ada petilasan pada masa Kerajaan Sumedang Larang. Hal tersebut dikonfirmasi oleh warga sekitar gunung sehingga warga sekitar tidak ada yang berani mengeruk gunung tersebut. Adapun biasanya warga hanya memanfaatkan kayu-kayu dari sana sebagai kayu bakar.
Pada saat saya telusuri puncaknya, saya tidak menemukan bentuk-bentuk petilasan di sana. Kondisi puncak banyak ditumbuhi tanaman liar dan seperti tidak dikelola secara khusus. Entah di sebelah mana letak petilasannya mungkin tertutup oleh semak. Karena hari menjelang siang, dan di sana mulai panas, saya putuskan untuk turun.
Setidaknya saya tidak penasaran lagi dengan apa yang ada di kedua puncak gunung tersebut. Saya pun bisa melihat dengan jelas pemandangan ke pusat kota dari kedua gunung tersebut. Saya mengambil kesimpulan jika masyarakat kita lebih bisa mempertahankan area hijau di tengah kota jika ada petilasan/makam di puncaknya. Dan juga biasanya area tersebut merupakan tanah desa. Namun terlepas dari apapun alasan dipertahankannya gunung tersebut, yang jelas saya bersyukur masih ada kawasan hijau di tengah kota. Hal tersebut berbanding terbalik dengan bukit, tanah, dan pesawahan milik pribadi di sekitar rumah saya yang sudah berubah fungsi jadi perumahan. Memang itu hak pemilik tanah mau dibangun apapun. Namun terkadang pembangunan rumah di sini jarang mempertimbangkan konsep lingkungan dan penghijauan. Satu-satunya cara agar punya lingkungan yang ideal adalah dengan punya tanah luas dan menanami sendiri dengan pepohonan. Itu cita-cita saya sejak lama, semoga kesampaian, hehe.