Pendakian Ke Gunung Tampomas (2)
Setelah berulang kali naik ke Gunung Tampomas secara tektok (tidak menginap), terbersit di pikiran untuk sekali-kali camp di puncaknya. Dengan pertimbangan saat ini gear pendakian sudah agak lengkap sehingga tidak perlu menyewa. Saya juga berniat untuk napak tilas pendakian bersama teman SMA. Kalau dihitung sudah lebih dari 10 tahun dari terakhir saya mendaki Gunung Tampomas. (Pendakian Gunung Tampomas Pertama)
Hingga waktu pendakian tiba hari Sabtu, 10 Juni 2023, ternyata yang bisa hanya 2 orang termasuk saya. Ditambah ada 1 orang teman kantor yang juga ingin ikut sehingga total 3 orang. Berhubung kami semua tidak tahu kondisi terkini pos pendakian, kami putuskan untuk menyewa gocar hingga ke pos pendaftaran. Saya baru bisa berangkat setelah jam 12.00 karena ada pemilihan RW dulu di rumah.
Pos Pendaftaran (793 mdpl)
Kami akhirnya sampai di pos pendaftaran sekitar jam 14.00 WIB. Lokasinya di tanah datar di akhir jalan beton, tepat sebelum belokan tajam ke kanan yang ke arah TPA. Seingat saya dulu di lokasi ini hanya ada warung. Tarif pendakian Rp 15.000 per orang dan Rp. 5.000 untuk parkir motor. Saya bersyukur kini pendaftaran via Cibeureum dikelola dengan baik sehingga kalau bawa motor dari rumah pun sebenarnya bisa diparkir dengan aman di sini. Kalau 10 tahun lalu boro-boro, kalau naik dari Cibeureum kadang kita tidak perlu registrasi. Jadi biasanya kami hanya izin ke Polsek atau warung di pertigaan Jalan Raya Sumedang-Cibeureum.
Yang membuat saya miris adalah penggalian pasir di kaki Gunung Tampomas yang masih saja dilakukan. Padahal menurut keterangan penjaga pos yang kebetulan warga asli di situ, sebenarnya kandungan pasir Tampomas sudah menipis. Kini menyisakan batu dan kerikil yang dihaluskan oleh mesin sehingga jadilah pasir.
Pos Pendaftaran – Pintu Rimba (981 mdpl) 45 menit
Perjalanan dari pos pendaftaran dimulai sekitar pukul 14.10 WIB. Seiring dengan semakin populernya Gunung Tampomas, kini petunjuk jalur pun semakin jelas. Saya tidak harus memutar mengikuti jalur pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), namun ada petunjuk yang menuntun ke kiri ke arah padang ilalang. Ini jalan pintas yang efektif karena nantinya kita akan keluar di dekat hutan pinus dan pintu rimba. Menghemat sekitar 15 menit.
Pintu Rimba – Pos 1 (1.180 mdpl) 45 menit
Entah saya yang lupa atau memang pos 1-nya digeser ke atas. Seingat saya dulu Pos 1 ditandai dengan adanya pertigaan setelah ada gubuk di kiri. Jika lurus akan terus mengikuti jalur makadam yang biasa dilalui mobil untuk mengangkut getah pinus. Sedangkan jika ke kiri kita akan masuk ke jalan setapak memasuki hutan, sebagai tanda dimulainya trek tanah pendakian Tampomas. Tapi kali ini tidak ada tulisan apapun. Barulah sekitar 30 menit kemudian kami sampai di Pos 1.
Pos 1 – Pos 2 (1.307 mdpl) 30 menit
Trek yang kami lalui masih cukup ringan, ditambah dengan napas kami pun sudah mulai stabil. Kami bertemu beberapa pendaki dari Sumedang dan Subang. Cibeureum menjadi rute favorit bagi pendaki dari arah selatan. Sedangkan pendaki asal Cirebon/Indramayu biasanya lebih memilih via Narimbang karena lebih dekat. Sesampainya di pos 2 kami putuskan untuk salat Ashar terlebih dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Pos 2 – Pos 3 (1.406 mdpl) 30 menit
Pos 3 – Pos 4 Awi Kereteg (1.191 mdpl) 30 menit
Sesampainya di pos 4, kami tidak lagi melihat pendaki lain dari jalur kami maupun dari arah simpang Narimbang. Sepertinya kami rombongan terakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 dan sudah gelap. Akhirnya kami putuskan untuk salat Maghrib dulu sambil mempersiapkan headlamp. Sialnya, saya belum sempat menyiapkan headlamp dan hanya membawa senter yang cahayanya mulai redup.
Pos 4 – Pos 5 Sanghyang Lawang – Sanghyang Taraje (1.548 mdpl)
Jika dulu di Sanghyang Lawang ada gubuk, maka sekarang sudah tidak ada. Sanghyang Lawang ditandai dengan adanya batu besar yang berada di sisi kanan. Area ini dipercaya menjadi “gerbang” menuju dunia ghoib sehingga masih banyak yang menyimpan sesajen di sana. Area ini sekaligus menjadi pembuka bagi tanjakan-tanjakan ekstrim yaitu Sanghyang Taraje dan Sanghyang Tikoro.
Pos 5 – Pos 6 Sanghyang Tikoro (1.604 mdpl)
Sanghyang Taraje dalam bahasa sunda berarti “tangga bambu” karena memang trek seperti tangga bambu yang ditempatkan di dinding, sempit dan curam. Namun itu baru level medium jika dibanding Sanghyang Tikoro. Sanghyang Tikoro adalah titik tercuram dari trek pendakian Gunung Tampomas. Jika dilihat dari kejauhan Gunung Tampomas membentuk kerucut (stratovolcano) yang nyaris mendekati vertikal, nah disitulah letak Sanghyang Tikoro. Tikoro berarti “kerongkokongan” sesuai dengan kenyataan trek aslinya yang nyaris vertikal, mungkin di atas 70 derajat. Saya cukup kesulitan berjalan di sana karena kali ini membawa beban logistik yang banyak.
Pos 6 – Puncak Tampomas (1.684 mdpl)
Sekitar pukul 19.00 kami sampai di puncak Gunung Tampomas. Di sana nampak sudah banyak para pendaki yang mendirikan tenda. Untungnya masih tersisa 1 area strategis menghadap ke barat untuk kami mendirikan tenda. Sebagai pengalaman pertama camp di Gunung Tampomas, saya kira ini perjalanan yang cukup sukses. Jika perjalanan tektok kita dituntut untuk cepat karena dikejar waktu. Nah, jika menginap seperti ini, kita lebih santai dan bisa menikmati perjalanan. Sebagai bonus, kami disuguhkan pemandangan Milky Way (galaksi Bima Sakti) yang menakjubkan. Kami juga sempatkan untuk mengunjungi petilasan sebelum pulang.