Pendakian Gunung Ciremai
Berbeda dengan kebanyakan tulisan tentang pendakian yang beredar di internet, tulisan ini bukan untuk memberikan petunjuk mendaki Gunung Ciremai. Saya bukan pendaki dengan jam terbang tinggi yang bisa memberikan penjelasan detail tata cara naik gunung yang baik. Saya malah tidak menyarankan untuk mencontoh pendakian kami kali ini. Tulisan ini hanya sebagai pengingat saya karena telah mendaki Gunung Ciremai untuk pertama kali. Tentunya setiap orang pasti punya pengalaman yang berbeda di setiap pendakiannya.
Berawal dari rasa rindu muncak pada bulan Agustus 2017 yang biasanya rutin saya lakukan setiap bulan Agustus di tahun-tahun sebelumnya. Saya pikir hal yang sangat disayangkan saat saya telah tinggal di kota Majalengka selama 2 tahun tapi belum pernah naik ke puncak Ciremai. Padahal Majalengka itu ada di kaki gunung Ciremai dan Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat (3.078 mdpl). Termasuk kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang terletak di perbatasan kota Cirebon, Kuningan, dan Majalengka.
Rencana pendakian ke Ciremai terbilang mendadak. Saya mencari teman sekantor yang pernah ke Ciremai, juga beberapa teman yang tertarik untuk bergabung. Kurang dari 2 minggu, peserta terkumpul 5 orang termasuk saya, satu diantaranya sudah pernah naik. Namanya Ardi, orang asli Majalengka. Sisanya saya, Wildan, Rizky, dan Fajar belum pernah ke Ciremai. Saya rasa sudah cukup lima orang, karena makin banyak orang, makin lama persiapan sedangkan saya menargetkan tanggal pendakian 25 Agustus, Jumat, sepulang dari kantor. Dengan asumsi hari Sabtu pagi sudah sampai di puncak, sorenya pulang, dan Minggu bisa beristirahat.
Jumat, 25 Agustus 2017
Waktu pendakian tiba. Kami sudah briefing dan packing sebelumnya. Sepulang kantor hanya tinggal mengganti pakaian dan berkumpul di Terminal Maja. Di basecamp disediakan tempat parkir sehingga kami menggunakan motor pribadi tanpa perlu naik ojek/mobil bak seperti pendaki pada umumnya. Rencana perjalanan dimulai setelah maghrib, lalu mendaki via jalur Apuy, mendirikan tenda dan istirahat jam 23.00 di pos 5, dan dilanjut jam 4 subuh untuk berburu sunrise.
Ya namanya juga rencana. Hahaha. Karena satu dan lain hal, kami baru sampai di basecamp Ciremai jam 21.00. Saat registrasi, petugasnya tidak mau mengambil resiko dengan mengizinkan kami naik, meskipun sudah ada yang hapal jalan. Mayoritas pendaki sudah ada atas saat ini. Hanya kami berlima yang mau naik. Lain ceritanya jika kami berangkat bersama guide atau join dengan rombongan yang lebih besar. Kami melihat itu sebagai pertanda yang kurang bagus. Kami sadar hanya tamu, sehingga memutuskan untuk menuruti saran petugas TNGC untuk tidur di basecamp dan meneruskan perjalanan besok subuh. Saya lihat ada 2 tenda di dekat basecamp, berarti ada pendaki lain yang juga memutuskan naik besok subuh.
Sialnya, insomnia saya datang pada saat yang tidak tepat. Ini bukan pertama kali saya datang ke tempat baru dan tidak bisa tidur. Udara dingin musim kemarau makin menusuk menjelang subuh. Baju tebal, jaket, dan sleeping bag lumayan membantu menghangatkan, tapi tetap saja saya ga bisa tidur. Akhirnya saya putuskan menyerah dan nongkrong di dekat api unggun. Saya lihat Rizky juga ada di sana, sepertinya bernasib sama.
Basecamp (Berod) – Pos 1 (Arban)
Sabtu, 26 Agustus, sekitar pukul 4.00 kami berangkat dari base camp. Pendakian via jalur Apuy-Majalengka adalah jalur yang paling mudah. Terhitung ada 6 pos, lebih singkat jika dibandingkan 2 jalur lainnya, yaitu Linggarjati- Cirebon (11 pos) dan Palutungan-Kuningan (8 pos). Perjalanan ke pos 1 relatif mudah karena baru awal. Menanjak tapi tidak terlalu curam. Jalan masih didominasi aspal kasar yang lebar. Sepertinya motor/mobil 4WD masih bisa naik ke pos 1 jika dalam keadaan darurat.
Kami disambut dengan bangunan pos 1 yang cukup kokoh. Tapi saya bingung karena justru tulisannya pos 2. Ternyata dulu Arban memang pos 2 dan Berod adalah pos 1. Lalu karena banyaknya minat pendaki, TNGC mengelola Pos Berod sehingga bisa masuk mobil, menyediakan lahan parkir, ada banyak warung dan toilet, sehingga layak menjadi basecamp. Akhirnya basecamp yang asalnya di area pemukiman penduduk dipindah ke Berod dan Arban berubah menjadi Pos 1. Kebayang dong dulu basecamp-nya di bawah, ada tambahan ekstra beberapa km untuk pemanasan. Hehe.
Perjalanan sekitar 60 menit, namun Fajar tidak menlanjutkan perjalanan karena terkendala kondisi fisik. Setelah berunding, kami memutuskan untuk membagi 2 tim. Saya dan Wildan menunggu di Pos 1, Ardi dan Rizky mengantar Fajar kembali ke basecamp. Perjalanan dilanjut jam 7.00 saat Ardi dan Rizky sudah kembali, tentunya dengan 4 personel saja.
Pos 1 (Arban) – Pos 2 (Tegal Pasang) – 75 menit
Pijakan sudah tak lagi aspal/sirtu, tapi sepenuhnya tanah dengan akar pohon sebagai anak tangganya. Lebih nyaman sih di kaki. Menit demi menit berlalu, tanjakan curam terus menyambut kami tanpa henti. Pemandangan di kanan kiri mulai rimbun. Sesekali kami istirahat minum. Entah karena jalur yang panjang atau memang tubuh kami yang sedang beradaptasi. Dibutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk sampai, sekitar 1 jam 15 menit.
Sesampainya di pos 2, kami beristirahat dengan makan cemilan ringan untuk berusaha mengembalikan energi yang terkuras. Kami menargetkan jika istirahat per pos cukup 10 menit saja agar tubuh kami tidak kembali dingin serta untuk menghemat waktu. Dulu pos ini adalah pos bayangan, yang kini naik kelas jadi pos 2 setelah basecamp pindah ke Berod.
Pos 2 (Tegal Pasang) – Pos 3 (Tegal Masawa) – 60 menit
Tanjakan semakin curam dari sebelumnya. Ditambah dengan beberapa rintangan sejumlah pohon tumbang dan dahan yang menyilang ke jalan. Untungnya, kaki kami sepertinya sudah terbiasa dengan jalur pendakian. Ritme perjalanan kami pun sudah mulai terbaca. Kecepatan pendakian kami atur agar tidak terpisah jauh. Saya lebih sering mengambil posisi sebagai sweeper, paling belakang.
Sesampainya di pos 3, jam menunjukan pukul 10.00. Roti dan coklat saja sudah tak lagi bisa mengganjal perut. Kami putuskan untuk membuka perbekalan. Benar kata orang, kalau sedang lapar apa saja enak. Kami menggabungkan semua perbekalan yang kami miliki. Ada nasi, telur dadar, telur asin, tahu, tempe, bahkan mie rebus mentah yang dibubukan. hahaha. Lahap sekali kami makan sampai tidak ada yang tersisa.
Pos 3 (Tegal Masawa) – Pos 4 (Tegal Mamuju) – 60 menit
Vegetasi di sekitar kami didominasi pohon besar yang menjulang tinggi. Juga banyak rotan khas hutan tropis. Langit pun tertutup rimbunnya pepohonan. Kami menghibur diri dengan lelucon untuk membunuh waktu. Bercerita kesana kemari. Membahas topik yang membuat perjalanan tidak terasa.
Pos 4 (Tegal Mamuju) – Pos 5 (Sanghiang Rangkah) – 60 menit
Kami berjalan pada jalan setapak yang sempit. Jalan setapak yang tak lain adalah jalur aliran air. Jika sedang hujan pasti akan sangat merepotkan berjalan di situ. Kami sering berpapasan dengan pendaki dari atas, salah satu rombongan harus mengalah karena kami tak bisa lewat jalur secara bersamaan. Menurut info dari pendaki yang turun, di pos 5 sangat ramai. Pasti banyak pendaki merayakan 17 Agustus di puncak.
Ternyata benar, pos 5 sudah seperti pasar. Nyaris tidak ada tempat untuk mendirikan tenda. Ada puluhan pendaki lain yang sedang beristirahat di sana. Terpaksa kami mendirikan tenda sebelum pos 5, mencari tanah yang cukup datar.
Pos 5 (Sanghiang Rangkah) – Pos 6 (Goa Walet) – 120 menit
Pendakian sebenarnya dimulai. Semua carrier kami tinggalkan di tenda dengan hanya membawa air dan cemilan secukupnya.
Jalur semakin menggila. Kedua tangan harus aktif meraih akar karena menggunakan kedua kaki saja tak lagi cukup. Tanjakannya mungkin sekitar 70-80 derajat. Kini sudah tak ada lagi pohon-pohon besar yang teduh. Hanya ada semak, ilalang, dan perdu. Kepala terpapar langsung sinar matahari. Ditambah lagi dengan debu saat ada pendaki lain yang turun karena pijakan kita bukan lagi tanah, tapi pasir dan batu. Syal, sarung tangan, dan penutup kepala sebaiknya digunakan. Meskipun udara sejuk dan banyak angin, tapi saat itu tengah hari. Kulit bisa terbakar jika dibiarkan terpapar begitu saja.
Tak terhitung berapa kali kami istirahat. Kali ini saya yang mengatur ritme pendakian, menentukan kapan istirahat. Sejak pos 5 saya memang lebih banyak berjalan di depan, sedangkan Ardi jadi sweeper di belakang. Kami lebih banyak diam tanpa obrolan-obrolan tidak penting untuk menghemat tenaga.
Satu-satunya yang menghibur saya adalah beberapa edelweiss yang saya jumpai di sepanjang jalur pendakian. Cukup memanjakan mata. Di sisi kanan saya, di seberang lembah, ada banyak rombongan lain yang naik via jalur Palutungan. Kami akan bertemu di sebuah pertigaan sebelum pos 6.
Pos 6 (Goa Walet) – Puncak – 30 menit
Pos 6 dinamakan goa walet karena memang ada sebuah gua besar di sana. Ada sumber air juga. Hanya saja pendaki tidak diizinkan mendirikan tenda di sana ataupun di sekitar pos 6. Daerahnya terlalu terbuka. Angin bertiup sangat kencang dan tidak ada tempat berlindung.
Jika saya melihat ke arah puncak, terlihat sangat dekat tapi kok ga sampai-sampai. Hehe. Naiknya sampai merangkak-merangkak gini. Kami berempat sepakat kalau perjalanan dari pos 5 ke puncak adalah yang paling berat, paling menguras tenaga.
Di perjalanan ke puncak saya bertemu gadis SMA yang terpisah dari rombongannya. Katanya ia sedang menunggu teman-temannya tapi tak kunjung datang. Tapi saya tidak berpapasan dengan rombongan anak SMA. Berarti mereka ada jauh di bawah. Karena tidak ada teman dan mulai bosan menunggu lama, akhirnya ia minta izin untuk ikut dengan saya ke puncak. Saya pun mengiyakan. Saya lupa namanya, sebut saja ‘Eneng’.
Tak lama kemudian kami sampai di puncaaak!
https://www.youtube.com/watch?v=8BwXCA9bbcI
Mantap men, cuacanya cerah. Terlihat jelas lautan awan di bawah sana. Rasanya rasa lelah saya langsung terbayarkan walaupun tidak bisa lihat sunrise.
Di kejauhan saya bisa lihat Waduk Dharma di Kuningan, bisa melihat kota Majalengka, dan gunung-gunung lain di Jawa Barat yang terlihat kecil. Di puncak juga tidak ada siapa-siapa jadi leluasa berfoto di spot manapun. Mayoritas pendaki sudah pada turun tadi. Kami sampai pukul 13.00 dan menghabiskan waktu lama di sana. Meskipun betah di puncak, tapi mau tak mau kami harus turun agar tidak kesorean.
Waktunya pulang
Perjalanan pulang relatif cepat. Hanya 20 menit/pos. Jam 15.00 kami sudah sampai kembali di pos 5 dan istirahat sejenak di tenda. Setelah dipertimbangkan lagi, dengan kecepatan seperti ini seharusnya kami bisa sampai di bawah dengan cepat sehingga tidak perlu bermalam lagi. Tidur di kosan tentunya lebih nyaman dibandingkan di tenda. Akhirnya kami nekat untuk langsung turun. Kalaupun tidak kuat ya sudah tinggal dirikan tenda lagi.
Meski matahari mulai terbenam, saya lihat teman-teman saya terus saja berjalan, malah makin cepat. Di pos terakhir saya tertinggal cukup jauh, tapi mereka masih bisa saya lihat di kejauhan. Saya sangat payah menghadapi trek turunan. Lutut mulai tidak bisa diajak kompromi, terutama saat melangkah di jalanan aspal kasar. Lebih nyaman jalanan tanah. Belum lagi rasa kantuk yang mulai menyerang setelah semalam tidak tidur.
Saya mencoba menghibur diri dengan membayangkan di kosan nanti akan berendam air hangat, lalu tidur di kasur yang empuk, besok hari Minggu dan saya bisa bangun siang.
Sesampainya di basecamp, saya disambut oleh beberapa petugas TNGC yang mengucapkan selamat karena telah berhasil kembali, beberapa menanyakan keadaan saya, memastikan saya baik-baik saja. Mungkin karena langkah saya sudah kacau dan wajah yang pucat. hahaha. Saya acungi jempol kepedulian mereka. Saya diarahkan untuk membuang sampah bekas botol minuman ke tempat yang sudah disediakan, lalu makan di warung dan diberikan sertifikat sebagai fasilitas yang include dalam pendakian ini.
Di sela makan malam, kami mengobrol cukup seru. Kami sendiri tak percaya kalau kami baru saja mendaki Gunung Ciremai pulang-pergi! Terkesan memaksa. Tapi seperti saya bilang sebelumnya, lebih baik jangan ditiru, cukup ambil positifnya saja.
Jadi pelajaran yang bisa diambil dari pendakian Ciremai ini adalah:
- Disarankan untuk menghindari perjalanan di malam hari apalagi tanpa guide dan tidak benar-benar terlatih.
- Jika merasa lelah, istirahatlah, jangan memaksakan diri. Ketahui batas kemampuan sendiri.
- Patuhi setiap peraturan yang ada.
- Bawa kembali sampah saat kalian turun.
- Dan yang paling penting, tetap jaga kelestarian lingkungan.
Sekian, semoga tulisan saya bermanfaat.