The Infinite Loops – Chapter 8 (End)
Sebelumnya dalam The Infinite Loops:
Efek penggunaan jurus Sozo Saisei dalam dalam jangka panjang telah memperpendek umur Hinata. Di loop ke-18 Hinata mati di usia 16 tahun. Dan ini jadi pukulan telak bagi Naruto sehingga ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Naruto menusuk jantungnya sendiri dengan harapan bunuh diri akan menghentikan loop.
Namun sayangnya ia salah.
Loop terus saja terjadi…
“Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu! Lavender berarti pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Kenapa kau tak juga mengingatnya!” Naruto mengguncang-guncangkan badan mungil Hinata.
“M-maaf… aku tidak tahu.”
“Arghh!”
Hinata ke-18 sudah benar-benar mati, kenangan yang pernah mereka miliki sudah lenyap begitu saja…
Naruto memegang dadanya yang kembali terasa sakit. Ini terlalu sakit. Naruto sudah tak tahan. Naruto bunuh diri lagi dengan cara menjatuhkan dirinya dari atas monumen Hokage.
Ia bangun di kelas lagi.
Bunuh diri lagi.
Lagi….
Lagi….
Lagi….
Sampai ia lupa bagaimana rasanya ‘sakit’ dan bagaimana rasanya ‘mati’.
Chapter 8
“Reason to Life”
Naruto Point of View
“Semua Hinata itu sama. Jika kau pikir kami beda, berarti kau tidak benar-benar melihat hati dan kesungguhan kami. Bagaimanapun sikap yang kami tunjukkan, bagaimanapun tampilan luar kami, pada dasarnya kami punya satu kesamaan. Kami semua amat menyayangimu. Semua Hinata menyayangimu tanpa terkecuali. Jadi berjanjilah, tolong perlakukan Hinata selanjutnya dengan baik…”
“Ghhh!”
Aku tersentak dan bangun dari tempat tidurku. Saat kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, kusadari kalau aku sedang berada di sebuah ruang perawatan di rumah sakit Konoha. Aku tak begitu mengingat apa yang terjadi hingga membuatku berada di sini, namun sepertinya seseorang menggagalkan usaha bunuh diriku yang terakhir sehingga aku berada di rumah sakit dengan beberapa luka goresan saja.
“Kau sudah bangun,” gumam Iruka yang ternyata ada di sampingku, duduk di kursi bulat. “Kau sudah 3 hari pingsan. Apa kau baik-baik saja?”
Aku tak menjawab. Aku lebih sibuk dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Aku ingat beberapa hal yang kulakukan sebelum terbaring di sini. Aku masuk kembali ke loop, yang kini sudah loop ke-24. Lalu memastikan apakah Hinata mengingat memori dari loop sebelumnya. Saat tahu Hinata tidak mengingatnya, aku bermaksud untuk bunuh diri lagi. Sampai akhirnya aku ada di sini.
Ingatan tentang kehilangan Hinata 18 kembali terngiang di otakku, diiringi rasa sakit di kepala dan dada yang begitu menusuk. Kenapa rasa sakit di hati ini tak juga hilang? Aku sudah kehabisan ide untuk mengakhiri loop ini sehingga yang terpikir adalah mengakhiri hidupku lagi, lagi, dan lagi, berharap loop akan berakhir.
Kuedarkan pandanganku sekali lagi ke sekeliling ruangan, mencari alat yang bisa kupakai untuk mengakhiri hidup. Cukup sulit mencari benda tajam yang bisa kupakai di ruang perawatan. Tiba-tiba kulihat kantong kunai kecil di kaki kanan Iruka.
‘Itu bisa kugunakan’, pikirku.
Dalam sekali gerakan cepat kurebut kantong Iruka dan kukeluarkan kunai dari tempatnya. Tanpa basa-basi lagi kuarahkan ke dada kiriku, tempat jantung yang menopang kehidupanku berdetak.
“HEI!!!”
SRAAT!!
Tanpa kuduga Iruka berhasil menahan kunai yang kuarahkan ke jantungku dengan tangannya. Ia memegang kedua sisi tajam kunai dengan tangan kanannya karena tak sempat menahan tanganku.
“Apa yang kau lakukan Naruto?! Apa kau sudah gila?” bentaknya.
“Bagaimana jika memang aku sudah gila?”
“Kau tak boleh melakukan ini! Kau bisa ceritakan padaku jika ada masalah!”
Aku tak juga menjawab. Telapak tangan Iruka mulai berdarah. Darah mengalir ke tangannya, sebagian menetes ke bajuku.
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tolong hentikan ini!”
Ia menarik paksa kunai yang kupegang dan melemparnya ke lantai.
“Kau tidak mengerti!” bentakku, tersinggung dengan pernyataannya. “Apa kau tahu tentang rasa sakitku?! Apa kau pernah kehilangan orang yang kau sayangi secara berulang-ulang? Ini bukan tentang sikap penduduk ataupun kesepian dan kesendirianku. Ini masalah yang lebih rumit, jadi berhenti sok tahu dan seolah kau mengerti!!!”
Iruka tersentak mendengar bentakkanku. Ia menatapku heran. Ada rasa ketakutan yang tergambar jelas di matanya. Aku memang sering membuatnya kesal, tapi aku tak pernah membentaknya sampai sekasar ini.
“Kalau begitu ceritakan padaku,” gumam Iruka pelan. Ia berusaha menahan emosinya agar tidak sama-sama bersikeras.
Aku menunduk menyembunyikan reaksi penolakanku. Aku tidak mau menceritakan masalahku padanya. Tidak secepat ini. Aku melepas selang infus di tanganku kemudian beranjak ke arah pintu. Iruka berusaha menahanku namun ia tak mampu.
“Hidupmu terlalu berharga untuk kau akhiri begitu saja!”
“Aku tidak akan mencoba bunuh diri lagi,” gumamku. “Aku hanya butuh waktu sendiri.”
“Sebaiknya kau istirahat dulu. Ada benturan di kepalamu yang membuatmu harus menjalani pemeriksaan berkala,” cegahnya.
Kujawab dengan sebuah gelengan kepala. “Aku ingin menenangkan pikiranku dulu di luar.”
“Tapi keadaanmu-“
Iruka nampak iba kepadaku. Ia juga sepertinya sadar kalau ada yang berbeda dengan tatapanku saat ini, tatapan yang jelas-jelas menunjukkan beban berat. Iruka lalu membiarkanku pergi.
“Jangan lakukan hal bodoh lagi. Carilah alasan untuk tetap hidup. Alasan yang bisa membuatmu semangat menjalani hari-harimu.”
Aku mengangguk, menghargai sikap baiknya melepasku. Karena aku yakin ia diberi tanggung jawab untuk menjagaku.
Mungkin maksudnya melakukan hal bodoh adalah bunuh diri.
Tidak, tidak.
Aku sudah menyerah. Sudah cukup. Aku sudah lelah bunuh diri. Lagi pula aku sudah tahu kalau bunuh diri ternyata tidak mengeluarkanku dari loop, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah. Bunuh diri hanya akan membuatku kebal dari rasa sakit dan itu bahaya.
Aku berjalan sempoyongan keluar dari rumah sakit. Menelusuri lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung. Sesekali kupegang kepalaku yang masih terasa sakit. Inilah hal yang sempat dikhawatirkan oleh Hinata 18.
Ada yang tak beres dengan diriku.
Beban mental ini semakin parah sampai pada titik dimana pada waktu-waktu tertentu aku akan lupa apa yang sedang kulakukan. Kenapa aku berada di suatu tempat? Misalnya sekarang. Aku berada di… pintu masuk hutan kematian. Aku tak tahu kenapa aku ke sini. Selanjutnya aku mendapati diriku terbaring di apartemenku. Kapan aku berjalan menuju ke sini? Pikiranku melayang entah kemana.
Keesokan harinya aku kembali keluar membiarkan kedua kaki ini membawaku. Sakit kepalaku sudah agak mendingan. Kali ini kakiku sampai di depan kediaman Hyuuga tanpa tahu harus apa. Aku tak tahu apa aku pernah merencanakan untuk berkunjung ke Hyuuga Mansion?
Aku dihadapkan pada tempat yang sangat familiar yang sering kukunjungi di kehidupan sebelumnya. Tempat yang punya banyak kenangan dan memori berharga. Tempatku tinggal sebelum mampu membeli rumah sendiri.
Tak lama kemudian Hinata muncul dari gerbang utama. Sang penghuni yang baru keluar pun harus kaget saat pagi-pagi begini melihat sosok yang – dalam kehidupan kali ini – tak biasanya berkunjung ke Hyuuga Mansion. Tak akan terlintas sedikitpun di pikirannya kalau aku akan datang berkunjung. Sang gadis Hyuuga pun bingung karena setelah sekian lama tak ada satu katapun yang terucap dari mulutku. Yang ada hanya tatapan sendu yang menyiratkan banyak beban dan kesedihan.
Tanpa sepatah kata pun aku meninggalkannya begitu saja. Meninggalkan banyak pertanyaan di benak Hinata.
Aku sampai di akademi duluan dan disambut tatapan heran seisi kelas. Mereka masih ingat insiden 4 hari lalu saat aku mengamuk. Kini aku memilih bangku di paling belakang. Kuputuskan untuk datang karena tak ada lagi kegiatan yang bisa kulakukan di apartemen. Tanpa kuduga Hinata duduk di sampingku sambil memberikan setumpuk buku catatan. Kuperkirakan itu catatan pelajaran selama 3 hari saat aku tak masuk.
Aku yakin Hinata mati-matian untuk menahan rasa malunya. Sejak tadi kulihat ia terlihat tegang. Ini memang hal baru yang belum pernah dilakukan Hinata-Hinata sebelumnya. Ia cukup pintar untuk menyadari kesedihanku pagi tadi sehingga berinisiatif mencari tahu penyebabnya. Ia tahu ada hal luar biasa yang mengubah total sifatku sejak 4 hari lalu. Karena itulah saat ini bukan saatnya untuk merasa malu.
Aku masih berusaha keras untuk menanamkan pemikiran jika Hinata di setiap loop itu adalah orang yang sama. Itu hal yang luar biasa sulit karena pada kenyataannya sifat mereka berbeda. Akhirnya aku terus mengacuhkannya sepanjang hari. Buku catatannya tak kusentuh sama sekali.
Siang itu aku meninggalkan kelas lebih awal karena kepalaku agak pusing. Namun aku tidak langsung pulang. Aku memilih untuk menenangkan diri di ayunan di depan akademi. Itu tempat yang segar di tengah hari yang terik ini.
Saat kelas bubar, Hinata melihatku dan mendekatiku. Lama ia terdiam di dekatku sambil memainkan kedua telunjuknya. Hinata duduk bersandar di batang pohon maple yang besar. Pohon maple yang menjadi penumpu ayunan yang kududuki. Ia memang bukan tipe orang yang bisa membuka percakapan.
“K-kau di sini,” gumam Hinata akhirnya angkat bicara. “Tadi aku ke ruang kesehatan, kupikir kau di sana.”
“Aku sudah tidak apa-apa,” jawabku, menimpali usahanya untuk memulai percakapan. Aku ingin tahu bagaimana raut wajahnya saat itu, namun ia bicara tanpa memandangku. Ia hanya menunduk dan sesekali membuang muka ke arah lain
“Umm… Kalau begitu kenapa tadi tidak masuk lagi?” tanyanya.
“Aku punya masalah dengan ingatanku,” jawabku jujur. “Aku akan kesulitan mengingat banyak pelajaran. Jadi aku keluar saat kepalaku mulai sakit.”
“Oh ya? Apa separah itu?” tanya Hinata polos.
Aku mengangguk.
“Apa itu berarti kau akan sering tidak masuk kelas?” tanyanya ragu.
“Sepertinya begitu.”
Wajah Hinata berubah sedih. Oh, betapa aku membenci raut wajah sedih itu. Wajah cantiknya lebih cocok dihiasi keceriaan, bukan kesedihan seperti sekarang. Aku tahu sepenting apa makna kehadiranku di akademi bagi Hinata. Akulah alasan ia masuk ke akademi, akulah alasan yang membuatnya ingin lebih kuat. Jika aku tak lagi masuk ke akademi, maka Hinata butuh alasan lain yang membuatnya tetap berusaha untuk lebih kuat.
“Aku tidak butuh belajar setiap hari di akademi untuk jadi ninja yang hebat,” gumamku. “Lihat saja, kupastikan aku bisa mengalahkanmu meski tanpa belajar di akademi.”
Hinata tersenyum. Semangatnya telah kembali.
“Aku percaya padamu.”
Lama kami terdiam lagi. Saat tahu Hinata tak lagi bisa memulai percakapan, giliranku yang angkat bicara.
“Kenapa sikapmu seperti ini?” tanyaku.
“Maksudmu?” Hinata menatapku tak mengerti.
“Aku membentak dan mendorongmu 4 hari lalu. Aku nyaris membuatmu menangis. Aku selalu mengacuhkanmu. Tapi kenapa kau terus saja mendekatiku?”
“A-aku akan berhenti jika itu menganggumu,” ujar Hinata.
Hinata mundur selangkah dan berniat pergi, namun buru-buru aku menahan tangannya. Kuajak ia duduk di rumput, bersandar di pohon. Aku diam sejenak, membiarkan Hinata mengatur rasa gugupnya. Dalam keadaan normal Hinata akan pingsan, namun ia sadar ini bukan saatnya untuk pingsan. Ia tahu ada hal yang ingin kubicarakan.
“Tidak… Aku tidak keberatan. Aku hanya ingin tahu alasan kau melakukan ini.”
“Umm.. Aku tidak bisa jelaskan dengan kata-kata, yang jelas aku merasa ada yang aneh denganmu. Aku melihat raut kesedihan mendalam di matamu.”
Dia tahu!
“Begitu rupanya.” Aku menghirup napas dalam-dalam. Hinata memang tak bisa dibohongi. “Aku memang sedang punya masalah. Tapi maaf, aku tak bisa ceritakan padamu sekarang. Kau harus cari tahu sendiri.”
“Jadi… kau tidak keberatan dengan sikapku?”
“Ya. Meskipun kuakui ini adalah hal yang baru untukku.”
Hinata di kehidupan sebelumnya tak ada yang berani mendekatiku sejak di akademi. Aku dan Hinata tak pernah dekat di akademi. Kami nyaris tak pernah berinteraksi di usia 10 tahunan.
“Pastikan saja kau terbiasa dengan sikapku yang sekarang. Aku tak akan terlalu banyak bicara dan heboh di kelas. Aku akan bicara seperluku. Serta emosiku kadang tak terkontrol seperti kemarin.”
Hinata mengangguk cepat. Aku yakin ada banyak pertanyaan di benaknya atas alasan kenapa sikapku berubah total. Namun seperti sudah kubilang sebelumnya, ia tak berhak tahu. Setidaknya untuk saat ini, saat umur dan mentalnya belum siap. Aku berdiri dan bersiap pulang. Kuusap puncak kepala Hinata.
“Maaf atas kejadian 4 hari lalu.”
Hinata mengangguk lagi. Ia sudah kelihatan tak terlalu gugup.
“Naruto-kun!” panggil Hinata.
Aku menghentikan langkahku, kutatap Hinata penuh tanya. Senyuman itu tak pernah lepas dari wajah bulat 10 tahunnya.
“Lavender berarti pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan,” kata Hinata agak keras, memastikan aku bisa mendengarnya pada jarak kami yang terpisah 5 meter.
“Minggu lalu kau menanyakan arti bunga lavender dan aku tak tahu jawabannya,” jelas Hinata. “Kali ini aku sudah melihatnya di perpustakaan dan itulah artinya. Pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan.”
Aku tak menyangka Hinata masih ingat pertanyaanku. Padahal aku bertanya padanya dengan kasar hingga nyaris membuatnya menangis. Tadi Hinata memberikan jawaban setelah ia susah payah mencari artinya. Sebuah tingkah sederhana yang tak lagi sederhana bagiku, ini begitu berarti.
“Kau harus ingat arti bunga itu…sampai kapanpun.”
Setelah aku dan Hinata berbaikan, hari-hari selanjutnya kami tak segan untuk duduk sebangku. Bangku di belakang dekat jendela jadi bangku favorit kami. Baru kusadari kalau akhir-akhir ini aku hanya fokus pada Hinata dibanding pelajaran. Sudah kubilang ini hal baru bagiku. Aku tak pernah sedekat ini dengan Hinata saat kecil. Aku tidak pernah sebangku dengannya. Kini semuanya terlihat jelas bagiku. Aku bisa melihat bagaimana raut wajahnya saat sedang menulis, saat sedang serius memandang ke arah papan tulis, atau raut wajah bingungnya saat mengerjakan soal. Dulu, aku tak pernah punya niat untuk memperhatikannya karena kupikir dia aneh. Bodohnya aku.
‘Seorang ninja membutuhkan serangkaian seals untuk menyalurkan jumlah chakra yang tepat. Coba tuliskan 12 seals yang dipakai seorang ninja untuk membentuk jurus!’
Begitulah salah satu soal di papan tulis yang kami pelajari.
Kulihat Hinata sudah menulis 10 dan nampak bingung.
“Tori, I, Inu, Ushi, Mi, Ne, Uma, Saru, U, Hitsuji. Kau melewatkan Tora dan Tatsu,” bisikku kepada Hinata.
Hinata menatapku. Ia tak menyangka aku tahu jawabannya padahal dari tadi tidak memperhatikan Iruka.
“Oh. Tora dan Tatsu.”
“Jangan ragu untuk bertanya padaku jika kesulitan.”
“Baiklah.”
‘Ini tidak ada apa-apanya, Hinata. Dulu kau memberitahuku saat ujian,’ ujarku dalam hati, mengenang masa lalu.
“Mmm.. Kau tahu jawaban nomor 8?” tanya Hinata ragu.
Aku menengok ke papan tulis, lalu mengangguk.
“Ya. Biar kujelaskan.”
Kugeser dudukku agar lebih dekat dengan Hinata dan menjelaskan jawabanku. Sebaliknya, Hinata justru bergeser ke arah yang berlawanan. Sepertinya Hinata belum juga terbiasa dengan keberadaanku di dekatnya. Ada rasa segan dan malu jika ia berada di dekatku. Aku tahu perubahan sikapku ini terlalu mendadak sehingga Hinata kesulitan untuk bersikap di dekatku. Seperti halnya denganku, ini juga jadi hal yang baru untuk Hinata. Aku perlu sering berinteraksi dengan Hinata agar ia terbiasa dengan kehadiranku.
Hari ini di akademi diadakan sparring tradisional ninja satu lawan satu. Peserta dikelompokkan ke dalam grup laki-laki dan perempuan agar lebih adil. Namun ini membuatku bosan karena sparring ini dijadikan ajang para fans untuk menyaksikan idola mereka bertarung. Terjadilah sorakan-sorakan memekikkan telinga dari para fans yang bahkan tak bisa dicegah Iruka.
“Membosankan,” keluhku. Aku dan Hinata duduk di paling belakang, bersandar pada pagar kawat. Kami tidak tertarik melihat sparring orang lain karena lebih tertarik melihat sparring masing-masing. Hinata mengangguk menyetujui.
“Hyuuga Hinata dan Haruno Sakura.”
Akhirnya saat yang dinanti-nanti datang juga. Hinata maju ke area yang ditandai oleh lingkaran. Aku mengikuti di belakangnya, kulihat kedua tangannya bergetar.
“Kau gugup?” tanyaku.
“Ti-tidak.” Jawabnya tanpa menoleh. Aku tahu dia bohong.
“Jangan gugup begitu. Ini hanya sparring. Nanti aku akan berikan petunjuk agar kau menang.”
Dalam loop-loop sebelumnya Hinata memang menang, bahkan tanpa kuberi petunjuk. Namun aku hanya ingin memberinya ilmu dalam melihat kelemahan lawan. Sakura adalah kunoichi yang punya kekuatan fisik bagus di antara kunoichi lainnya. Potensi kekuatan pukulan dan tendangannya sudah terlihat sejak ia kecil. Hinata akan buang-buang tenaga jika harus menangkis serangan Sakura. Ia hanya perlu jadikan kelebihan Sakura sebagai celah untuk menang. Baca gerakan lawan, elak, dan serang.
Kedua kunoichi memberi salam.
“Mulai!” seru Iruka.
Sakura segera melesat melayangkan pukulan ke arah Hinata. Secara refleks Hinata menangkisnya. Kekuatan yang besar membuat Hinata nyaris keluar dari garis.
“Sakura hebaaatt!”
“Semangat, Sakura-chan!”
Teman-temanku mulai bersorak. Kelihatannya hanya aku yang mendukung Hinata. Hinata benar-benar under rate. Punya kekuatan besar tapi tidak diketahui orang.
“Jangan ditangkis!” teriakku. Hinata menatapku heran. Begitu juga semua orang di sana, sejenak menghentikan sorakan mereka. Kulihat hanya Iruka yang sadar, Ia tersenyum mengerti dengan apa yang kumaksud. “Dorong!”
Hinata mendorong Sakura sekuat tenaga. Kini tercipta lagi jarak di antara mereka.
“Menangkis akan membuatmu lelah. Baca gerakan lawan, elak, serang!” teriakku lagi.
Hinata pintar. Ia mengerti apa maksudku. Kali ini ia membaca kemana arah serangan Sakura. Saat gadis pink itu menyerang dari arah kiri, ia mengelak ke kanan, berputar, lalu melakukan jyuuken ke badan bagian samping Sakura. Sakura terlalu fokus pada serangan sehingga kuda-kudanya tak siap untuk menangkis. Ia terdorong ke luar lingkaran.
Plok! Plok! Plok!
Aku bertepuk tangan… sendirian.
Hanya aku yang bangga atas kemenangan Hinata. Yang lain sedang mematung, tak menyangka gadis pendiam di kelas bisa mengalahkan Sakura.
Terserahlah.
“Uzumaki Naruto dan Uchiha Sasuke.”
Giliranku.
“Yeaahhh, Sasuke-kun!”
“Kalahkan si bodoh itu!”
“Kau pasti menang, Sasuke-kun!”
Sekarang giliran fans perempuan yang ribut. Aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal.
“Wah, aku kekurangan supporter. Supporterku cuma satu,” gumamku sambil menoleh ke arah Hinata.
Hinata tersenyum. “Tapi aku yakin kau yang menang.” ujar Hinata.
“Kalau begitu pinjamkan kekuatanmu.” Aku mengenggam kedua tangan Hinata dan memejamkan mataku.
“Eh? Kau sedang apa?”
“Aku sedang mentransfer kekuatan.”
“Apa itu memungkinkan?” Hinata memiringkan kepalanya, keningnya berkerut, tak habis pikir dengan yang kulakukan.
“Lihat saja,” ujarku sambil berlalu ke area sparring.
“Mulai!”
Pertandingan dimulai.
Kuda-kudaku agak lebar dan ditekuk. Tangan kananku di pinggang sedangkan telapak tangan kiriku menghadap ke arah Sasuke. Siapapun yang melihat pasti langsung tahu kalau itu kuda-kuda khas Hyuuga. Kulihat Hinata melotot tak percaya di sela kerumunan teman-temanku. Dia mengira aku benar-benar ‘meminjam’ kekuatannya. Padahal aku hanya mempraktekan gerakan yang sempat diajarkan Hinata di loop-loop sebelumnya.
Sasuke menyerang dan aku mengelak. Sesekali aku menangkis serangannya. Sasuke anak yang jenius dan memperhitungkan semua serangannya. Ia selalu punya pilihan kedua di saat serangan pertama tak mempan. Cara mengalahkannya adalah dengan melakukan serangan balik bertubi-tubi yang tak akan sempat diantisipasi olehnya.
Aku balik menyerang. Kuarahkan tendangan ke perutnya. Sesuai dugaan, ia mampu mengelak ke kiri. Namun justru di situlah jyuuken ku menunggu.
BUKH!
Srettt!!!
“Ghhh!”
Sasuke berhasil menangkis jyuuken-ku. Ia tak tahu kalau itu hanya serangan pembuka. Tangan kananku yang bebas sudah bersiap dengan jyuuken lainnya. Sasuke melotot melihat tangan kananku melesat cepat ke perutnya.
“BOO!” gumamku sambil menendang pelan pantat Sasuke hingga ia keluar dari garis sejauh 30 cm. Ia tak menyangka kalau jyuuken yang sudah diantisipasinya berubah jadi berupa tendangan.
“Naruto pemenangnya!” seru Iruka.
Lagi-lagi tak ada sorakan kemenangan dari teman-temanku. Mereka hanya mematung. Orang paling pintar di kelas telah kukalahkan, dengan cara yang tidak elit, persis seperti di loop ke-18.
Plok! Plok! Plok!
Kulihat hanya Hinata yang bertepuk tangan. Entah ia refleks atau saking senangnya hingga ia membuang jauh-jauh rasa malunya.
Aku menarik tangan Hinata dan mengenggamnya lagi. “Ini kukembalikan kekuatanmu. Kekuatanmu hebat ya, Sasuke saja kalah, kau bisa bayangkan jika di serangan terakhir tadi aku benar-benar melakukan jyuuken. Pasti Sasuke terlempar ke ujung lapangan,” candaku.
“Hehehe.”
Kami tertawa bersama. Ini menyenangkan. Aku seperti bernostalgia dengan masa kecilku. Bermain-main dan bersikap konyol, sejenak melupakan masalahku. Aku seperti kembali jadi anak kecil baik di segi fisik maupun sikapku.
Tanpa kusadari waktuku banyak kuhabiskan bersama Hinata. Hampir setiap sore aku akan berlatih taijutsu bersamanya. Aku tak bohong saat bilang bisa mengalahkannya tanpa harus belajar di akademi setiap hari. Pada kenyataannya akulah yang secara bertahap mengajarinya ilmu ninja. Ilmu-ilmu yang kubawa dari loop-loop sebelumnya.
Hinata lulus dari akademi dengan mudah begitu juga denganku. Kami lulus bersama di loop kali ini. Aku tak menuntut Hinata untuk terlalu kuat dalam loop kali ini. Kubiarkan ia menjalani kehidupan ninjanya dengan normal. Namun tanpa kupaksapun kenyataannya Hinata bisa lebih kuat dari sebelumnya. Lihatlah ia yang sedang berbaring kelelahan di tengah lapangan berlatih. Ia sudah berlatih seharian denganku.
“Cukup untuk hari ini,” kataku, sakit kepalaku mulai kumat lagi.
“Baiklah.” Hinata menyetujui. Lagipula ia sudah kehabisan tenaga.
“Kalau begitu cepat bangun. Sudah sore. Tadi kau bilang besok pembagian tim ‘kan?”
Kuulurkan tangan ke arah Hinata, ia menyambutnya. “Aku penasaran siapa yang akan jadi teman satu timku ya?”
“Kiba dan Shino,” jawabku lantang.
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Hinata heran mendengar jawabanku yang begitu percaya diri.
“Mau taruhan?” tantangku iseng.
“Taruhan apa?” tanya Hinata polos.
Aku berpikir sejenak.
“Jika besok kau satu tim dengan Kiba dan Shino, kau harus buatkan aku bento yang bentuknya persis seperti wajahku.”
“Hah? T-tapi aku tak bisa memasak,” ujar Hinata panik.
“Jangan bohong.”
Hinata berpikir cukup lama. Masalahnya, ia belum pernah memberikan bento buatannya padaku dalam kehidupan yang sekarang. Ia pasti malu dan khawatir jika masakannya tidak enak.
“Baiklah.” Setelah sekian lama Hinata akhirnya pasrah. “Bagaimana jika aku tak satu tim dengan mereka?”
“Aku akan melukis wajahmu.”
Kening Hinata berkerut. “Memangnya kau bisa melukis?”
“Kita lihat saja.”
Jika dulu Hinata pertama kali membuatkan bento pada umur 14 tahun saat menjalankan misi bersama, maka aku akan mencoba memundurkannya 1 tahun lebih awal, yaitu 13 tahun. Itu tak masalah. Aku tahu Hinata sudah bisa memasak bahkan dari usia 12 tahun.
Keesokan harinya ada pembagian tim dan kita sudah tahu hasilnya sehingga aku berhak mendapatkan hadiah dari taruhan kami, satu box besar bento.
“Jangan merajuk begitu,” hiburku. “Ini cuma taruhan. Lagipula masakanmu enak kok. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Nih.”
Kuserahkan selembar kanvas lukisan portrait wajah Hinata.
Hinata terbelalak. “Kau benar-benar bisa melukis! Kau akan jadi pelukis hebat suatu hari nanti.”
“Dan kau akan jadi isteri yang baik suatu hari nanti,” balasku cuek sambil melahap sisa bentoku. Saat itu ekspresi Hinata sama persis dengan yang ada di lukisanku, tersipu malu dengan rona merah di kedua pipinya.
Sejak saat itu Hinata selalu menolak jika kuajak taruhan… karena selalu kalah.
Kebersamaanku dan Hinata membuatnya banyak belajar hal baru, baik dari segi teknis ilmu ninja maupun dari segi pengalaman dan pola berpikir. Hinata jadi lebih matang dalam hal pemikiran dibanding teman-teman seangkatannya.
Dalam ujian chuunin ia harus melawan Neji. Neji menghinanya karena status keluarga inti dan cabang yang selama ini dipermasalahkan. Hinata menanggapinya dengan bijak. Ia bilang terlepas dari status mereka, keluarga inti selalu menghargai keluarga cabang sebagai pelindung mereka. Status mereka seharusnya tidak harus dipermasalahkan karena mereka tetaplah keluarga.
Jawaban Hinata malah semakin membuat Neji naik pitam. Hinata dihajar habis-habisan oleh Neji.
Aku ikut menonton dari kejauhan. Sempat ada niat untuk turun ke arena dan menghajar balik Neji, namun aku sadar ini adalah proses yang harus dilalui Hinata agar ia bisa lebih kuat dan dewasa. Akhirnya dengan usaha yang sangat keras, posisi berbalik, Hinata berhasil mengalahkan Neji. Sayangnya ia harus dilarikan ke rumah sakit karena kehilangan banyak darah.
“Kau pulang saja, aku tak apa-apa,” gumam Hinata sambil tetap berbaring di tempat tidurnya.
Kepala Hinata dibalut perban karena ada luka di bagian kepala. Wajah putihnya dinodai beberapa luka goresan dan lebam. Luka terparahnya ada di perut bagian kiri. Ada pembuluh darahnya yang pecah karena terkena seragan Neji. Untungnya tak ada organ vitalnya yang terkena serangan. Aku lega bercampur bangga, Hinata bisa menang dengan usahanya sendiri.
Tak kupedulikan sedikitpun kata-kata Hinata tadi. Jika sekarang aku pulang, siapa yang akan menemaninya di rumah sakit? Ko tidak bisa terus-menerus mengawasinya. Hiashi sudah tidak usah ditanya, ia tak peduli pada anak sulungnya.
“Makanan di sini hanya akan menyiksamu.”
“Hmm?”
“Aku akan buat makanan yang lebih enak dan kembali ke sini. Kau mau apa?”
“Kubilang pulanglah dan istirahat, kau sudah di sini dari kemarin.”
“Hm, bubur telur sepertinya enak.”
“Dari mana kau tahu kalau aku suka bub- ah, kau tidak mendengarkanku,” ujar Hinata, pasrah. “Ngomong-ngomong aku baru tahu kau bisa memasak. Kemarin juga kau mengagetkanku dengan lukisan hebatmu. Kau terus saja membuatku terkejut.”
“Banyak hal yang belum kau ketahui.” Aku tertawa puas dan kuusap lembut puncak kepala Hinata. Aku bersyukur ia tak apa-apa.
“Aku segera kembali,” pamitku, sejenak kutatap Hinata dari pintu kamar.
Aku yakin kehidupan Hinata akan berubah setelah ini. Kemenangan Hinata atas Neji akan membuat gadis itu lebih dihargai sebagai seorang Hyuuga dari keluarga inti.
Hinata hanya tiga hari dirawat di rumah sakit, selanjutnya ia dirawat di rumah. Waktu yang dimilikinya untuk pemulihan adalah dua minggu sebelum babak final ujian chuunin dimulai. Aku menyempatkan diri untuk berlatih lagi dengannya. Untunglah kecepatan recovery Hinata termasuk cepat sehingga sebelum babak final chuunin dimulai, ia sudah siap.
Final ujian chuunin kali ini dibuka oleh pertarungan Hinata denganku. Aku melawan Hinata dengan serius, aku memaksanya hingga mencapai limit kekuatannya. Tanpa peduli kami teman, aku menghajarnya habis-habisan. Ditambah lagi sebelum pertandingan kami sudah sama-sama setuju agar tidak menahan diri. Jadilah kami mempertontonkan pertandingan yang hebat kepada penonton, pertandingan pembuka yang cukup membuat penonton antusias. Saat Hinata terbaring di tanah dan tak bisa bangun lagi, aku dinyatakan menang. Dari kejauhan kulihat Hiashi, Neji dan Hanabi di barisan penonton. Aku bisa melihat raut kebanggaan di wajah mereka. Meski Hinata kalah, kelihatannya kerja keras Hinata membuahkan hasil.
“Tidak buruk,” komentarku saat membantu tim medis mengangkat Hinata ke ruang kesehatan. “Maaf karena menghajarmu sampai begini.”
Hinata terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, ‘kan aku yang minta.”
Kulihat Hiashi, Neji, dan Hanabi juga ikut ke ruang kesehatan. Hiashi tak memarahiku karena sudah menghajar putrinya. Yang ada, ia berterima kasih kepadaku karena berkatku yang sering berlatih dengan Hinata, kemampuan Hinata meningkat pesat.
Namun ujian chuunin harus terganggu oleh serangan Orochimaru. Aku terpaksa turun tangan ikut membantu Konoha. Aku tak mungkin diam saja melihat keadaan desa begitu kacau. Untungnya semua orang sibuk sehingga tak ada yang memperhatikanku melawan Gaara. Aku mengalahkannya dengan cepat, memberinya ceramah, menitipkannya kepada kakaknya, lalu bergegas membantu shinobi Konoha yang masih sibuk bertarung.
Seiring waktu berjalan, Hinata semakin kuat dan pintar. Dua tahun terakhir kekuatannya sudah berkembang pesat. Ia telah diangkat jadi jounin di usia 16 tahun, enam bulan setelah aku diangkat. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepintar-pintarnya aku menyembunyikan masalahku, pasti akan ketahuan juga. Hinata punya kecurigaan tentang kekuatanku. Itu karena kami terlalu sering bersama dan ia perlahan mulai sadar kalau ada hal yang tak wajar padaku.
“Naru…” panggil Hinata suatu ketika, memanggil panggilan akrabnya padaku. Kami berpikir kalau ‘Naruto-kun’ terlalu formal.
Saat itu kami sedang bersantai, berbaring di rumput di dekat monumen Hokage di sore hari yang cerah. Hinata sudah tak segan untuk menautkan jemari manisnya di antara jariku. Enam tahun sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tak malu lagi berinteraksi denganku. Aku sudah hapal kalau intonasi suara yang melembut itu menandakan kalau ia akan membicarakan masalah yang serius.
“Kau ingat 6 tahun lalu? Saat kau bilang kau punya masalah dan menyuruhku mencari tahu sendiri? Apa kau bisa memberitahuku sekarang? Aku tak sanggup untuk terus melihat tatapan kesedihan itu di matamu.”
Pertanyaan yang sangat kutakuti akhirnya keluar juga dari mulut Hinata. Kupikir aku masih punya waktu sebelum kalimat itu keluar. Aku masih belum siap.
“Aku tidak bisa bilang sekarang, lagipula aku tak sedih,” ujarku berkelit, kutunjukkan cengiran agar ia percaya.
Entah aku yang tak bisa mengatur emosiku atau Hinata yang terlalu pintar mengartikan reaksiku, intinya Hinata dengan mudah bisa melihat kebohonganku.
“Ayolah Naru,” bujuk Hinata. “Penyakitmu, kekuatanmu, dan pengetahuanmu tentang diriku yang menurutku tidak masuk akal. Aku yakin semuanya berkaitan. Ada rahasia besar yang belum kuketahui.”
Aku menghela napas panjang. Hinata sudah menginjak usia dimana aku sudah tak bisa membohonginya lagi. Hinata bukan lagi gadis kecil yang bisa dengan mudah kukelabui. Namun aku hanyalah orang egois yang ingin lebih lama menikmati kebersamaanku dengan Hinata sejak gadis itu kecil. Aku seolah ingin mengganti masa-masa kecil kami yang terbuang percuma. Masa kecil kami tidak pernah seakrab ini dalam loop-loop sebelumnya. Aku seolah ingin mengulang semuanya dari awal dan ingin menikmati setiap detik kebersamaan kami.
“Bisakah kita tidak membahas ini? Ini membuat kepalaku sakit,” kilahku.
Aku hanyalah orang egois yang menjadikan penyakit sebagai alasan untuk menghindar. Meskipun tak sepenuhnya salah jika kubilang kepalaku sakit karena memang sering sakit akhir-akhir ini, namun sebenarnya bisa saja jika aku ceritakan mengenai loop. Hanya saja aku belum siap, untuk saat ini. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Hinata tanpa terbebani masalah loop.
Hinata agak kecewa mendengar jawabanku. Namun ia tak bisa memaksa karena lebih khawatir pada keadaanku. Ia beringsut mendekatiku hingga tak ada jarak antara kami. Kemudian Hinata memelukku dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Harus kuakui kehebatan Hinata dalam menenangkanku. Sejenak aku bisa melupakan masalahku.
Aku suka hubungan kami di loop kali ini. Tak banyak ungkapan kasih sayang yang kami lontarkan, namun kami tahu kalau kami saling menyayangi dan lebih banyak mengungkapkannya dengan tindakan.
Suatu sore aku bertemu dengan Iruka di Ichiraku Ramen. Suatu kebetulan yang langka aku bisa bersama dengannya makan ramen. Rasanya sudah lama sekali kami tidak pernah makan ramen bersama. Iruka yang mentraktirku ramen dan kami mengobrol kesana kemari.
“Bagaimana? Sudah menemukan alasan untuk tetap hidup?” tanyanya.
“Entahlah,” jawabku sambil tertawa.
“Bodoh. Aku terus memperhatikanmu enam tahun ini. Tawamu barusan sudah menunjukkan kalau kau sudah menemukan alasan untuk tetap hidup.”
“Benarkah?”
Apa yang membuatku bersemangat beberapa tahun ini? Apa yang membuatku kembali punya semangat hidup?
Yang ada di pikiranku hanya satu.
Apakah Hinata?
Sepertinya begitu.
“Hei… ada darah keluar dari hidungmu,” kata Iruka tiba-tiba.
Aku mengambil tissue dan mengusapkannya ke ke atas bibirku dan sekitar lubang hidung. Benar saja, ada darah keluar.
“Kau kenapa?” tanya Iruka.
“Aku tidak tahu. Akhir-akhir ini aku sering sakit kepala dan mimisan tak lama kemudian.”
“Aku sempat bilang padamu dulu, kalau kau harus periksakan kepalamu secara berkala. Segera periksakan jika kau peduli pada kehidupanmu, aku akan mengantarmu.”
Malamnya, aku menuruti perintah Iruka untuk memeriksakan diriku ke dokter kenalannya. Kebetulan dokter itu yang menanganiku sejak pertama dirawat di rumah sakit ini setelah usaha bunuh diriku yang gagal 6 tahun lalu. Serangkaian pemeriksaan dilakukan untuk mengecek efek benturan di kepalaku.
“Apa kau sering mengalami sakit kepala?” tanya dokter.
“Iya, Dok. Terutama saat dipaksa berpikir keras. Akhir-akhir ini sering disertai keluarnya darah dari hidung,” jawabku.
“Apa akhir-akhir ini kau sering lupa?”
“Ya. Kadang aku lupa sedang dimana dan mau apa. Kadang aku sampai di tempat tanpa ingat perjalananku ke sana. Kadang aku tak ingat apa yang kulakukan di hari sebelumnya.”
Kening sang dokter berkerut sambil sesekali membandingkan gambar hasil tes hari ini dan hasil 6 tahun sebelumnya.
“Kau punya masalah dengan daya ingatmu.”
“Gegar orak?!” tanyaku kaget.
“Ya, namun aku menduga ada faktor lain yang menyebabkan gegar otak itu makin parah. Kau mengalami penurunan daya ingat secara bertahap.”
“Alzheimer,” tebakku.
“Tepat.”
Aku bersandar lemas di kursiku. Tolong jangan Alzheimer…
“Apa mungkin dia menderita Alzheimer? Dia masih muda,” tambah Iruka tak percaya.
“Tapi dari dua hasil pengecekan ini kulihat struktur sel-sel di otaknya terus mengalami kerusakan secara bertahap,” jelas dokter. “Kerusakan makin parah hari demi hari, aku takut ia akan kehilangan semua ingatannya, bahkan kehilangan kemampuan berpikirnya secara total.”
Alzheimer adalah kondisi kelainan yang ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan kemampuan berpikir dan bicara, serta perubahan perilaku akibat gangguan di dalam otak yang sifatnya progresif atau perlahan-lahan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh trauma otak atau benturan misalnya gegar otak, gaya hidup kurang sehat, atau tekanan mental yang terus-menerus terjadi hingga otak tak mampu lagi bertahan.
Tak heran sebenarnya jika akhirnya aku mengidap penyakit ini. Tekanan mental yang kualami sudah sampai pada puncaknya. Namun aku tak siap jika harus melupakan semua kenangan selama ribuan tahun. Terlepas dari itu kenangan baik maupun buruk, namun semua itu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Kenangan pertama yang teringat di benakku tentu saja adalah kenangan bersama Hinata, aku ingin bertemu dengannya sebelum memori tentangnya hilang dari kepalaku. Dimana ia sekarang? Apa yang sedang dilakukannya?
Rasa takut kehilangan atas memori bersama Hinata terus-menerus menghantuiku. Aku tak ingin kenanganku bersamanya hilang begitu saja. Aku tak ingin penyakitku ini mengerogoti memori berhargaku bersama Hinata. Di saat aku mulai menerima sosok Hinata ke-24, di saat aku sadar kalau semua Hinata adalah sama, hal ini malah terjadi.
Pengecekan selesai tak lama. Tanpa buang waktu aku langsung mendeteksi posisi chakra Hinata yang sangat kukenal dan melakukan hiraishin ke tempatnya. Aku sampai di kamarnya tak lama kemudian.
“Naru, bagaimana bisa-“
Tanpa basa-basi aku memeluk Hinata. Sekali lagi kubiarkan instingku bermain mengambil kendali. Instingku menuntunku ke hal-hal yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Hal-hal yang tak seharusnya kuhindari di loop ke-18.
“N-Naru? Kau k-kenapa?” lirihnya.
Aku tak menjawab dan hanya terisak di pelukannya. Ya, aku menangis. Hal langka yang sudah sangat lama tak kulakukan.
Bayangkan.
Aku akan kehilangan ingatan selama 2000 tahun. Termasuk di dalamnya ingatan tentang Hinata di kehidupan pertamaku, 24 Hinata lainnya, Ame, Yuki, Bolt, Hima, anak-anakku yang lain, serta semua kenangan indah yang kualami selama 2000 tahun aku hidup di dunia.
“Aku hanya ingin memelukmu,” bisikku berbohong.
“Tapi-”
“Aku mohon. Beri aku waktu lebih lama…”
Kalimatku mengandung makna ganda. Makna pertama adalah permohonanku kepada Hinata untuk membiarkanku lebih lama memeluknya. Karena dengan begitulah aku merasa tenang. Makna kedua adalah permohonanku kepada Tuhan untuk tidak segera menghapus ingatanku. Sekarang ingatan jangka pendekku yang memudar. Bukan tidak mungkin kalau ingatan jangka panjangku pun akan hilang. Kenangan selama ribuan tahun yang telah kulalui akan lenyap begitu saja tanpa jejak.
Hinata tak lagi berusaha melepasku ataupun protes. Ia berusaha menahan rasa malunya saat dipeluk sosok pujaannya di kamarnya sendiri. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk merasa malu. Ia tahu aku sedang rapuh dan butuh pegangan.
Dan akhirnya Hinata berhasil… Hatiku mulai tenang. Semangat hidupku telah muncul kembali meskipun hanya dengan sebuah pelukan ringan.
Aku ingin menghabiskan waktu dengan Hinata lagi sebelum ingatanku benar-benar lenyap…
Aku izin menginap di rumah Hinata malam itu. Hiashi tak ambil pusing dan mengizinkanku. Aku dan Hiashi sangat dekat pasca ujian chuunin. Aku sering berkunjung ke Hyuuga Mansion, ini bukan pertama kalinya aku tidur sekamar dengan Hinata. Ada insting seorang ayah yang memberitahunya jika aku tak akan melakukan hal yang kelewat batas pada putrinya.
Malam itu aku menceritakan semua rahasiaku mulai dari kehidupan pertamaku, semua loop, hingga alzheimer yang kuderita.
Lama Hinata terdiam. Ia menunduk, menatap datar ke arah futon kami, kedua tangannya memegang kepala. Aku tahu penjelasanku tak masuk akal. Tapi hanya inilah penjelasan yang bisa menjelaskan tentang penyakit, kekuatan, dan masalah yang sedang kuhadapi.
“Naru, jika kau memulai kembali loop, bukankah secara teori kau akan mendapatkan fisik baru? Otak baru? Kenapa kau tidak-”
“Jangan bilang kau menyuruhku langsung masuk ke loop ke-25?!” potongku. “Aku memang akan sembuh tapi kau akan melupakanku di loop ke-25! Ingatanmu tentangku akan hilang. Hinata ke-25 nanti tak akan ingat kalau kita sempat berangkat ke akademi bersama, sebangku, mengerjakan tugas bersama, sparring bersama, ujian chuunin bersama dan hal menarik lainnya yang sudah kita lakukan.”
“Kau hanya tinggal menciptakan memori baru bersama Hinata 25. Aku tak tega jika kau harus menderita penyakit ini hanya karena ingin bersamaku,” gumam Hinata pelan.
Aku memegang kedua pundak Hinata yang sedang bersila di hadapanku.
“Tidak! Aku tidak ingin mati sekarang dan meninggalkanmu. Kau akan kesepian berpuluh-puluh tahun setelahnya. Kau akan hidup sampai 80 tahun.”
“Jangan banyak bicara seolah kau punya pilihan!” Hinata menepis tenganku, nada bicaranya meninggi. “Kau sudah tak punya waktu lagi. Ingatanmu akan terus hilang. Lebih lama lagi kau akan kehilangan memori 2000 tahun milikmu. Ingatan tentang 24 Hinata lainnya beserta anak-anakmu lebih penting dibanding 1 orang Hinata! Kenapa mengorbankan itu semua hanya untuk bersama denganku?!”
Dokter bilang jika dalam waktu 6 tahun terakhir saja aku sudah mulai kehilangan beberapa ingatanku, maka ia memprediksi pada umur 36 tahun atau 30 tahun dari sekarang aku akan benar-benar kehilangan ingatanku secara total, termasuk 2000 tahun kenangan yang sudah kulalui. Akan dilakukan terapi, namun ingatanku akan tergantikan oleh ingatan baru pasca terapi.
Hinata menatapku tajam.
“Jangan pernah berpikir kau akan membunuhku!” teriakku. “Aku telah sadar jika semua Hinata itu sama. Aku tak mungkin mengorbankanmu hanya untuk keegoisanku sendiri. Jika memang aku harus kehilangan ingatan tentang mereka, mungkin itu sudah takdir! Kenapa kau begitu kejam pada dirimu sendiri?”
“Karena akulah yang menyebabkan kau menderita Alzheimer!”
Aku tersentak. Apa maksudnya? Bagaimana bisa Hinata menyebabkanku menderita penyakit ini?
“Aku yang mengagalkan bunuh dirimu 6 tahun lalu.”
“A-apa?”
“Ya. Saat itu di kelas, aku sadar kalau kau sangat tertekan. Aku takut kau melakukan hal nekat sehingga aku mengikutimu. Benar saja, kau mencoba melompat dari monumen Hokage. Aku sempat menangkap badanmu namun kita terjatuh dan kepalamu membentur batu. Kau terkena gegar otak ringan dan sekarang alzheimer. Dengan kata lain akulah yang menyebabkan semua penyakitmu.”
“Tapi kau tak sengaja melakukannya. Kau berniat menolongku.”
“Jangan coba berargumen denganku lagi. Aku akan menebus kesalahanku padamu,” gumam Hinata. “Jika memang kau tidak ingin langsung masuk ke loop ke-25, setidaknya kita cari cara keluar dari loop. Pasti ada cara untuk keluar dari loop, ‘kan?”
“Tidak ada, Hime. Aku sudah menghabiskan sebagian besar hidupku untuk mencari cara keluar dari loop.”
“Pasti ada cara!”
“Jika ada, pasti aku sudah mempraktekannya dari dulu! Sudahlah. Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk itu. Aku ingin merasakan tiap detik kebersamaan kita tanpa membahas loop.”
Sayangnya Hinata tetap bersikeras ingin menghentikan loop yang terjadi padaku. Ia bergegas menuju ke perpustakaan Hyuuga dan mencari buku-buku tentang teori waktu dan energi. Aku sudah tahu ini tak akan berhasil karena di loop sebelumnya aku sudah habiskan waktuku untuk membaca seluruh buku di perpustakaan Hyuuga, Konoha, bahkan perpustakaan Negara Api yang katanya perpustakaan terlengkap. Hasilnya nihil. Ini tidak ada gunanya.
Malam itu Hinata tidak tidur. Ia menolak saat kuajak tidur. Ia malah menyuruhku tidur duluan. Aku menyesal telah menceritakan loop jika akhirnya seperti ini.
Beban mentalku hari ini membuatku lelah dan tak bisa menemani Hinata membaca. Aku tidur di samping Hinata. Sementara dirinya terus membaca, puluhan buku berserakan di futon kami.
Tiba saatnya invasi Pain. Dalam kehidupan pertamaku momen inilah yang menjadi momen pernyataan cinta Hinata padaku. Momen yang sangat sakral. Namun dalam kehidupanku kali ini semuanya berbanding terbalik. Hinata sama sekali mengacuhkanku. Terlihat sekali kalau ia ingin menghabisi Pain secepat mungkin. Ia ingin melanjutkan penelitiannya tentang loop. Tatapannya begitu tajam, sementara kantung matanya terlihat jelas menghitam. Sudah berminggu-minggu ia kurang tidur demi mempelajari loop dari berbagai sumber.
“Aku akan menemui Nagato untuk mengakhiri ini semua,” ujarku.
“Aku saja,” kata Hinata.
“Tidak, kau sudah kelelahan. Istirahatlah.”
“Tidak! Aku yang akan pergi.” Hinata bersikeras pergi.
Ada apa dengannya, tidak biasanya ia bersikeras seperti ini. Tapi sudahlah, tidak ada penduduk Konoha yang meninggal. Jadi Nagato tak perlu menghidupkan siapapun. Aku tak perlu memberikan ceramah panjang seperti di loop-loop sebelumnya.
Invasi Pain hanyalah pembuka dari peperangan sesungguhnya.
Setelah lama diantisipasi, akhirnya Perang Dunia Ninja Ke-4 pecah. Kubu yang terlibat adalah Tobi dan Kabuto melawan lima negara besar ninja yang tergabung dalam aliansi shinobi. Berbeda dengan loop-loop sebelumnya, aku dan Hinata kini memilih untuk menjauhi medan perang. Kami sudah tahu posisi Kabuto sehingga akan langsung menyerangnya di persembunyiannya. Aku dan Hinata sudah berangkat sebelum perang dimulai. Jika Edo Tensei bisa dihentikan, keadaan akan berbalik dan aliansi shinobi bisa menang dengan mudah.
“Aku tahu jalan yang lebih cepat,” kata Hinata saat kami sedang berlari ke persembunyian Kabuto.
“Lewat mana?” tanyaku kepada Hinata.
“Ikuti aku.”
Berjam-jam kami berlari. Menjelang siang Hinata mengisyaratkan kepadaku untuk istirahat di sebuah rumah yang sudah ditinggal pemiliknya. Kelihatanya isu perang sudah menyebar sehingga penduduk banyak yang mengungsi. Aku sebenarnya agak heran pada sikap Hinata. Perang sudah di depan mata, seharusnya tidak ada waktu untuk istirahat seperti sekarang. Tapi aku berpikir positif, mungkin ia memang lelah. Staminanya tidak bisa disetarakan denganku.
“Aku punya pil ninja untuk membuatmu kenyang tanpa makan. Di sana ada gelas untuk minum,” ujar Hinata. Ia menunjuk sebuah lemari yang ada di pojok ruangan.
Aku hanya mengangguk menanggapi pernyataan Hinata. Aku memakan pil yang dimaksud Hinata agar tak perlu makan. Dalam perang tak ada waktu untuk makan. Perhatianku terfokus pada sekeliling ruangan. Aku merasa ada keganjilan di sini. Hinata tidak lelah sama sekali, bahkan ia terlihat bersemangat sekali. Ia terlihat begitu familiar dengan bangunan ini. Ia tahu dimana letak dapur, kran air, juga gelas.
Seperti biasa pil ninja rasanya tidak enak dan aku perlu minum. Saat aku mengangkat gelas berisi air putih, rasanya tenganku lemas. Aku menjatuhkan gelasku, tak lama kemudian akupun jatuh ke lantai. Namun Hinata menangkapku sebelum kepalaku membentur lantai.
“Ada yang aneh dengan pil tadi. Kau menjebakku! Kau ingin membunuhmu!” bentakku kepada Hinata yang sedang menahan kedua tanganku. Ia menempatkan kepalaku di pahanya.
Pil yang kumakan bukan untuk menahan lapar, namun racun untuk membunuhku. Kurasakan kaku di sekujur badanku, napasku sesak, dan pandanganku mulai gelap. Aku sudah hapal gejala ini. Aku akan mati.
“Maaf Naru, ini satu-satunya cara agar kau bebas dari rasa sakitmu. Kau akan sembuh saat kau bangun di loop ke-25 nanti,” gumam Hinata sambil terisak. Beberapa tetes air matanya mengenai wajahku.
Aku tidak mau mati begitu saja. Sebentar lagi aku akan meninggalkan loop ke-24 dan masuk ke loop ke-25. Itu artinya aku akan kehilangan Hinata 24. Aku tidak ingin kehilangannya begitu cepat. Ada banyak hal yang ingin kulakukan dengannya. Aku masih ingin menghabiskan waktuku dengannya. Ini terlalu cepat!
“Arghhh! Aku tak akan memaafkanmu, Hinata!”
“Ghhh!”
“Naruto? Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat.”
Aku membuka mataku. Iruka sedang menatapku khawatir. Seisi kelas juga memperhatikanku yang sedang mengerjakan soal di papan tulis.
Aku telah masuk ke loop ke-25!
Aku telah dijebak!
Aku dibunuh di usia 17 tahun oleh Hinata!
Gadis bodoh! Alzheimerku memang sembuh karena kini otakku baru lagi dan ingatanku selama 2000 tahun masih ada. Namun bukan ini yang kuinginkan! Sekarang aku dipaksa masuk ke loop ke-25 dan memulai semuanya dari 0. Aku ditinggalkan dengan Hinata 25 yang tak tahu apa-apa. Kenangan kami kembali hilang.
Aku berjalan lemas ke luar kelas tanpa mempedulikan panggilan Iruka. Aku duduk di ayunan. Aku sudah terlalu lelah untuk berpikir ataupun menangis.
Aku sudah lelah jika harus mengulang semuanya dari awal…
Tak lama kemudian seseorang ikut duduk di ayunanku. Ia tahu ayunan ini untuk satu orang tapi ia memaksa duduk meski sempit. Aku mendongak dan ternyata orang itu Hinata.
“Kenapa kau tidak menanyakan arti bunga lavender padaku?” tannyanya tiba-tiba.
“Percuma. Karena kau tak akan tahu artinya,” jawabku lesu.
“Siapa bilang? Aku tahu artinya, dalam bahasa bunga, lavender berarti pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan.”
Tunggu dulu, dia tahu artinya!
“Kenapa kau tahu artinya, tidak… maksudku, kenapa kau tahu kalau aku selalu menanyakan arti bunga lavender kepadamu?”
“Menurutmu?”
Jantungku berdetak kencang. Apa yang sedang terjadi? Ini pertama kalinya Hinata mengingat memori di loop sebelumnya.
“Siapa kau? Kau Hinata 24?”
Hinata terkekeh. “Aneh sekali jika aku dipanggil dengan angka. Bukankah sudah kau bilang kalau semua Hinata itu sama? Panggil saja Hinata.”
Senyum itu, nada bicara itu, juga pernyataan itu. Tidak salah lagi…
“Kau Hinata 24! Maksudku, Hinata,” Aku memeluknya dengan erat seolah tak ingin kehilangannya untuk kedua kali. “Bagaimana bisa kau masuk ke siklus loop? Bagaimana bisa kau mengingat semuanya? Ceritakan semuanya!”
Hinata tersenyum dan menenangkanku yang sepertinya terlalu bersemangat. Hinata memelukku dari samping. Ia pun mulai bercerita.
“Setelah kau menceritakan semuanya padaku, aku baru sadar betapa kompleks masalah yang kau hadapi. Namun semuanya bersumber pada loop. Time looping terjadi saat ada masalah pada Pohon Kehidupan, Yggdrasil, Tree of Life, Shinju, Sidratul Muntaha, atau apapun orang memanggilnya. Ketika Kaguya mengkonsumsi energi dari pohon tersebut dan energinya meledak, bukan hanya chakra yang tersebar keluar, namun energi kehidupan pun ikut meledak dan masuk ke dalam tubuhmu. Energi kehidupan yang kau serap tak bisa dihilangkan begitu saja, harus disalurkan pada kehidupan yang kau jalani. Sayangnya masa hidupmu sebagai seorang Uzumaki hanya 110 tahun. Maka sisa energinya akan disalurkan melalui loop. Kau akan terus mengalami loop sampai energi itu habis. Kita tak tahu kapan energi itu akan habis. Maka aku tak lagi mencari tahu bagaimana caranya mengakhirinya, namun bagaimana caranya agar kau menjalani loop tanpa beban. Kau harus punya partner yang ikut dalam loop agar kau tak merasa sendiri. Tidak ada pilihan selain aku ikut ke dalam loop.”
Sebagian penjelasan Hinata memang benar. Aku pernah mempelajarinya. Loops ke-1 dan seterusnya hanyalah pengulangan dari kehidupan pertama. Pohon kehidupan di loop ke-1 dan seterusnya hanyalah refleksi dari yang pertama sehingga tidak berpengaruh meskipun aku meledakannya lagi.
Namun yang jadi masalah bagaimana bisa Hinata masuk ke dalam siklus loop?
“Bagaimana caramu masuk ke dalam loop?” tanyaku
Hinata tersenyum bangga, bagian inilah yang tidak kuketahui meski aku sudah hidup lama.
“Kau ingat saat invasi Pain? Aku bersikeras ingin menemui Nagato. Aku ingin mengetahui bagaimana cara mengekstrak kekuatan bijuu dari dalam tubuh seseorang. Aku berpikir cara tersebut bisa dipakai untuk mengekstrak energi kehidupan dari dalam dirimu. Saat perang dunia ninja aku memberimu pil yang bisa membuatmu sekarat, hingga memberiku cukup waktu untuk mengestrak energi itu. Energi itu bagai air yang akan mengalir dari tempat yang penuh ke tempat yang kosong. Tubuhmu yang penuh dengan energi alam mengalirkan energi ke dalam tubuhku yang kosong, aliran energi akan berhenti saat jumlah energi di tubuh kita sama. Aku mengambil setengah energi kehidupan milikmu, aku akan mati pada usia 110 tahun dan setelah itu masuk ke dalam siklus loop bersamamu.”
Aku mematung. Aku tak berpikir sampai sejauh itu dalam menyelesaikan loop. Kalaupun aku tahu cara itu, aku tak akan tega mengekstrak energi kehidupan ke tubuh orang lain. Aku tak ingin orang lain mengalami penderitaan yang sama denganku. Namun gadis ini…
Aku kembali memeluknya.
“Gadis bodoh… Aku ingin keluar dari loop, tapi kau malah ingin masuk.”
“Hehe. Jadiii…” Hinata menghirup napas dalam-dalam “Apa yang kita lakukan dalam loop kali ini?”
Aku memejamkan mataku, berpikir tentang apa yang kuinginkan sekarang saat Hinata telah bersamaku dalam loop. Ketika kau sudah menemukan alasan untuk hidup, maka akan ada banyak sekali hal yang ingin kau lakukan dalam kehidupanmu. Hal-hal yang sangat ingin kau lakukan dengan orang yang kau sayangi. Cukup lama aku berpikir hingga Hinata mulai tak sabar dengan jawabanku.
“Kita akan jadi ninja lagi? Atau jadi penduduk biasa? Hmmm.. aku sepertinya ingin belajar melukis dan menulis. Aku juga ingin belajar Rasengan,” gumam Hinata memberikan beberapa masukan.
Aku tersenyum melihat raut wajah cerianya. Ia tidak sedikitpun memiliki ketakutan menghadapi loop. Aku aku jadi berpikir untuk membayar dosa-dosaku kepada Hinata dalam kehidupanku sebelumnya yang selalu menyiksa batin maupun fisiknya. Aku ingin membuat Hinata bahagia mulai saat ini.
“Hinata,” panggilku.
“Ya?” Hinata tersadar dari kesibukan pikirannya tentang rencana apa yang akan kita lakukan dalam kehidupan kali ini. Tatapan kami bertemu. Kami terdiam. Aku sudah memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan kehidupan pertamaku. Hal yang – bodohnya – malah kuhentikan di beberapa loop terakhirku.
“Aku ingin menikah denganmu,” ucapku mantap. Tiada keraguan sedikitpun dalam kata-kataku. “Apa kau bersedia, Hime?”
Hinata terpaku di tempatnya. Perlahan raut wajah cerianya digantikan oleh rasa haru. Tak lama kemudian air mata mengalir ke pipi putihnya. Sebuah tangis bahagia. Buru-buru aku memeluknya lagi.
“Ya, ya, ya aku sangat bersedia. Kau tak tahu aku sudah lama memimpikan ini,” jawab Hinata. “Ayo kita menikah secepatnya.”
“Bodoh, sekarang kita masih 10 tahun,” jawabku sambil menepuk pundaknya pelan.
“Hahaha. Aku lupa.”
Untuk kesekian kalinya kami kembali tertawa bersama. Aku tak tahu sampai kapan loop ini akan berlangsung, mungkin saja ini infinite loop atau pengulangan yang tak terbatas. Tapi tak apa. Kini aku bersama Hinata. Ternyata benar, Hinata-lah alasan yang membuatku bertahan untuk tetap hidup selama ini.
“Hime…”
“Ya, Naru?”
“Terima kasih atas segalanya.”
“Sama-sama.”
Kupererat pelukanku di pinggang Hinata. Ini bukan akhir kisah kami. Ini baru awal. Aku akan nantikan tahun-tahun menyenangkan berikutnya bersama gadis yang sangat kusayangi ini.
Epilog
Loop ke-24 dijadikan ajang untuk bernostalgia bagiku dan Hinata. Kami melakukan hal-hal yang dulu tidak sempat kami lakukan.
Aku mewujudkan keinginanku untuk sebangku dan belajar bersama Hinata, menghabiskan banyak waktu di akademi bersama, kadang juga kami bolos bersama. Pasca kelulusan pun kami bagai tak terpisahkan. Kami sering menjalankan misi berdua saja, memasak bersama Hinata di apartemen, pergi ke festival kembang api dan banyak lagi hal lainnya yang kami lakukan bersama.
Awalnya orang-orang bingung dengan kebersamaan kami. Mungkin mereka berpikir, sejak kapan kami sedekat ini? Perubahan sikap kami terlalu drastis. Bahkan kami dinilai terlalu dewasa sebelum waktunya hingga guru dan Hiashi terlihat menaruh perhatian ekstra pada kami. Tapi seiring berjalannya waktu aku buktikan kalau kami sering bersama tapi masih dalam batas yang wajar. Terlebih lagi, aku lebih banyak memberikan pengaruh positif dibanding negatif kepada Hinata.
“Sebagai Hokage, aku akan melindungi desa ini sekuat tenagaku!”
BOOOM!!!
Untuk kesekian kalinya terdengar ledakan dari tengah desa. Rumah di pusat desa telah porak poranda. Invasi Pain telah sampai pada puncaknya. Kini keenam Pain telah berkumpul di pusat desa.
“Naruto, kau tidak berniat untuk menolong Hokage-sama?” tanya seorang ANBU yang tengah berdiri di samping Naruto.
Aku sedang berdiri di atas atap apartemen. Samar-samar kulihat sosok berambut indigo tengah bertarung sengit di dekat ledakan tadi. Sosok Hyuuga yang kini menjabat sebagai Hokage ke-5 Konoha. Hokage termuda Konoha, Hyuuga Hinata. Di kedua tangannya nampak dua bola energi berwarna biru, berselimutkan api.
“Dia bersikeras ingin melawan Pain untuk menguji kekuatannya. Dia juga bilang kalau melindungi desa adalah tugas seorang Hokage. Tenang saja, dengan level kekuatan dia sekarang, dia sendiri saja sudah cukup untuk mengalahkan semua Pain.”
“Anda yakin?”
Aku tidak asal bicara. Meskipun terlihat santai melipat kedua tanganku di dada, pandanganku tak lepas dari Hinata. Aku terus menganalisa pertarungan Hinata. Aku memperhitungkan persentase kemenangan Hinata di atas 95%.
“Aku yakin pada calon istriku.”
“Calon istri? Ah, seharusnya aku tak kaget. Kalian memang sudah dekat sejak di akademi. Kapan kalian akan menikah?”
“Aku masih berhutang padanya mengajarkan mode Kyuubi.”
“Bukankah hanya Jinchuuriki saja yang bisa pakai mode itu?”
“Tidak juga. Aku bisa memberikan chakra Kyuubi kepada siapapun, termasuk padamu. Cukup dengan menyentuh badanmu. Hanya saja yang jadi masalah, bisakah kau mengontrol dan memanfaatkannya dengan baik?”
ANBU bertopeng kucing tersebut manggut-manggut. Ia telah belajar banyak sejak pertama kali ditugaskan Sandaime untuk mengawasiku dan Hinata.
“Kenapa kalian bersikeras untuk terus berlatih?”
“Perang besar segera tiba.”
Meski wajahnya disembunyikan dalam topeng, aku tahu ANBU bernama Kinoe tersebut sebenarnya penasaran dengan perang yang kumaksud. Tapi dia sudah tahu aturannya jika aku tak boleh terlalu detil menjelaskan hal yang terjadi di masa depan.
“Setelah perang usai, barulah aku akan menikahinya.”
“Uzumaki Naruto, apa kau bersedia menerima Hyuuga Hinata sebagai istrimu dalam susah maupun senang hingga maut memisahkan kalian?”
“Bersedia.”
“Hyuuga Hinata, apa kau bersedia menerima Uzumaki Naruto sebagai suamimu dalam susah maupun senang hingga maut memisahkan kalian?”
“Bersedia.”
“Dengan ini kunyatakan kalian sebagai sepasang suami-istri.”
Hinata menghambur memeluk dan menciumku. Rasa bahagia tergambar jelas di wajahnya. menikahi Hinata bukanlah momen pertama bagiku. Aku sudah berulangkali menikahinya di kehidupanku sebelumnya. Tapi rasa bahagia yang kurasakan terasa berkali-kali lipat. Terlebih lagi janji suci yang kuucapkan terasa begitu bermakna karena kini aku akan benar-benar sehidup dan semati dengan Hinata dalam artian yang sesungguhnya.
Setelah menikah kami tidak langsung memiliki anak. Hinata berulangkali memastikan jika aku baik-baik saja jika kami memiliki anak di kehidupan kali ini. Kupastikan aku baik-baik saja. Terkadang aku memang masih merindukan Ame, Yuki, Bolt, Hima, dan anak-anakku yang lain. Tapi kini Hinata sudah menemaniku setiap saat sehingga aku tidak sedih lagi.
Pada usia 30 di loop kali ini, kami dikaruniai seorang anak perempuan yang kami beri nama Lavender. Secara fisik ia sangat mirip dengan Hinata. Praktis saja, Lavender jadi cucu pertama sekaligus cucu kesayangan Hiashi karena ia serasa menaiki mesin waktu kembali ke saat Hinata masih kecil.
Namun seiring berjalannya waktu, sifat Lavender malah lebih mirip denganku. Ia tumbuh jadi gadis yang supel, mudah bergaul, dan punya banyak teman. Namun ia tomboy dan lebih sering bermain dengan anak laki-laki. Kalau diingat lagi, persis seperti ibuku Kushina.
Seperti pernah kubilang, pernikahan dan momen menjadi orang tua adalah titik balik perubahan sifat manusia menjadi lebih dewasa. Hinata yang awalnya keras kepala berangsur menahan egonya. Muncul naluri keibuannya. Sifatnya jadi kembali ke sifat asli Hinata yang lembut dan penyayang.
Hinata melepas gelar Hokage setelah 15 tahun menjabat. Akupun berhenti menjadi penasihat Hokage. Kami fokus membesarkan Lavender dengan penuh kasih sayang. Kami ingin selalu ada untuknya, melewati setiap tumbuh kembangnya. Ia begitu berharga bagi kami.
Aku dan Hinata sempat takut jika Lavender menikah ia akan pergi bersama suaminya, namun ternyata ia tetap tinggal di rumah karena sadar ia anak satu-satunya. Ia tak tega meninggalkan kami berdua. Kami akhirnya memutuskan untuk membeli rumah besar di Konoha, tempat tinggal bagi anak cucu kami.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun dan kami sudah sampai di ujung usia. Di usia yang ke 110 tahun fisikku dan Hinata sudah mulai renta. Fisik kami sudah tak sekuat dulu. Kami sedih karena sebentar lagi harus berpisah dengan anak semata wayang kami, juga dengan cucu-cucu, dan cicit-cicit kami. Tapi kini rasa sedihku sedikit terobati karena setidaknya aku tak pergi sendiri. Ada Hinata di sampingku.
“Jangan menangis Lavy-ku,” gumamku pelan. Ia menangis tanpa henti menyadari kedua orangtuanya segera pergi dari dunia ini. Kuusap pelan puncak kepala anakku. Masih ingat saat pertama kali kugendong Lavender dan kupeluk bersama Hinata. Kini ia sudah beranjak tua, tapi masih seperti gadis kecil bagiku. Suaminya ikut menenangkan agar ia tak terus menangis. Aku bisa bayangkan bagaimana sedihnya harus kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang hampir bersamaan. Tapi mau bagaimana lagi aku dan Hinata sudah di batas usia kami di loop kali ini.
Napasku terasa berat dan pandanganku mulai gelap. Kurasa waktuku sudah tiba…
“Kenapa malah tersenyum kek?” tanya salahsatu cucuku.
Aku menggenggam tangan Hinata. Aku menoleh, kami saling bertukar senyuman untuk terakhir kali sebelum pandangan kami gelap seutuhnya.
“Karena aku dan nenekmu…”
“Akan pergi ke kehidupan selanjutnya,” lanjut Hinata.
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku mendapati diriku sedang mengerjakan tugas di depan papan tulis. Proses loop ke-25 berjalan begitu mulus. Jauh sekali jika dibandingkan dengan loop-loop sebelumnya. Kapur tulis di tanganku masih utuh tidak patah seberti biasanya. Aku masih bisa mengatur napasku dengan baik.
Aku menoleh ke belakang, mencari sosok Hinata.
Setelah kutemukan, aku bertanya “Apa makna bunga lavender?”
Yang ditanya tersenyum sambil menjawab, “Dalam bahasa bunga, lavender berarti pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Itulah alasannya kita memberinama anak kita Lavender.”
Aku tersenyum puas. Tak mempedulikan keheranan Iruka dan murid-murid di dalam kelas.
Tidak salah lagi. Hinata yang sedang duduk di bangku sana adalah istriku yang telah menghabiskan waktu 100 tahun bersamaku di loop ke-24. Kami masuk ke dalam loop bersama.
“Senang bertemu denganmu lagi, Hime.”
“Senang bertemu denganmu juga, Naruto-kun.”
The End
A/N:
Spesial untuk Hinata-ku di dunia nyata, terima kasih atas supportnya selama ini hingga cerita ini selesai. Semoga niat kita dilancarkan dan segera menyusul seperti Naruto-Hinata. Amin.
Terima kasih juga untuk para pembaca yang setia menunggu fic ini dari tahun kemarin. Semoga hasilnya memuaskan meskipun jeda update-nya sangat lama. Semua itu semata-mata hanya untuk menyajikan ending yang benar-benar saya inginkan. Terlepas dari berubahnya genre dan alur cerita yang jadi ‘berat’, mungkin masalah selera. Ya namanya juga fanfic, harus dibuat sesuai dengan imajinasi.
Salam.
© rifuki
Baca juga:
One Reply to “The Infinite Loops – Chapter 8 (End)”