The Infinite Loops – Chapter 7
Sebelumnya dalam The Infinite Loops:
“Aku mengaku kalah padamu dalam pertandingan kali ini,” gumam Naruto. “Sesuai permintaanmu dulu, aku akan menceritakan semua rahasiaku.”
Hinata langsung bersemangat mendengar itu.
“Kita pernah menikah di kehidupan sebelumnya. Kau adalah istriku.”
Setelah Naruto menceritakan rangkaian loop, entah kenapa ia memang merasa tenang.
“Rasa tersiksamu muncul karena kau berusaha menanggung sendiri penderitaan yang kau alami. Sebuah masalah akan terasa lebih ringan jika kau bagi dengan orang yang kau percaya. Terlepas dari ada atau tidaknya solusi dari masalahmu kedepannya. Setidaknya kau telah membagi beban masalahmu denganku sehingga terasa lebih ringan. Jadi usahamu yang selama ini menghindariku bukanlah cara yang tepat.”
Naruto tersenyum tipis, senyum tulus pertama yang ditunjukkannya kepada Hinata. Hinata membalas senyumannya. Hinata lalu meraih kedua tangan Naruto. “Sekarang berjanjilah padaku,” perintah Hinata.
“Janji apa?”
“Jangan pernah menyembunyikan rahasiamu ini dariku dan dari Hinata-Hinata lain setelahku.”
Naruto memejamkan matanya. Cara ini memang berlawanan dengan yang selama ini dilakukan Naruto. Tapi Naruto harus yakin karena saran ini datang dari Hinata, sosok yang justru selama ini tidak ingin Naruto libatkan.
“Ya, aku berjanji.”
Chapter 7
“Hinata”
Penyerangan Naruto terhadap shinobi Konoha tempo hari membuatnya disidang di hadapan dewan Konoha. Sidang berlangsung alot karena Naruto dijerat pasal berlapis atas upayanya menjadi missing nin, atas penyerangan terhadap shinobi Konoha, serta atas ketidakpatuhannya selama ini. Kini ada ratusan shinobi yang terluka karena ulahnya. Namun Naruto bersikeras kalau ia tidak melakukan ‘penyerangan’. Naruto hanya berusaha untuk membela diri karena merasa terancam. Sidang yang sedang berlangsung hari ini adalah sidang keduanya setelah sidang pertama dihujani banyak interupsi dan harus dihentikan sementara. Banyak yang membela, tapi tak sedikit juga yang memberatkan kasusnya, terutama dari pihak yang terluka saat penyerangan.
Hinata sudah kesal dengan sidang yang tak kunjung berhenti ini. Ia merasa sidang ini tak akan ada ujungnya jika kedua kubu terus berdebat. Hinata harus memberikan pendapatnya. Seorang Hokage memang berhak memberikan pendapat dalam sidang. Tapi itu hanya sebatas masukan. Keputusan tertinggi tetap berada di tangan dewan, karena dewan mewakili aspirasi penduduk desa. Hinata akhirnya angkat bicara.
“Aku sarankan dia jadi tahanan desa, bukan tahanan sel,” usul Hinata.
Berbeda dengan tahanan sel, tahanan desa tidak dikurung di sel atau dipenjarakan. Tahanan desa adalah sanksi yang diberikan kepada seseorang dimana orang tersebut bebas berkeliaran selama itu masih di dalam desa. Ia bebas melakukan kegiatan sehari-harinya seperti biasa. Hanya saja setiap gerak-geriknya akan selalu dipantau dan dia diwajibkan melapor setiap hari kepada dewan.
“Lihat sekelilingmu. Lihat kerusakan yang dibuatnya serta orang-orang yang terluka olehnya. Kita tidak bisa membiarkannya berkeliaran bebas di desa. Dia harus ditahan di sel,” seru Koharu.
Naruto yang sedang duduk di tengah ruangan terlihat tertawa pelan dan Hinata tahu apa yang sedang ia tertawakan.
“Percuma,” jawab Hinata. “Sel tak akan mampu menahannya. Ia bisa menghancurkannya dengan mudah.”
Ya, perkataan Hinata benar. Bagi Naruto, sel Konoha tidak akan mampu menahannya. Untuk apa dikurung di sel jika pada kenyataannya ia bisa membebaskan diri dengan mudah? Bahkan kalau mau, sekarang ia bisa melepaskan diri dari segel di tangannya dengan mudah. Tapi Naruto menghargai usaha Hinata untuk mengembalikan nama baiknya dengan mengikuti prosedur hukum yang berlaku di Konoha. Hinata ingin penduduk Konoha menerima Naruto kembali, terlepas dari apa yang telah Naruto lakukan sebelumnya.
“Selain itu,” Hinata menambahkan. “Apa kalian lupa pada jasa-jasanya sebelum ini? Apa kalian lupa saat invasi Pain? Kalian akan mati jika saja Naruto tidak membujuk Nagato untuk menghidupkan kalian kembali.”
Orang-orang yang tadinya memojokkan Naruto kini terdiam. Meskipun di beberapa tahun ke belakang Naruto dikenal tak bisa diatur, tapi ada banyak misi berbahaya yang sudah dilakukannya. Invasi Pain adalah contoh yang paling baru dan contoh nyata Naruto dalam menyelamatkan Konoha. Sudah tak terhitung berapa kali Naruto menyelamatkan Konoha sebelum itu.
“Lebih baik dia jadi tahanan desa, aku yang akan jadi penjaminnya. Lagipula aku membutuhkannya sebagai asistenku.”
Hinata memberikan penekanan pada kata terakhir. Jelas ini membuat kening Naruto berkerut. Saat tatapan mereka bertemu, terlihat raut wajah kemenangan di wajah Hinata. Rupanya ini sudah direncanakan Hinata sejak awal.
Homura dan Koharu terlihat berdiskusi. Mereka sudah melihat sekuat apa Naruto. Mengurung Naruto di sel merupakan hal yang bodoh. Hinata boleh dikatakan shinobi Konoha kedua terkuat setelah Naruto sehingga mempercayakan Naruto kepada Hinata adalah pilihan terbaik. Mereka juga merasa kalau Naruto jadi agak penurut setelah pertarungan terakhirnya dengan Hinata. Semoga saja ia tak akan mengamuk lagi setelah ini.
“Baiklah. Naruto akan jadi tahanan desa sampai ada keputusan selanjutnya. Setiap hari ia akan membantu pekerjaan Hokage. Ia tak diizinkan keluar desa tanpa ada izin kami. Selain itu, ia wajib melapor setiap hari kepada kami.”
TOK! TOK! TOK!
Palu sidang telah diketuk. Hinata mengangguk puas.
Naruto berdiri dari kursinya dan disuruh maju ke dekat para dewan. Kemudian segel di tangan Naruto dilepas dan ia disuruh menandatangani beberapa berkas. Naruto terlihat pasrah sehingga tidak membuat para petugas di sana kesulitan. Ia sedang tak ingin membuang-buang waktunya untuk berdebat. Sidang yang dilaksanakan berturut-turut sudah cukup membuatnya lelah dan bosan. Ia ingin semuanya cepat selesai.
Berkas yang ditandatangani terakhir oleh Naruto adalah berkas yang berisi pernyataan kalau Naruto bersedia menjadi asisten Hokage dan menuruti semua perintahnya. Naruto terdiam sejenak. Ia membaca ulang narasi di berkas tersebut. Tidak ada yang aneh sebenarnya. Isinya bertuliskan perjanjian, diikuti poin-poin tugas seorang asisten Hokage. Tapi terlihat sekali kalau Hinata sengaja menyiapkan surat pernyataan tersebut.
Naruto menatap Hinata yang ada di hadapannya. “Kau sudah merencanakan ini,” bisiknya.
Senyum Hinata malah makin lebar dibuatnya. “Sudahlah tandatangan saja. Ini hanya formalitas agar kau bisa bebas. Ini hanya prosedur. Seperti sudah kubilang sebelumnya, aku tahu kau bisa membebaskan diri dengan mudah jika kau mau.”
“Ya, ya, aku mengerti.”
Tak lama kemudian Naruto menandatangani surat pernyataan di hadapannya.
KLIK!
Pintu rumah Naruto terbuka, menampakkan rumah megah yang berminggu-minggu tidak ditinggalinya. Matahari sore menyorot masuk ke dalam rumah. Tapi anehnya tak ada debu yang menempel di lantai atau di perabotan rumah. Kelihatannya Hinata menyuruh orang untuk membersihkan rumah Naruto.
“Beberapa bagian rumah yang rusak berat telah dibuat ulang oleh Kapten Yamato. Mungkin interiornya tidak mirip, tapi setidaknya bisa digunakan kembali. Barang-barangmu yang ditemukan dalam puing-puing kami simpan di gudang. Kau bisa pilih sendiri mana yang masih berguna,” jelas Hinata. Ia masuk duluan ke dalam rumah Naruto sementara sang tuan rumah diam di teras rumah.
Pasca penyerangan Pain, hampir semua bangunan di Konoha hancur, tak terkecuali rumah milik Naruto. Naruto sebenarnya tak peduli pada bangunan rumahnya, toh niat awalnya ia akan meninggalkan Konoha. Tapi saat melihat rumah miliknya diperbaiki, serta barang-barang miliknya diamankan, Naruto jadi sedikit menghargai warga Konoha. Mungkin sejak awal dirinya memang ditakdirkan untuk tinggal di Konoha, berapa kali pun ia berusaha meninggalkan desa.
“Kenapa masih diam di depan pintu?” tanya Hinata heran. “Kau tak menginginkan rumah ini lagi? Atau kau… masih ingin protes pada keputusan sidang?”
Naruto mendengus. Lagi-lagi Hinata menyindirnya. Naruto melangkah masuk ke rumah lalu menjatuhkan dirinya di sofa. Ah, bahkan sofa yang disediakan di ruang tamu sangat mirip dengan sofa miliknya dulu. Begitu empuk dan nyaman.
“Kau seharusnya berterimakasih padaku karena kau bisa bebas dengan prosedur yang ‘resmi’,” kata Hinata bangga. Tak lama ia pun menjatuhkan dirinya di sofa di samping Naruto.
“Yang ada, kau memanfaatkanku untuk menjadi asisten Hokage,” koreksi Naruto.
“Hehehe.” Hinata tertawa lepas. “Tapi serius, ada banyak hal tentang Hokage yang harus kutanyakan padamu. Kau pasti tahu bagaimana jadi Hokage yang baik.”
“Tidak juga.”
“Maksudmu?”
“Hokage yang ‘baik’ itu seperti apa?”
Hinata bingung sendiri menjawab pertanyaan Naruto. Ia baru diangkat menjadi Hokage, mana bisa menjawab pertanyaan seperti itu.
“‘Baik’ itu relatif,” kata Naruto menjawab pertanyaanya sendiri. “Baik menurutku atau menurutmu, belum tentu baik di mata penduduk. Baik buruknya seorang Hokage tergantung dari penilaian penduduk. Sebagus apapun usahamu untuk memajukan desa, tapi jika kau tidak dekat dengan para penduduk, semuanya sia-sia. Menurutku jadi Hokage itu bukan tentang jabatan, tapi tentang bagaimana kau memelihara tekad api agar tetap ada di hati para penduduk. Oleh karena itu, menjelaskan secara teori kurang tepat, kau harus menjalani langsung hari-hari sebagai seorang Hokage. Lama-lama kau akan menemukan gaya kepemimpinanmu sendiri.”
Hinata melongo memperhatikan Naruto bicara. Omongannya terdengar begitu bijak dan dewasa. Kini Hinata semakin yakin kalau Naruto memang sudah hidup ribuan tahun.
“Terima kasih,” kata Hinata tulus. Ia memejamkan matanya sejenak, mengingat masa lalu, kemudian membuka lagi kedua matanya. “Kuakui keinginanku menjadi Hokage awalnya hanya ingin melanjutkan cita-citamu, namun kini aku semakin mengerti bahwa jadi Hokage itu pekerjaan mulia.”
“Hn.” Angguk Naruto.
“Dulu, saat kau memutuskan untuk tak jadi Hokage lagi, aku sempat bingung harus bagaimana. Aku seperti kehilangan sosok penyemangatku, karena sejak kecil aku selalu mengikutimu yang selalu bersemangat mengejar cita-cita menjadi seorang Hokage. Sejak saat itu sifatmu berubah drastis. Kau menjadi cuek, tak punya semangat berlatih, dan berbalik membenciku tanpa alasan yang jelas. Kau tak pernah bilang apa kesalahanku yang membuatmu membenciku. Aku kesal padamu.”
“Hn…”
“Aku seperti tak mengenalmu. Kau seperti menggantikan sosok Naruto-kun-ku yang ceria. Aku sempat merindukan sosokmu yang dulu.”
“…”
“Namun saat kau menceritakan semuanya, aku sadar kalau kalian adalah ‘Naruto’ yang sama. Kau adalah sosok yang sama dengan Naruto-kun yang kukagumi dulu. Efek loop-lah yang membuatmu seolah-olah berbeda,” Hinata menghela napasnya setelah bermonolog panjang lebar. “Kenapa kau diam saja, hei-“
Perkataan Hinata terhenti saat ia menoleh dan mendapati Naruto sudah tidur pulas. Itu berarti sejak tadi Hinata bicara sendiri.
“K-kau! Ugh!” Hinata berusaha keras menahan emosinya.
“Lihatlah. Betapa menyebalkannya dirimu, Naruto.”
BUKH!
Hinata memukul wajah Naruto dengan bantal sofa. Naruto hanya mengigau sedikit lalu tidur lagi.
“Haaah, benar-benar tidak bisa diharapkan. Padahal aku ingin bercerita banyak. Kau selalu saja membuatku kesal.”
Hinata memperhatikan wajah Naruto yang begitu tenang. Diusapnya pipi kanan Naruto. Dulu mana pernah Naruto membiarkan Hinata sedekat ini, masuk ke rumahnya saja susah.
“Tapi nyatanya… aku tetap menyukaimu,” gumam Hinata sambil tersenyum.
Tak lama setelah itu, keduanya terlelap di sofa. Mereka kelelahan karena seharian mengurus sidang dan pembebasan Naruto. Hari sudah malam, saatnya beristirahat.
Hari-hari Hinata sebagai Hokage sudah dimulai. Hal pertama yang dilakukan Hinata adalah memerintahkan Tsunade dan shinobi lain yang tahu rahasia Naruto untuk tutup mulut. Menyampaikan hal itu kepada dewan malah akan menimbulkan kepanikan. Selanjutnya Hinata berusaha menstabilkan kondisi ekonomi dan membenahi infrastrukur Konoha pasca invasi Pain. Itu bukan hal mudah. Ia butuh nasihat Naruto. Hinata tidak bohong saat ia bilang akan menjadikan Naruto asisten. Hinata perlu banyak bimbingan darinya dalam memimpin Konoha. Naruto yang sudah berulang kali jadi Hokage di kehidupan sebelumnya pasti tak kesulitan.
Asisten Hokage mungkin hanya sebatas titel saja bagi Naruto. Pada kenyataannya Naruto jarang sekali datang ke ruangan Hokage. Naruto tetaplah pada sikap cueknya hingga kini. Bedanya, kini Naruto lebih bisa membuka diri kepada Hinata. Pintu rumahnya selalu terbuka lebar untuk Hinata. Malah bisa dibilang sebagian besar waktu Hinata dihabiskan di rumah Naruto. Tujuan utamanya tentu untuk konsultasi masalah Konoha, selebihnya… untuk menghabiskan waktu bersama.
“Bisakah kau hentikan itu?” tanya Naruto saat sedang melukis di kamarnya.
Dari tadi Hinata memeluknya dari belakang dan menyimpan dagunya di bahu Naruto. Itu membuat Naruto kesulitan menggerakkan kuas di tangannya. Ditambah lagi dengan posisi dada Hinata yang menempel itu, membuat Naruto merasakan sensasi empuk di punggungnya. Bohong jika naluri lelakinya tak bereaksi. Hanya saja Naruto berusaha mati-matian untuk menahannya.
“Kubilang hentikan, aku sedang melukis,” ulang Naruto.
“Ah kau tidak asik,” cibir Hinata. Ia menyerah dan duduk di tepi tempat tidur Naruto. Kedua tangannya dilipat di dada. Ia kesal.
“Lagipula kenapa kau memakai hot pants dan membiarkan resleting jaketmu terbuka begitu?” tanya Naruto lagi.
“Hanya mencari suasana baru,” jawab Hinata cuek.
Naruto tahu maksud Hinata bukan sekedar cari suasana baru, melainkan untuk menggodanya. Terlihat sekali dari cara berpakaian dan sikapnya akhir-akhir ini. Naruto memandang Hinata sekilas, lalu menahan tawanya. Tawa meledek yang dibuat-buat.
“Pfft. Asal kau tahu. Aku tak akan tergoda oleh penampilanmu,” kilah Naruto. “Aku sudah sering melihat tubuhmu dengan tanpa sehelai benang pun di loop-loop sebelumnya. Bahkan aku sudah hapal bentuk-”
BUGH!
Kata-kata Naruto terhenti saat Hinata menendang punggungnya. Hinata makin kesal. Ini hari libur di tengah kesibukannya sebagai Hokage. Niat awal ia datang ke rumah Naruto adalah untuk bermesraan dengannya. Tapi malah begini jadinya.
“Berengsek! Kau sudah pernah melihat tubuhku tapi kau menolak untuk menikahiku!”
“Sudah kubilang, aku bukannya tidak mau menikahimu. Tapi belum saatnya, kau belum dewasa.”
Naruto yang sempat terjatuh dari kursinya kembali bangkit dan meneruskan acara melukisnya.
“Siapa bilang? Umurku sudah 16 tahun, apa itu belum cukup?”
“Tapi umurku sudah 1900 tahun nona, jadi bagiku kau masih bocah.”
“Argghh!”
Hinata yang frustasi menjatuhkan dirinya di kasur, memeluk guling, lalu memukul-mukulnya berulang kali.
Naruto melirik Hinata sejenak. Ia mulai menyadari kekesalan Hinata. Kelihatannya ia sudah keterlaluan. Hinata di loop kali ini amat tsundere, mudah sekali marah. Naruto sadar, sedikit banyak ini adalah pengaruh sikap kasarnya di tahun-tahun sebelumnya. Naruto perlu mengurangi sikap cueknya dalam menghadapi Hinata nomor 18 ini. Hinata layak mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
“Ayahmu tak akan setuju jika kita menikah sekarang,” tambah Naruto. “Kita menikah memang tidak selalu di waktu yang sama, tapi kalau dirata-ratakan di umur 19-25 tahun. Kalau memang kau sudah tak sabar, paling tidak tunggulah sampai kau berumur 17 tahun.”
Kata-kata Naruto tak mempan. Hinata masih saja cemberut. Naruto menghela napas pelan.
‘Apa boleh buat, semoga cara itu berhasil,’ pikirnya.
Naruto menyimpan kuas dan paletnya. Ia menyingkirkan guling yang sedang dipeluk Hinata. Ia lalu menyimpan tangan kirinya di samping kepala Hinata dan tangan kanannya menelusup ke belakang leher Hinata, ke balik untaian rambut indigo Hinata. Hinata masih bingung Naruto mau apa, sampai kemudian kepala Hinata ditarik pelan dan Naruto menciumnya.
Naruto mengecup pelan bibir mungil Hinata. Hinata hanya bengong di bawah Naruto. Ini ciuman pertamanya dan terjadi terlalu tiba-tiba. Hinata terlalu kaget untuk bisa membalas sehingga Naruto membiarkan Hinata untuk mengatur napas dan menenangkan dirinya.
Setelah Hinata agak tenang, Naruto mengusap pelan bibir bawah Hinata dengan jempol tangan kanannya. Tak lama kemudian ia mengecupnya kembali. Kali ini lebih lembut untuk memberikan kesempatan kepada Hinata untuk membalas ciumannya. Hinata yang mulai bisa membiasakan diri memejamkan matanya, memeluk leher Naruto, dan memperdalam ciuman mereka.
“Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang,” kata Naruto saat ciuman mereka berakhir. Dirapikannya rambut Hinata, kemudian ia selipkan ke balik telinga Hinata. “Tapi aku berjanji akan menikahimu. Jadi bersabarlah sebentar, Hime,” gumam Naruto.
Hinata hanya bisa mengangguk pelan sambil tersenyum. Pipinya merona dan memanas karena malu dengan apa yang baru saja mereka lakukan. Rupanya ‘ciuman’ masih jadi cara ampuh untuk membuat Hinata ceria kembali, pikir Naruto. Cara itu sudah terbukti ampuh selama ribuan tahun.
Namun mendengar kata-kata Naruto, Hinata jadi sadar kalau dirinya memang masih kecil. Sikapnya masih kekanakan. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli pada keadaan sekitar. Berbeda sekali dengan Naruto yang bisa berpikir dewasa. Mulai saat ini Hinata tak akan menuntut banyak dari Naruto.
“Maaf jika aku terlalu menuntut banyak darimu.”
“Tidak apa-apa.”
“Kalau begitu aku pegang janjimu,” gumam Hinata sambil mengusap pipi kiri Naruto.
Naruto mengangguk pelan. Ia lalu bangkit kembali dan mengulurkan tangan kepada Hinata agar ia duduk kembali. Tapi alih-alih duduk di tepi kasur, kini Hinata malah memaksa duduk di kursi depan kanvas yang sebenarnya kecil. Jadilah mereka duduk merapat.
Hinata mengapit lengan kiri Naruto sambil memperhatikan apa yang Naruto lukis. Yup, saat-saat bersama seperti ini sudah cukup bagi Hinata. Naruto pun terlihat tak terganggu. Malah jika diperhatikan lebih dekat, ada senyuman tipis di wajahnya dan Hinata sadar itu.
“Terima kasih,” gumam Hinata.
“Terima kasih? Untuk?” tanya Naruto bingung.
“Terima kasih karena kau sudah bisa tersenyum seperti dulu. Terima kasih karena telah kembali jadi Naruto yang kukenal.”
Naruto agak kaget. Benarkah ia sudah jadi Naruto yang seperti dulu? Bahkan Naruto tak sadar kalau dirinya jadi lebih sering tersenyum akhir-akhir ini. Ternyata benar menceritakan rahasianya kepada Hinata membuat beban yang dipikulnya lebih ringan.
‘Akulah yang harusnya berterima kasih,’ kata Naruto dalam hati.
“Apa ini Yuki?” tanya Hinata tiba-tiba. Ia menunjuk gadis berambut pirang panjang di lukisan Naruto.
“Ya. Aku sedang berusaha mengingat-ingat wajah anak-anak kita. Aku tak bisa membawa foto mereka dalam loop. Sehingga melukis mereka adalah satu-satunya cara agar aku tetap mengingat wajah mereka dari waktu ke waktu.”
Hinata memperhatikan sosok Yuki dengan lebih mendetail. “Nampaknya dia mewarisi fisikmu. Lihatlah rambutnya, matanya, senyumannya, semuanya mirip denganmu.”
“Hmm.” Naruto menyetujui. “Dia juga periang dan tak mau diam. Tapi ada satu sifat yang sangat dominan pada dirinya yang ia warisi darimu, yaitu perhatian. Dia sangat peduli pada kita keluarganya, terutama pada adiknya, Ame. Dia seorang sosok kakak yang baik.”
“Bagaimana dengan Ame?” tanya Hinata.
Naruto menunjuk sosok anak muda di samping Yuki. “Dia sedikit pemalu. Kita sering khawatir padanya karena ia sangat sulit mempunyai teman. Tapi seiring dengan waktu ia tumbuh jadi anak yang kuat dan selalu ingin tahu hal baru. Itulah alasan kenapa dia senang sekali berkeliling dunia. Sejak saat itulah justru dia jadi punya banyak teman.”
“Kalau ini siapa?” tanya Hinata. Telunjuk lentiknya menunjuk 2 sosok lain di samping Ame dan Yuki.
“Ini Bolt dan Himawari, anak kita di loop ke-2. Bolt anak yang hiperaktif dan selalu berusaha mencari perhatianku. Dia nakal dan selalu membuat onar di desa.”
“Persis sepertimu waktu kecil?” tanya Hinata.
“Ya,” jawab Naruto sambil tersenyum mengingat betapa nakal anaknya itu. “Di loop ke-2 aku sibuk jadi Hokage dan mencari tahu cara keluar dari loop sehingga aku jarang menghabiskan waktu dengannya.”
“Yang ini adik Bolt, namanya Himawari,” lanjut Naruto. “Dia bisa dibilang cucu kesayangan ayahmu karena mewarisi darah Hyuuga yang kuat. Dia anak yang supel dan ramah. Tapi aku tak akan membuatnya marah karena aku pernah dibuat pingsan karena aliran chakra di tubuhku terhenti oleh jurus miliknya.”
“Hahaha. Benarkah?”
Hinata menanyakan sisa anak-anak lain di lukisan yang jumlahnya belasan. Hinata merasa aneh sekali melihat sosok anak-anaknya di loop–loop sebelumnya. Ia tak menyangka kalau dirinya pernah melahirkan mereka. Lama Hinata mencari tahu kehidupan Naruto. Ada banyak hal yang ia tanyakan, untungnya Naruto yang sekarang lebih terbuka dan tidak merahasiakan apapun dari Hinata. Setelah mencari tahu kehidupan Naruto di masa depan, Hinata jadi lebih banyak diam. Ia baru sadar betapa egois dirinya dengan meminta Naruto menikahinya di tengah masalah yang sedang Naruto hadapi.
Naruto yang menyadari perubahan sikap Hinata memutuskan untuk bicara.
“Kau kenapa?” tanyanya.
“Ayo kita selesaikan loop. Aku sudah janji untuk membantumu keluar dari loop.”
Naruto tersenyum tipis, senyum yang mulai sering ditunjukannya akhir-akhir ini. Ia menyimpan palet dan kuasnya, mengakhiri kegiatan melukisnya hari ini. Naruto kemudian memeluk pundak Hinata dari samping.
“Terima kasih atas kepedulianmu, tapi masalah loop ini lebih besar dari yang kau kira. Kita perlu waktu luang yang banyak untuk memikirkannya. Aku tidak apa-apa. Aku sudah lebih tenang sekarang karena sudah berbagi beban masalah ini denganmu. Saat ini ada hal yang lebih penting yang harus kita pikirkan.”
“Apa?”
“Perang Dunia Ninja ke-4.”
Berkat info yang diterima Naruto, serta strategi yang mereka susun bersama, Hinata mulai menyiapkan strategi perang dari jauh-jauh hari. Tapi persiapan yang dibuat Hinata dibuat dengan samar sehingga para shinobi tidak curiga. Hinata meningkatkan persenjataan dan kemampuan bertarung semua shinobi tanpa mereka sadari. Diantaranya dengan mengadakan sparing-sparing setiap sore yang wajib diikuti semua shinobi serta mengadakan turnamen internal Konoha.
Naruto memantau persiapan yang dibuat Hinata setiap hari. Tapi Naruto enggan menceritakan perang secara detail karena ada hal yang tak selayaknya diceritakan sekarang. Misalnya tentang kematian Neji. Mental Hinata bisa turun drastis jika tahu kakaknya akan mati. Naruto hanya menceritakan skenario perang secara garis besarnya saja.
Beberapa ninja jenius seperti Kakashi sadar akan rencana yang sedang dirancang Hinata. Namun ia tak pernah punya waktu untuk bicara dengan Hinata saking sibuknya sang Hokage. Sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan Naruto.
“Apa rencana kalian?” tanya Kakashi kepada Naruto yang sedang bersantai di menara Hokage.
“Kami hanya memperkuat kekuatan desa. Itu saja,” kilah Naruto.
Mungkin shinobi lain bisa menerima alasan Naruto itu, tapi tidak dengan Kakashi. Ia tahu ada yang aneh. Jumlah produksi senjata Konoha sudah melebihi batas kewajaran.
“Tapi ini berlebihan. Angkatan perang dan senjata kita terlalu banyak. Desa lain bisa curiga dan menduga kita akan melakukan invasi besar-besaran kepada mereka,” kata Kakashi.
Naruto terdiam. Kakashi memang susah dibohongi.
“Sesuatu yang besar akan terjadi ‘kan?” tanya Kakashi lagi.
“Ya.” Kakashi sudah akan menyela lagi, tapi buru-buru Naruto menambahkan. “Tapi aku tak bisa memberitahumu. Persiapkan dirimu dengan baik. Kau akan banyak berperan saat ‘sesuatu’ itu tiba.”
Tanpa menunggu tanggapan Kakashi, Naruto menghilang. Ia takut salah bicara dan malah membocorkan perang. Apalagi musuh yang akan dihadapi aliansi shinobi adalah sahabat terbaik Kakashi.
Hari berganti hari. Tobi mendeklarasikan perang. Pertemuan 5 Kage telah dilakukan dan kelimanya sepakat untuk membentuk aliansi shinobi. Semua yang dikatakan Naruto benar. Ada perang besar yang akan dihadapi Konoha.
Semua shinobi semakin rajin berlatih, tak terkecuali Hinata.
BUGH!
Pukulan Hinata mengenai perut Naruto dengan telak.
“Ghhk!” Naruto terjatuh, lalu ia mundur untuk menghindari serangan lanjutan Hinata. Tapi Hinata melesat cepat ke arahnya. Pukulan lain sudah mengarah ke wajah Naruto. “Stop!”
Hinata menahan tinjunya. “Itu saja kemampuanmu?” cibir Hinata.
“Cih! Aku hanya menggunakan taijutsu, jika aku menggunakan ninjutsu, kau tak punya peluang menang,” jawab Naruto.
“Hehe.” Hinata mengulurkan tangan ke arah Naruto. “Ayo kita istirahat.”
Naruto meraih tangan Hinata dengan senang hati. Saat ia menuntunnya ke bawah pohon yang teduh, Naruto memperhatikan Hinata dari belakang. Hinata sudah semakin hebat saja, pikirnya. Tak salah ia mewariskan gelar Hokage padanya.
Keduanya duduk bersebelahan di bawah pohon maple, bersandar pada batangnya yang besar. Mereka berdua sedang berada di lapangan berlatih yang biasa digunakan Naruto saat kecil. Jika di kehidupan pertama Hinata hanya berani memperhatikan Naruto dari balik semak, kini Hinata bisa berlatih berdua dengan Naruto di lapangan yang sama.
“Apa aku akan mampu memimpin Konoha dalam perang ini?” tanya Hinata tiba-tiba. Pandangannya lurus ke arah desa Konoha yang terlihat kecil dari tempat mereka berada sekarang. Rasa khawatirnya terlihat jelas. Berbanding terbalik dari perasaan Naruto yang justru yakin pada kemampuan Hinata setelah melihat perkembangan kekuatannya. Maklum saja ini pertama kalinya Hinata akan memimpin Konoha dalam pertarungan skala besar. Ada beban yang harus ditanggungnya. Ada tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ada ribuan nyawa penduduk yang harus ia jaga.
Naruto menepuk pelan puncak kepala Hinata. “Yakinlah pada kemampuanmu sendiri. Bukannya aku ingin membuatmu besar kepala, tapi jika dibandingkan dengan kehidupan pertama kita, kau yang sekarang sudah lebih kuat. Jauh lebih kuat. Percayalah padaku.”
Hinata tersenyum. Ia senang Naruto percaya padanya. “Ini perang dan pasti akan memakan banyak korban. Benarkan? Apa kau bisa memberitahuku siapa saja yang jadi korban?”
Naruto menggeleng. “Aku tak bisa menjawab. Di dunia ini ada hukum keseimbangan alam dimana saat seseorang ditakdirkan mati, maka harus ada energi yang lenyap. Itu artinya jika orang tersebut kau selamatkan dan tidak jadi mati, maka akan ada orang lain yang menggantikan kematiannya. Jadi percuma saja. Aku tak akan memberitahumu siapa saja yang mati. Tetaplah pada rencana yang sudah kita susun. Pandulah para shinobi melawan Kabuto dan Zetsu sementara Tobi dan Madara akan kuurus.”
Meskipun tak puas dengan jawaban Naruto, tapi Hinata akhirnya bisa lebih tenang. “Baiklah kalau begitu.”
Ia memberikan sebotol air dan bento kepada Naruto. Naruto yang sudah kehausan dan kelaparan tak banyak bicara lagi dan langsung minum air yang diberikan Hinata, juga makan bento yang sudah Hinata siapkan. Tapi tak lama kemudian Naruto memuntahkannya. Sontak saja Hinata kaget.
“Kenapa kau muntahkan!?”
“Tidak enak. Kau koki yang payah! Hoek!” ejek Naruto sambil terus mengeluarkan makanan yang masih tersisa di mulutnya.
“A-apa?!” Hinata merebut bento di tangan Naruto dan mencicipinya sendiri. Memang sih rasanya tak begitu enak. Hinata malu sendiri. Padahal saat ia memasaknya rasanya sudah pas.
“Haha, ini lucu sekali padahal dalam loop sebelum-sebelumnya kau jago sekali masak.”
Hinata berpaling ke arah lain. Ia tak ingin menunjukkan rasa malu bercampur kesal yang kini ia rasakan. “Ya, aku memang payah jika dibandingkan Hinata-Hinata sebelumku,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku tidak feminim, aku kasar, aku egois, aku tidak pandai memasak.”
“H-hei..” Naruto menyadari perubahan emosi Hinata.
“Setiap pagi, siang, dan malam aku berlatih untuk mengejarmu. Aku tak punya waktu untuk belajar memasak. Mungkin itu jugalah yang jadi alasan kenapa kau berpikir berulang kali untuk menikahiku,” gumam Hinata lagi.
Naruto tertegun. Ia tidak berpikiran sampai ke sana. Sejak umur 10 tahun Naruto memperlakukan Hinata dengan kasar sehingga memaksa Hinata untuk berlatih agar lebih kuat. Mana ada waktu untuk sekedar belajar memasak? Naruto lupa kalau dirinyalah yang membentuk sifat Hinata ke-18 jadi seperti sekarang.
“Aku memang bukan tipe istri yang ideal. Aku tak akan menyalahkanmu jika kelak kau meninggalkanku karena sifatku ini.” Rasa kesal itu perlahan berubah menjadi sebuah ungkapan yang menyayat hati.
“Tidak!” sela Naruto. “Memangnya siapa yang akan meninggalkanmu?”
Hinata tak bicara lagi. Naruto menghela napas pelan kemudian ia beringsut mendekati Hinata. Dilingkarkannya kedua tangannya di pinggang Hinata, membuat gadis itu kaget.
Naruto memeluk Hinata dari belakang kemudian bergumam, “Maaf Hime, aku keterlaluan.”
Hinata tak memberontak. Ia terlihat mengusap wajahnya, sepertinya tadi ia menangis. Tak lama kemudian Hinata bersandar di dada Naruto dan memegang erat tangan Naruto yang sedang memeluknya.
“Jangan pernah membeda-bedakan lagi Hinata dengan Hinata lainnya,” kata Hinata, suaranya agak serak. “Aku yakin bagaimanapun sikap mereka, mereka punya cara tersendiri untuk menyayangimu, begitu juga denganku.”
“Ya, aku tak akan melakukannya lagi.”
Lama keduanya terdiam, seakan tak ingin melewatkan kebersamaan ini. Jarang-jarang mereka punya kesempatan untuk ini.
“Ngomong-ngomong mau sampai kapan kau memelukku? Badanku bau keringat lho,” celetuk Hinata.
Naruto tertawa. “Tak apa. Aku suka bau keringatmu. Beri aku waktu 3 menit lagi.”
“Ck! Dasar mesum.”
Perang antara aliansi shinobi dan Tobi telah dimulai. Setelah sekian lama 5 negara besar saling bersaing dan saling mengawasi kini kelimanya kembali terlibat dalam perang besar. Namun bedanya, dalam perang dunia ninja ke-4 ini kelima negara bersatu membentuk aliansi shinobi untuk melawan Akatsuki yang dipimpin oleh Tobi.
Ini tentu bukan hal yang baru bagi Naruto. Ia sudah hapal alur perang ini. Perang dimulai dengan Tobi alias Obito sebagai pemimpinnya dibantu Kabuto, kemudian diambil alih oleh Madara, kemudian oleh Kaguya.
Dari hasil pengamatan Naruto, seharusnya perang tidak akan berkepanjangan seandainya Naruto mencegah perbuatan Tobi dari awal. Dalam loop sebelum-sebelumnya, Naruto pernah menghindarkan Konoha dari perang. Namun karena dalam loop ke-18 ini Naruto baru bisa ‘diatur’ oleh Hinata sekarang, maka Naruto baru memikirkan lagi nasib Konoha sekarang. Sebelumnya ia terlanjur cuek dan malas untuk mengurus perang. Ia cenderung pasrah dan membiarkan semuanya mengalir seperti biasa. Mungkin sudah bosan dengan loop yang terjadi.
Sekarang mau tak mau Naruto harus menyelesaikan perang meskipun sudah terlanjur dimulai. Ia akan membelokkan sedikit alurnya.
Obito dan Madara dinilai paling kuat saat ini karena Kaguya belum muncul, maka Naruto memutuskan untuk menangani mereka sementara shinobi lain menghadapi Kabuto dan ribuan Zetsu.
Naruto kembali mengeluarkan ceramahnya untuk mengalahkan Obito. Ditambah bantuan Kakashi, akhirnya Obito mau diajak untuk menggagalkan niatnya menjalankan rencana mata bulan. Yang jadi permasalahan justru adalah Madara yang tak mempan dilawan dengan cara halus. Madara bukanlah sosok yang mau dengan mudah diajak berkompromi. Ujung-ujungnya tetap saja Naruto harus mengalahkan Madara.
“Waktumu di dunia sudah habis. Tempatmu bukan di sini.”
“Aku di sini untuk melawan Hashirama,” kata Madara. “Bukan kau.”
“Sayangnya kau harus melewatiku dulu.”
“Dasar bocah.”
Madara bukanlah musuh kacangan yang bisa dikalahkan dengan cepat. Meskipun Naruto sudah pernah melawannya berulang kali, tapi Madara selalu memberikan perlawanan sengit. Madara selalu punya gaya penyerangan yang berbeda, menyesuaikan dengan tingkat kekuatan lawan. Daya analisisnya cepat khas seorang Uchiha.
BLASH!
Madara menatap perutnya yang dihancurkan oleh Rasengan milik Naruto. Ada yang aneh. Serpihan-serpihan tubuhnya tak kembali seperti semula. Naruto menggabungkan jurus miliknya dengan teknik penyegelan.
“Aku bukan bocah, umurku mungkin 7 atau 8 kali lebih tua darimu.”
Madara melotot tak percaya. “Siapa kau sebenarnya?”
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang iri padamu. Kau bisa mati tapi ingin hidup abadi. Percayalah, setelah kau hidup abadi kau justru akan berharap untuk bisa mati.”
Dengan demikian Madara bisa disegel tanpa sempat mengaktifkan mata bulan. Kaguya tak pernah muncul di loop ke-18. Dan terdengar kabar kalau Kabuto dan pasukannya pun sudah bisa ditangani.
Perang kali ini berjalan singkat. Tapi bukan berarti Naruto tidak kelelahan. Melawan Madara, Obito, dan Juubi bukanlah hal yang mudah meskipun sudah dibantu oleh shinobi lain. Tetap saja Naruto kehabisan chakra.
Namun seolah-olah rasa lelahnya lenyap begitu melihat Hinata. Begitu menyadari kehadirannya, Hinata segera berlari ke arah Naruto. Wajahnya begitu ceria. Tampak raut kepuasan di sana karena ia telah mampu memimpin Konoha memenangkan perang. Kedua tangan Hinata diulurkan, seperti ingin memeluk Naruto. Naruto mengerti. Ia ikut tersenyum dan bersiap menyambutnya. Tapi pelukan itu tak pernah terjadi. Hinata terlanjur tumbang ke tanah.
“Hinata!”
Naruto panik dan segera meraih Hinata ke dalam pangkuannya. Raut wajah Naruto makin panik kala ia menyadari kalau hidung Hinata mengeluarkan darah.
“Medis! Medis! Sakura! Dimana Sakura?!” teriak Naruto.
Tak lama kemudian Sakura datang. Ia segera memberikan pertolongan pertama dengan mengalirkan chakra ke tubuh Hinata. Lama Sakura berusaha menyembuhkan Hinata. Wajahnya berubah pucat.
“Apa kau membutuhkan chakra tambahan? Ambil dari tubuhku,” ujar Naruto.
Sakura menggeleng. ”Maaf Naruto.”
“Maaf apa maksudmu?!”
“Hinata… dia tak bisa bertahan lebih lama lagi.”
Naruto tertegun. “Tidak, tidak, tidak! Kenapa ini bisa terjadi?!” tanya Naruto panik. “Aku sudah mengirimkan bunshin-ku ke sini untuk membantu.”
“Apa karena dia mengobati kami semua dengan jurusnya?” tanya Ino yang ikut memeriksa keadaan Hinata.
“Bukan itu penyebab utamanya,” jawab Sakura. “Ini efek jangka panjang dari penggunaan jurus penyembuhan Sozo Saisei selama bertahun-tahun. Tsunade-sama pernah bilang kalau itu jurus yang bisa memperpendek umur. Dia bukan keturunan Hashirama dan juga dia tak punya stamina yang besar. Dia selalu memaksakan diri dengan menyembuhkan seluruh luka di badannya dengan jurus itu. Dia melakukannya untuk… mengejarmu… untuk berusaha lebih kuat darimu.”
“Apa?” Naruto baru sadar kalau semua ini salahnya. Semua kekacauan ini berujung pada sikapnya terhadap Hinata sejak 6 tahun lalu.
“Tidak apa-apa Naruto,” bisik Hinata.
“Hinata…” Naruto memeluk Hinata. Ia tak ingin kehilangan gadis itu. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengannya lebih banyak.
“Ini bukan salahmu. Aku ingin lebih kuat darimu karena memang itu keinginanku sendiri. Lalu aku juga melindungi penduduk karena itu kewajibanku sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang Hokage,” lanjut Hinata.
“Tapi ini salah. Tidak seharusnya berakhir begini. Bukankah kita akan menikah, Hime?” tanya Naruto. Hinata bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari suara Naruto.
“Maafkan aku…” Hinata menggenggam tangan kanan Naruto. “Tenang saja. Bukankah kau bisa bertemu dengan Hinata ke-19 di loop selanjutnya?”
“Tapi kalian berbeda. Kau unik. Aku tak ingin kehilanganmu,” jawab Naruto.
“Lagi-lagi kau salah. Semua Hinata itu sama. Jika kau pikir kami beda, berarti kau tidak benar-benar melihat hati dan kesungguhan kami. Bagaimanapun sikap yang kami tunjukkan, bagaimanapun tampilan luar kami, pada dasarnya kami punya satu kesamaan… kami semua amat menyayangimu…. Semua Hinata menyayangimu tanpa terkecuali. Jadi… berjanjilah… tolong perlakukan Hinata selanjutnya… dengan baik,” bisik Hinata lagi dengan suara yang putus-putus.
“Tapi-“
“Jangan banyak protes, waktuku tak banyak….” potong Hinata. “Dengar, mungkin kau sudah tahu ini. Kau melarangku untuk mengucapkan ini. Tapi aku sangat ingin mengucapkannya, setidaknya sebelum aku mati.”
Naruto sudah tahu apa yang akan dikatakan Hinata. Dengan berat hati akhirnya Naruto mengangguk.
“Aku menyayangimu, Naruto…. Sangat… menyayangimu,” ujar Hinata, mengungkapkan kalimat sederhana yang sudah lama ingin disampaikannya kepada Naruto.
“Aku juga menyayangimu, Hime,” jawab Naruto, akhirnya mengakui perasaannya. Hinata tersenyum bahagia. Naruto menggenggam erat kedua tangan Hinata kemudian menciumnya. Sayangnya genggaman Hinata kian melemah, seiring dengan mata lavendernya yang perlahan menutup.
“Kenapa kau lakukan ini Hime? Kenapa kau meninggalkanku? Bukankah kita akan menikah? Aku sudah berjanji akan melamarmu setelah perang usai,” ujar Naruto bicara sendiri. Ucapannya begitu pilu, membuat semua orang di sekitarnya ikut sedih.
Naruto tak menangis, tapi rasa sakit di dadanya bukan main.
Meski Naruto dan Hinata ke-18 sering berkelahi, tapi entah kenapa Hinata di loop ke 18 ini bisa mengembalikan keinginan Naruto untuk menikahi Hinata lagi setelah sekian lama menjauhinya. Hinata ke-18 adalah Hinata yang paling dekat dengan Naruto setelah Hinata di kehidupan pertama. Meskipun kebersamaan mereka tak banyak, Naruto sangat menghargai setiap detik waktunya bersama Hinata 18. Naruto merasakan kehilangan yang hampir setara dengan kehilangan di kehidupan pertamanya.
Dibaringkannya Hinata di tanah dengan hati-hati.
“Kau mempelajari jurus yang sama dan kau baik-baik saja. Kenapa tidak kau saja yang mati?” tanya Naruto dingin. Ia masih menunduk menatap sosok tak bernyawa Hinata. Sakura menutup mulutnya tak percaya. Ia tahu sejak di akademi Naruto memang tak lagi tertarik padanya. Naruto juga sempat beberapa kali melontarkan kata-kata tajam. Tapi jika menyuruhnya mati, rasanya ini sudah keterlaluan. Kenapa teman satu timnya itu jadi tidak berperasaan begini? Gadis pink itu tak mampu menahan rasa sedihnya dan menangis.
“Naruto!” bela Tsunade yang baru datang dari kerumunan shinobi. Kelihatannya ia terluka parah karena harus dibantu Shizune saat berjalan.
Naruto seolah sudah kalap. Ia tak peduli omongan Tsunade. Naruto kemudian menatap Neji yang berjongkok tak jauh darinya.
“Atau kau saja, Neji. Kenapa tidak kau saja yang mati? Asal kau tahu, kaulah yang seharusnya ditakdirkan mati hari ini. Bukan Hinata.”
Neji menyernyit tak mengerti. Sejak tadi ia pun kurang bisa menangkap apa yang dibicarakan Hinata dan Naruto. Loop, Hinata selanjutnya, Hinata ke-19, apalah arti semua itu? Tapi yang jelas ia tersinggung jika disuruh mati.
“Cukup Naruto! Jaga omonganmu!” ulang Tsunade.
“Jadi tidak ada yang mau mati?” tanya Naruto sambil berdiri dan menatap semua shinobi di sekelilingnya. Beberapa dari mereka perlahan melangkah menjauh. Mereka berpikir Naruto gila karena kehilangan Hinata. Bicaranya ngawur. “Baiklah kalau begitu.”
Secepat kilat Naruto merebut katana milik Sasuke dan diarahkannya ke jantungnya.
“Kalau begitu aku saja yang mati.”
Semua orang terkejut atas sikap Naruto. Apa yang merasuki pikirannya hingga ia jadi begini? Tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu seberat apa beban yang ditanggungnya akibat loop yang terjadi tanpa henti. Naruto berpikir mungkin dengan bunuh diri loop bisa dihentikan.
“Naruto! Apa yang kau lakukan?! Sadarlah!” cegah Tsunade.
“Tenangkan dirimu Naruto!” ujar Kakashi.
“Hentikan Naruto!” cegah yang lain.
Naruto seolah tak peduli dan malah tersenyum. Ia mengambil ancang-ancang.
“Aku ingin menemui Hinata lagi. Selamat tinggal.”
Katana itu melesat cepat ke dada kirinya, mengincar jantung Naruto.
BLESH!
Naruto merasakan sakit yang teramat sangat di dadanya. Pandangannya mulai buram seberapa kuatpun ia membuka matanya. Naruto sempat melihat orang-orang berteriak padanya. Lalu menangkapnya saat ia akan terjatuh ke tanah. Tapi tak satupun suara mereka yang bisa Naruto dengar. Pandangannya makin gelap dan akhirnya semuanya berubah hitam.
Hitam.
Tak!
Naruto membuka matanya. Kapur tulis di tangan Naruto patah. Tangannya gemetaran. Perlahan ia menoleh ke arah Hinata.
Sosok yang dicarinya ada di sana. Duduk memperhatikan ke depan kelas. Ternyata bunuh diri tidak menghentikan loop, kini Naruto masuk ke loop 19. Naruto bisa bertemu dengan Hinata tapi ia tak mau senang dulu. Apa Hinata yang ada di hadapannya sama dengan Hinata yang akan dinikahinya?
“Hinata,” panggil Naruto.
“Y-ya?” sahut Hinata. Terkejut mendengar Naruto tiba-tiba memanggilnya.
“Apa kau tahu makna bunga lavender?” tanya Naruto.
Sontak saja Hinata bingung, termasuk seisi kelas. Naruto tak pedulikan panggilan Iruka yang menyuruhnya melanjutkan tugasnya di papan tulis. Pandangan Naruto masih lurus ke arah Hinata.
‘Ingatlah! Kumohon,’ batin Naruto, penuh harap.
“Um… tidak. Aku tidak tahu,” jawab Hinata.
Naruto merasa dadanya seperti hancur berantakan. Dikepalkannya kedua tangannya. Kapur yang dipegangnya sudah benar-benar hancur. Tanpa mempedulikan seisi kelas, Naruto melompat ke samping Hinata dan menarik kerah jaketnya.
“Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu! Lavender berarti pengabdian, keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Kenapa kau tak juga mengingatnya!”
Naruto mengguncang-guncangkan badan mungil Hinata.
“M-maaf… aku tidak tahu. Hiks….” Perlahan kedua mata lavender Hinata mengeluarkan air mata. Ia menangis. Ia tak mengerti kenapa Naruto marah hanya karena ia tak tahu makna bunga lavender? Lalu kenapa saat Hinata melihat mata safir Naruto ia merasa sedih?
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan dia Naruto!” lerai Iruka.
“Arghh!” Keadaan sudah semakin kacau. Naruto menghempaskan tubuh Hinata kemudian berlari lewat jendela. Tujuannya adalah monumen Hokage. Dalam perjalanan ke sana Naruto ingat kalau hanya dirinya yang mengalami loop. Hinata ke-18 sudah benar-benar mati, kenangan yang pernah mereka miliki sudah lenyap begitu saja….
Naruto memegang dadanya yang kembali terasa sakit. Ini terlalu sakit. Naruto sudah tak tahan.
Naruto bunuh diri lagi dengan cara menjatuhkan dirinya dari atas monumen Hokage.
Bangun di kelas lagi.
Bunuh diri lagi.
Lagi….
Lagi….
Lagi….
Sampai ia lupa bagaimana rasanya ‘sakit’ dan bagaimana rasanya ‘mati’.
To Be Continue…
© rifuki
The Infinite Loops – Chapter 1
The Infinite Loops – Chapter 2
The Infinite Loops – Chapter 3
The Infinite Loops – Chapter 4
The Infinite Loops – Chapter 5
The Infinite Loops – Chapter 6
The Infinite Loops – Chapter 7
The Infinite Loops – Chapter 8 (End)