The Infinite Loops – Chapter 5

The Infinite Loops – Chapter 5

Sebelumnya dalam The Infinite Loops:

“Apa kau dari masa depan?”

Naruto tersenyum melihat kejelian tamu-tamunya siang itu. Karena tidak mau berdebat terlalu panjang, Naruto mengiyakan saja pertanyaan yang diajukan kepadanya. Toh tebakan mereka mendekati ‘benar’.

“Ya. Aku dari masa depan,” jawab Naruto datar.

“Identitasmu hanya diketahui oleh kami berenam dan kami pastikan Hinata tidak tahu.”

Naruto masih belum bisa menyamakan istrinya dengan Hinata yang sekarang berada di sampingnya. Ia harus menjauhkan Hinata dari dirinya bagaimanapun caranya. Menjauhkannya dengan serangan fisik sudah sering dilakukan, sekarang ia coba dengan cara menyerang mentalnya.

“Kalau kau sudah sadar pada ketidakmampuanmu, sudah saatnya kau menyerah. Pecundang.”

Air mata Hinata akhirnya menetes juga. Naruto dan Hinata pada kenyataannya hanya saling menyakiti satu sama lain. Tapi ini lebih baik dibandingkan Hinata dekat dengan Naruto. Itu puluhan kali lebih sakit bagi Naruto.

“Ada apa lagi Hinata?”

“Aku ingin jadi murid kalian.”

Kening Jiraiya berkerut. “Mungkin maksudmu, ingin meminta izinku untuk jadi murid Tsunade?”

“Tidak. Maksudku aku ingin jadi murid kalian berdua. Sekaligus.”

Chapter 5

“Hokage

Loop Ke-18, 2 Tahun Kemudian

“Sudah kubilang kau tak boleh memakai jurus ini. Dasar gadis keras kepala,” omel Tsunade kepada salah satu muridnya, Hinata. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Gōen Rasengan merusak jaringan di tanganmu sampai ke tingkat sel dan juga menyebabkan luka bakar yang serius,” tambah Tsunade.

Gōen Rasengan adalah gabungan rasengan dan elemen api yang diajarkan Jiraiya kepada Hinata. Hinata sebenarnya tahu kalau jurus itu seperti pedang bermata dua. Rasa sakit yang dirasakan di tangan kanannya berbeda dengan luka biasa. Karena itulah penyembuhannya juga tak bisa dilakukan dengan cara biasa. Teknik penyembuhan yang dilakukan Tsunade tidak bisa secara langsung menyembuhkan luka itu. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka tersebut sepenuhnya, yaitu dengan membiarkan tubuh Hinata meregenerasi sendiri jaringan di tangannya. Tsunade menyuruh Hinata membuka jaket jounin serta menggulung lengan kaosnya agar Tsunade lebih leluasa mengobati luka Hinata. Untuk sekarang, Tsunade membalut dulu tangan Hinata dengan perban agar tidak infeksi.

“Padahal aku bisa pakai jurus Sozo Saisei untuk-”

“Jangan pernah berpikir untuk memakainya!” bentak Tsunade.

Hinata terlonjak kaget dibuatnya. Gurunya memang selalu marah jika ia membahas jurus itu. Wajah Hinata kemudian berubah cemberut. Gōen Rasengan dilarang digunakan, sekarang Sozo Saisei pun dilarang digunakan.

“Aku berhasil menguasai jurus terhebat kalian, tapi percuma kalau aku tidak boleh menggunakannya,” gumam Hinata.

Tsunade mendengus kesal. Entah Hinata sadar atau tidak, ia jadi susah diatur. Sikap Hinata yang pemalu dan penurut sudah benar-benar hilang. Dari 3 muridnya, Hinata dikenal paling keras kepala. Selama ini Tsunade harus memberikan perhatian ekstra kepada Hinata. Jika tidak, Hinata akan memaksakan dirinya untuk berlatih tanpa peduli kondisi tubuhnya sendiri.

“Sudah sering kubilang, aku tak akan pernah mengizinkanmu memakai jurus Sozo Saisei jika tidak benar-benar darurat. Kau tahu ‘kan jurus itu bisa memperpendek umurmu. Setiap jurus hebat selalu punya efek samping. Ugh, ini juga salah Jiraiya karena ikut-ikutan mengajarkan jurus yang berbahaya padamu.”

Hinata menggeleng cepat. “Jangan salahkan dia. Sebenarnya aku yang memaksa Jiraiya-sama untuk mengajarkanku jurus ini. Aku juga tahu resiko kedua jurus terhebat kalian.”

“Pantas saja,” keluh Tsunade.

Bagi Hinata, resiko seperti itu tidak ada apa-apanya. Ia mempelajari jurus-jurus hebat dari para Sannin semata-mata karena ingin lebih kuat dalam waktu yang singkat. Kalau tidak begitu, ia akan makin jauh tertinggal oleh Naruto. Dari kabar terakhir yang Hinata dengar, Naruto berulang kali ditawari jadi ANBU dan penasihat Hokage, tapi ia selalu menolak dan tetap jadi jounin. Namun secara tidak resmi orang-orang mengelompokkan Naruto ke dalam Elite Jounin, yang derajatnya lebih tinggi dari jounin biasa. Naruto sudah sering dilibatkan dalam misi rahasia. Hokage juga tak ragu melibatkan Naruto dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keamanan Konoha.

“Jangan gunakan dulu tangan kananmu selama 3 hari,” kata Tsunade setelah selesai membalut tangan Hinata. “Temui aku di rumah sakit setiap pagi dan sore. Aku harus mengoleskan salep di lukamu dan mengganti perbannya secara rutin.”

Hinata mengangguk. Tsunade memberikan sebungkus kecil obat penahan rasa sakit berikut petunjuk penggunaan dosisnya.

“Aku tahu alasan kenapa kau ingin lebih kuat dalam waktu yang singkat. Kau ingin mengalahkan Naruto.”

Hinata tak heran jika Tsunade sudah tahu maksud dirinya berlatih dengan giat. Mereka berdua sudah sangat dekat selama 2 tahun terakhir ini. Hinata sudah banyak bercerita tentang Naruto kepada Tsunade.

“Motivasi seperti itu sah-sah saja. Motivasimu itu telah mengantarkanmu jadi ninja yang kuat. Sekarang kami sudah selesai melatihmu. Kami tak punya ilmu lain yang bisa kami ajarkan. Dan kalau boleh jujur, kemampuanmu kini sudah melebihi kami. Aku hanya penasaran, jika suatu hari nanti Naruto berhasil kau kalahkan, apa kau akan berhenti berusaha menjadi lebih kuat?” tanya Tsunade.

“Aku belum memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya berpikir untuk mengalahkan Naruto, jadi Hokage, dan memaksa Naruto menceritakan masalahnya.”

“Kalau begitu pikirkan baik-baik kata-kataku tadi. Sayang sekali jika nanti kau berhenti berusaha hanya karena telah mencapai impianmu. Kau punya potensi yang bagus.”

Hinata tak menyangka Tsunade seyakin itu pada kemampuannya. Padahal Hinata sendiri belum yakin kalau dirinya bisa mengalahkan Naruto.

“Aku akan pikirkan. Terima kasih sensei.”

Sementara itu di gedung Hokage, Yamato sedang melaporkan hasil misinya bersama tim 7. Mereka baru pulang menyelamatkan tim 10 dari Kakuzu dan Hidan.

“Bagaimana misinya?” tanya Jiraiya kepada 3 orang di hadapannya.

“Sukses,” jawab Yamato. Ia menyimpan laporan misi di meja Hokage. Sakura dan Sai berada di sampingnya.

“Sebenarnya aku tak berbuat banyak di sana, Shikamaru mengalahkan Hidan sendirian,” ujar Sakura.

“Aku pun begitu,” kata Yamato sambil tersenyum. “Hinata mengalahkan Kakuzu sendirian.”

Jiraiya mengambil laporan misi tersebut dan memperhatikannya dengan seksama. Di sana tertulis kalau Hinata berhasil menghancurkan 4 dari 5 jantung milik Kakuzu, sementara Shikamaru mengalahkan Hidan sendirian. Ia tersenyum bangga saat tahu muridnya berhasil mengalahkan anggota Akatsuki. Misi penyelamatan tim 10 ini sebenarnya diberikan kepada Naruto dan tim 7, tapi Hinata bersikeras ingin pergi karena ingin menguji jurusnya. Naruto tak banyak protes dan membiarkan Hinata menggantikannya.

“Lalu dimana Hinata, Kakashi, dan tim 10 sekarang?” tanya Jiraiya.

“Mereka sedang mendapatkan perawatan di rumah sakit, terutama Hinata. Efek penggunaan Gōen Rasengan yang baru dikuasainya membuat tangannya terluka.”

“Sudah kuduga. Aku tidak akan mengajarkannya kalau Hinata tidak memaksa,” gumam Jiraiya.

“Kalau begitu kami pamit,” kata Sakura.

“Baiklah. Terima kasih.”

Sakura mohon diri diikuti Sai di belakangnya. Yamato masih diam di ruangan Hokage karena ada yang ingin dibicarakannya dengan Jiraiya.

“Hinata telah tumbuh jadi ninja yang hebat,” kata Yamato memulai pembicaraan.

“Ya,” kata Jiraiya menyetujui. “Dua tahun ini dia fokus berlatih di bawah arahanku dan Tsunade. Aku tak menyangka perkembangannya akan sepesat ini. Padahal kami sempat khawatir misi ini akan gagal.”

“Obsesinya mengalahkan Naruto masih belum hilang.”

“Kurasa itu tak akan hilang. Persaingan mereka tak akan berhenti kecuali ada satu pihak yang mengalah.”

“Ya. Seiring peningkatan kekuatan mereka, persaingan mereka sudah semakin nyata terlihat. Ini membuat khawatir beberapa teman seangkatan mereka. Bagaimana jika suatu saat mereka kembali bertikai seperti dulu? Apa tidak sebaiknya kita beritahu rahasia Naruto kepada Hinata?”

“Tenang saja, Yamato. Kita tidak perlu ikut campur. Mereka sudah dewasa. Ini adalah masalah yang harus diselesaikan oleh mereka berdua. Aku semakin yakin kalau Naruto bukan sekedar kembali ke masa lalu, tapi dia punya masalah yang lebih berat.”

“Yasudah kalau begitu.”

“Oh ya, berbicara mengenai Akatsuki, aku melihat pergerakan Akatsuki makin agresif. Aku tahu Naruto mampu melindungi dirinya sehingga tak akan mudah bagi Akatsuki untuk menangkap Kyuubi. Tapi teror yang mereka tunjukkan tidak bisa dianggap remeh.”

Kening Yamato berkerut mendengar arah pembicaraan Jiraiya.

“Apa ini mengenai informasi pergerakan Uchiha Itachi?” tanya Yamato.

Informan terpercaya Jiraiya mengatakan kalau Sasuke telah membunuh Orochimaru dan kemungkinan besar sedang mengejar Itachi. Ini jadi kesempatan yang bagus untuk menangkap Sasuke sekaligus Itachi.

“Itu salah satunya,” jawab Jiraiya. “Kalau itu, aku sudah memperhitungkannya. Jika 5 hari lagi Hinata dan Kakashi sudah sembuh, maka aku akan menugaskan kalian lagi. Kali ini kau akan memimpin tim 8 yang cocok untuk ditugaskan melacak keberadaan Itachi. Sedangkan Kakashi akan memimpin tim 7. Aku justru mengkhawatirkan hal lain.”

“Hal lain apa? Ada informasi baru?”

“Ya. Dari informasi yang kudapatkan, ketua Akatsuki bermarkas di Amegakure. Aku harus menyelidiki kebenarannya.”

“A-apa?!” Intonasi Yamato meninggi. Pernyataan Jiraiya dapat diartikan kalau dia akan meninggalkan Konoha. “Dengan segala hormat, anda seorang Hokage, anda tidak bisa seenaknya keluar desa dan masuk ke daerah musuh. Kita punya divisi pengintaian untuk tugas seperti itu.”

Jiraiya menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia lalu tersenyum santai. Kontras sekali dengan Yamato yang sedang panik.

“Tidak. Kau ingat saat perang dunia ninja ke-2? Aku pernah tinggal di Amegakure bersama 3 orang muridku yang berasal dari sana. Orang Konoha yang paling tahu seluk beluk Amegakure adalah aku.”

“Tetap saja ini berbahaya. Paling tidak, bawalah beberapa orang ANBU bersamamu.”

“Tidak usah. Aku hanya mengintai, bukan menyerang. Sebisa mungkin aku akan menghindari pertarungan.”

Yamato kehabisan kata-kata untuk berargumen dengan Jiraiya. Di sisi lain, penyelidikan mengenai ketua Akatsuki memang penting. Konoha butuh segala informasi yang berkaitan dengan Akatsuki sebagai bahan analisis. Hasil analisis akan digunakan untuk bertahan jika nanti Akatsuki menyerang atau bahkan untuk menyerang balik. Jika penyelidikan tidak dilakukan sekarang, dikhawatirkan ketua Akatsuki terlanjur bergerak ke tempat lain. 

“Tsunade-sama tak akan senang mendengar hal ini,” kata Yamato.

Jiraiya tertawa pelan.

“Tenang saja, aku yang akan bicara langsung padanya.”

Sore harinya Jiraiya menjelaskan niatnya untuk ke Amegakure kepada Tsunade. Ia mendapatkan omelan panjang dari Tsunade karena hal itu. Tapi akhirnya Tsunade membiarkan Jiraiya pergi. Meskipun ia temannya, ia tak bisa berbuat banyak karena Tsunade tak bisa membantah keputusan seorang Hokage. Jiraiya berencana pergi bersamaan dengan keberangkatan tim 7 dan 8.

Lima hari kemudian Hinata dan Kakashi sudah sembuh dan siap menjalankan misi. Maka rencana Jiraiya untuk mengirim tim 7 dan 8 segera dilaksanakan. Naruto datang paling pertama saat dipanggil ke ruang Hokage.

“Aku menolak,” jawab Naruto datar.

Jiraiya kaget mendengar perkataan Naruto yang tak disangka-sangka ini.

“Apa maksudmu menolak? Jika ada Itachi, maka dipastikan keberadaan Sasuke tak jauh darinya. Bukankah kalian ingin membawa pulang Sasuke?”

Naruto menatap lurus ke arah Jiraiya masih dengan raut wajahnya yang datar.

“Yang bersikeras ingin membawa pulang Sasuke adalah Sakura, bukan aku.”

“Jadi kau sendiri tidak ingin membawa pulang Sasuke?”

“Aku ingin. Tapi sekarang bukan saatnya,” gumam Naruto. Jiraiya tak mengira rencananya tak berjalan mulus untuk mengirim tim 7 dan 8. Padahal jika Naruto ikut, persentase keberhasilan misi akan besar. “Dan lagi, kalau Hinata sudah jadi peserta misi, maka aku tak perlu datang. Bukankah kau bilang Hinata kuat? Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk membuktikan kemampuannya?”

Kata-kata Naruto tidak sepenuhnya salah. Jiraiya tahu Hinata kuat. Kehadiran Hinata bisa menghilangkan kemungkinan terburuk, misalnya tim dihabisi Akatsuki. Jiraiya pun tak bisa menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Naruto. Jika diingat lagi, Naruto tak pernah meminta untuk diangkat jadi jounin. Justru Jiraiya yang memberikan hak istimewanya 2 tahun lalu kepada Naruto untuk jadi jounin. Jadi sudah dipastikan Naruto tak akan menurut pada perintah Jiraiya.

“Kalau hanya itu yang ingin kau sampaikan, aku pulang saja. Aku akan istirahat jadi jangan ganggu aku,” kata Naruto sambil berlalu.  

Jiraiya terlihat pasrah. Ia tak bisa menuntut apapun dari Naruto.

Di lorong, Naruto berpapasan dengan sisa peserta misi lainnya yaitu Kakashi, Yamato, Hinata, Shino, Kiba, Sai, dan Sakura. Naruto tak menatap mereka sedikit pun. Naruto terus saja berjalan lurus menuju pintu keluar gedung. Bahkan ia tak menghiraukan sapaan Kiba kepadanya. Itu berbeda sekali dengan Hinata yang dari awal memperhatikan Naruto hingga pemuda itu menghilang di ujung lorong. Mereka semua yang bingung atas kepergian Naruto meneruskan langkah mereka ke ruang Hokage. Mereka akan mencari tahu dari Hokage apa yang sebenarnya terjadi.

“Kenapa Naruto pergi? Bukankah dia bagian dari peserta misi?” tanya Kakashi.

“Dia menolak mentah-mentah,” jawab Jiraiya, mengagetkan semua orang dihadapannya. Jiraiya menghela napas pelan kemudian bersandar di kursinya. “Aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini dia jadi pilih-pilih misi.”

Hinata harus kecewa untuk kesekian kalinya. Ia berpikir dirinya akan bisa menghabiskan waktu bersama Naruto jika dipaksa bekerja sama dalam sebuah misi. Tapi kenyataannya Hokage pun tak bisa membuat Naruto patuh. Hinata harus berusaha sendiri untuk dekat dengan Naruto.

Setelah peserta lengkap (minus Naruto), misi pencarian Itachi dan Sasuke dimulai. Daerah tujuan misi kali ini bersalju sehingga mereka memakai jubah berwarna krem. Di saat yang bersamaan Jiraiya berangkat ke Amegakure untuk mencari informasi lebih detail tentang ketua Akatsuki. Kepemimpinan Konoha diberikan kepada Tsunade untuk sementara selama Jiraiya pergi.

Tsunade tak tahu kalau misi ke Amegakure akan jadi misi terakhir Jiraiya.

Selama kepergian Hinata, Naruto bisa bernapas lega. Setiap hari ia bisa berkeliaran di Konoha tanpa takut untuk bertemu Hinata. Ia makan ramen di Ichiraku, menyapa beberapa penduduk yang ia kenal, dan mengunjungi tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi.

Ini sebenarnya bukan pertama kali Naruto menolak misi. Pernyataan Naruto dulu kepada Yamato untuk tidak mematuhi Hokage ternyata bukan hisapan jempol belaka. Naruto sering bertindak semaunya sendiri. Terkadang ia menolak misi, tapi terkadang ia akan membantu menyukseskan misi orang lain tanpa diminta. Bahkan jika mood-nya sedang bagus, ia akan datang sendiri kepada Jiraiya untuk meminta misi. Namun satu yang pasti, Naruto akan SELALU menolak misi yang melibatkan dirinya dan Hinata.

Naruto mulai masuk pada masa yang sulit. Saat Hinata mencapai umur 16 tahun di setiap loop, rambut indigo Hinata akan dibiarkan panjang, wajahnya akan mulai melancip, dan tubuhnya akan semakin memperlihatkan kedewasaan. Hinata yang sekarang semakin mirip dengan sosok istri Naruto di kehidupan pertamanya. Itu semua membuat hati Naruto sakit.

Loop ke-18 bukan lagi sebuah lelucon yang seenaknya dimainkan Naruto. Perbedaan alur di loop ke-18 tidak lagi memberikan sebuah hiburan bagi Naruto. Hinata sudah tidak bisa dijauhkan dari Naruto meskipun sudah disakiti secara fisik maupun mental. Hinata tetap teguh pada keyakinannya untuk terus mendekati Naruto. Tanpa sepengetahuan Hinata, keteguhan Hinata ini justru semakin hari semakin membuat Naruto takut kepadanya. Naruto lebih sering mengurung diri di rumah atau menjalankan misi ke luar desa. Yang penting dirinya tidak dekat-dekat dengan Hinata. Semakin hari Naruto semakin takut bertatap muka dengan Hinata.

Naruto takut menatap wajah cantik itu.

Naruto takut jatuh cinta untuk kesekian kalinya kepada Hinata. 

Pemikiran Naruto tentang Hinata terhenti saat ia lewat di depan toko bunga Yamanaka. Ia ingat sesuatu. Tanpa pikir panjang ia masuk dan membeli seikat bunga tulip putih. Inoichi yang saat itu kebagian menjaga toko heran dibuatnya. Jarang-jarang Naruto membeli bunga. Ditambah lagi bunga yang dibeli adalah bunga tulip putih yang biasanya dipakai sebagai penghormatan terhadap orang yang meninggal.

“Bunga untuk Asuma?” tanya Inoichi penasaran. Inoichi berpikir Naruto tak pernah tahu makam orang tuanya. Ia juga tak punya orang dekat lain yang sudah meninggal. Maka Asuma adalah tebakan paling logis karena ia baru meninggal beberapa minggu lalu.

“Bukan,” jawab Naruto.

“Lalu?”

“Siapa yang tahu?” kata Naruto sekenanya.

Inoichi tak bicara apa-apa lagi karena dari jawaban singkat Naruto ia tahu Naruto sedang tidak ingin mengobrol panjang lebar.

Naruto menyimpan tulip itu di pinggir hutan, tempat yang nantinya akan dijadikan makam Jiraiya. Makam yang sebenarnya hanya simbol karena jasad Jiraiya tenggelam ke dasar laut. Jiraiya sudah tewas dibunuh Pain di Amegakure bertepatan dengan menit dimana Naruto membeli bunga tersebut. Saat ini hanya Naruto yang tahu kematian Jiraiya.

Delapan jam kemudian barulah Fukusaku membawa kabar kematian Jiraiya kepada Tsunade dan seluruh penduduk Konoha. Hinata yang baru pulang dari misi jadi orang yang paling sedih mendengar kabar ini. Ia menangis sejadi-jadinya karena kehilangan guru yang sangat berjasa baginya. Tsunade berusaha menenangkannya meskipun dirinya sendiri tak kalah sedih.

Pemakaman Jiraiya diadakan hari itu juga. Naruto tidak ikut dalam upacara pemakaman yang resmi. Ia hanya melihat sebentar dari kejauhan dan kembali pulang ke rumahnya. Tanpa sepengetahuan Naruto, dalam acara itu diadakan pembacaan surat wasiat yang ditinggalkan Jiraiya jauh-jauh hari sebelum dirinya meninggal. Isi surat wasiat tersebut hanya 4 kata.

“Jadikan Naruto Hokage Ke-6.”

Mayoritas orang yang hadir dalam acara pemakaman setuju dengan keinginan terakhir Jiraiya tersebut. Para tetua desa juga setuju. Naruto sudah jadi Elite Jounin selama 2 tahun lebih. Ia sudah menjalankan puluhan misi kelas S dan tak pernah gagal. Ia juga sudah tahu seluk beluk pemerintahan Konoha. Jadi tak diragukan lagi kalau Naruto akan melenggang mulus ke kursi Hokage Ke-6. Mungkin yang tidak setuju hanya hitungan jari. Diantaranya adalah Danzou dan Hinata.

Hinata bukannya tidak menghormati keinginan terakhir gurunya, tapi beberapa kekesalannya  telah terakumulasi hari ini sehingga ia tak rela Naruto jadi Hokage Ke-6.

Pertama, Hinata gagal dalam misi menangkap Sasuke dan Itachi hari ini. Meskipun dalam perjalanan Kabuto memberikan buku berisi informasi Akatsuki, tapi misi tetaplah gagal. Hinata menganggap itu gara-gara Naruto tidak ikut.

Kedua, Jiraiya menunjuk orang yang bahkan tak mau hadir dalam pemakamannya. Hinata kecewa gurunya menunjuk orang yang tidak punya sopan santun seperti itu.

Ketiga, Hinata merasa latihannya selama 2 tahun ini tak berguna. Naruto tetap lebih kuat dan dipercaya jadi Hokage ke-6, bahkan oleh guru Hinata sendiri.

Keempat, Hinata gagal mencapai cita-citanya jadi Hokage. Itu artinya ia tak bisa memaksa Naruto menceritakan masalahnya.

Kelima, Naruto tak ada di sana di saat Hinata ingin meluapkan emosinya.

Hinata yang sudah tak tahan akhirnya pergi menemui Naruto. 

“Gah!”

Naruto kaget setengah mati saat melihat Hinata ada di sampingnya. Hinata masih memakai baju hitam lengan panjang dengan bawahan rok pendek yang juga berwarna hitam. Kantung matanya terlihat jelas karena ia banyak menangisi Jiraiya hari ini. Dari upacara pemakaman, ia langsung menemui Naruto tanpa pulang dulu ke rumahnya untuk ganti baju. Naruto sedang melukis saat Hinata datang. Lukisan yang dilukisnya kini lebih banyak lukisan abstrak. Lukisan yang menggambarkan kerumitan pikiran di kepalanya. Naruto tidak menyadari kehadiran Hinata karena pikirannya sedang tidak fokus.

“Apa yang kau lakukan di sini!? Kau tak bisa masuk ke rumahku tanpa izin! Keluar!” bentak Naruto.

Naruto berusaha mengalihkan pandangannya dari Hinata. Palet di tangannya ia jatuhkan ke lantai begitu saja. Ia sudah malas melanjutkan kegiatannya melukis.

“Aku tidak akan keluar,” jawab Hinata dingin.

Hinata sebenarnya sudah berulangkali berusaha menemui Naruto, tapi ia selalu susah ditemui. Jika Hinata datang ke rumah Naruto, ia selalu tidak ada, atau kalaupun ada ia tidak membukakan pintu. Jika mereka bertemu di jalan, Naruto dengan sengaja akan mengalihkan tatapannya ke arah lain dan melakukan hiraishin tak lama setelah itu. Sikap Naruto yang selalu menghindar ditambah kesibukan latihan Hinata, praktis membuat mereka tak pernah berhadapan secara langsung dalam 2 tahun ini.

“Rasanya sudah lama sekali aku tidak bicara denganmu, sudah 2 tahun,” lanjut Hinata.

Naruto tahu kalau sudah begini Hinata akan sulit untuk diusir. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Naruto merasa wajahnya langsung memanas hanya karena mendengar suara dewasa Hinata. Ia tak tahu kalau ternyata ia begitu merindukan suara dewasa Hinata. Suara yang sangat mirip dengan istrinya.

Segelas air tak cukup. Naruto mengambil segelas lagi dan duduk di meja makan. Hinata mengikutinya, duduk di sisi kanannya.

‘Kenapa kau terus mendekatiku?’ batin Naruto dalam hati. Naruto masih terus menunduk, tak membiarkan dirinya melakukan kontak mata dengan Hinata. Ini tidak baik, Naruto harus segera mengusir Hinata.

“Aku tak menyangka Duo Sannin mau mengajarimu. Aku curiga kau menawarkan service gratis pada Ero Sennin,” ejek Naruto saat melihat pakaian Hinata yang minim.

Hinata langsung naik pitam. Dari awal ia datang ke sini, Hinata sudah kesal, sekarang perkataan Naruto membuatnya makin kesal. Hinata mengepalkan kedua tangannya, berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya.

“Jaga omonganmu. Ada apa denganmu Naruto? Apa kau belum mendengar kalau Jiraiya-sama sudah tewas? Aku bahkan tak melihatmu datang ke upacara pemakamannya,” ujar Hinata.

“Aku tahu dia tewas. Memangnya jika aku datang harus melapor padamu?”

“Jika kau tahu dia tewas, kenapa kau masih menjelek-jelekannya?!”

“Bukannya aku menjelek-jelekan. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau pikir latihanmu berhasil? Selama 2 tahun berlatih kau hanya bisa menguasai rasengan dan… memukul batu?”

BRAK!

Hinata menggebrak meja makan. Ia sudah berusaha membatasi kekuatannya tapi ternyata meja Naruto tetap rusak. Ada retakan tepat di bawah kepalan tangan Hinata.

“Kau lihat? Inikah yang diajari mereka padamu?” tanya Naruto. “Orang-orang memujimu. Tapi aku tidak menganggapmu hebat. Jumlah kriminal kelas S yang kau bunuh, jumlah gunung yang kau hancurkan, serta jumlah hewan besar yang kau panggil tidak bisa dijadikan ukuran kekuatan seorang ninja. Mereka tidak mengajarimu kontrol emosi yang baik.”

Untuk pertama kalinya Naruto mempertemukan tatapan matanya dengan Hinata. Tapi itu tak lama, Naruto mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain. Menatap deretan lukisan abstrak di dinding yang sebenarnya tak lebih menarik.

Hinata sakit hati mendengar perkataan Naruto. Tapi yang membuatnya lebih sakit hati adalah saat Naruto menjelek-jelekan kedua gurunya.

“Aku sadar kau memang lebih kuat dan aku lemah,” gumam Hinata mengakui kekurangannya. “Tapi menurutku kau pun belum bisa dikatakan ninja yang hebat. Seseorang disebut ninja hebat itu bukan karena kekuatan saja tapi juga sikap dan kepedulian terhadap sesama. Itulah sikap yang diajari kedua guruku dan sama sekali tidak kau miliki. Aku tidak pernah mencela orang yang sudah meninggal. Aku tahu Jiraiya-sama mesum, tapi selama kami berlatih dia sangat menghormatiku sebagai muridnya dan sebagai seorang wanita. Dan yang terpenting, dia sangat menjaga cara bicara dan perlakuannya padaku. Dia jauh lebih baik dari pada kau!”

Dada Naruto serasa tertohok mendengar perkataan Hinata. Di loop ke-18 Naruto memang tak pernah sedikit pun menunjukkan rasa hormatnya kepada Hinata. Ia tak pernah menghargai Hinata sebagai wanita. Tapi justru inilah jalan terbaik agar ia tak terlibat hubungan emosi yang terlalu dalam dengan Hinata. Akhirnya Naruto tetap mempertahankan sikap cueknya dalam menanggapi perkataan Hinata. Ia bahkan tak sedikitpun menatap Hinata. Sontak saja ini membuat emosi Hinata semakin memuncak.

“Lihat wajahku jika aku sedang bicara!” bentak Hinata sambil maju dan menarik kerah baju Naruto. Ia kesal karena dari tadi Naruto jarang sekali menatapnya, ia seperti tidak dianggap. “Kenapa kau tak pernah menatapku?!”

Bukannya menuruti perintah Hinata, Naruto malah menoleh lagi ke arah lain.

BUKH!

Hinata yang kesal akhirnya memukul wajah Naruto, membuat darah segar keluar dari hidung Naruto.

“Aku belum menyampaikan maksudku dan kau sudah membuatku marah!” bentak Hinata.

“Kalau begitu cepat sampaikan maksudmu dan pergi dari sini,” gumam Naruto pelan.

Hinata lalu mendorong Naruto ke dinding dan kini menarik kerah Naruto dengan kedua tangan.

“Dia menunjukmu jadi Hokage Ke-6, brengsek!” teriak Hinata di depan wajah Naruto.

Barulah sekarang Naruto memandang kedua mata lavender Hinata, melihat dengan jelas aura kemarahan di sana. Naruto kaget karena keputusan Jiraiya ini baru pertama kali terjadi. Ini tak pernah terjadi di loop-loop sebelumnya. Apa yang dipikirkan Jiraiya sampai-sampai menunjuk Naruto sebagai penerusnya? Pasti karena Naruto dari masa depan sehingga dinilai bisa memimpin Konoha dengan baik.

“Aku tak percaya guru menunjuk orang sepertimu sebagai penerusnya! Aku tak keberatan jika yang jadi Hokage adalah Naruto yang periang seperti dulu,” kata Hinata kecewa. “Tapi kau yang sekarang berbeda. Kau pemalas, dingin, cuek, tak peduli, kejam padaku, kau…”

Suara Hinata makin pelan seiring dengan kepalanya yang menunduk. Kedua tangannya kini turun menggenggam kedua tangan Naruto. Genggamannya begitu kasar menunjukkan rasa kesal. Tapi lama-kelamaan pegangan itu melembut.

“Kau sudah merebut impianku jadi Hokage. Setidaknya kau harus menceritakan apa masalahmu. Aku tahu kau tersiksa. Sampai kapan kau akan terus begini?”

Hinata tidak menangis, tapi dari suaranya yang bergetar itu, Naruto tahu Hinata sedang menahan kesedihannya. Tanpa disadarinya sendiri, Naruto menggenggam balik tangan Hinata. Tangan mungil itu begitu familiar bagi Naruto. Tangan mungil itu begitu pas di genggaman Naruto. Ia mengelusnya sesaat. Ini membuat kesedihan Hinata berkurang. Tapi itu tak lama. Kenyataan kembali menampar Naruto. Ia segera sadar kalau tindakannya salah. Ia mendorong Hinata dari hadapannya.

“Pergi,” kata Naruto.

“Naruto?” Hinata menatap Naruto tak mengerti. Ada apa dengan Naruto? Sedetik lalu ia membalas genggaman tangannya. Lalu kenapa sekarang ia mengusirnya?

“Aku mohon kau pergi dari rumahku! PERGI!” ulang Naruto dengan intonasi yang mengeras.

Hinata tentu tak ingin menyerah begitu saja sehingga berusaha mendekati Naruto lagi. Tapi saat Naruto terduduk di dekat dinding dan memeluk lututnya, Hinata tahu ada yang berbeda kali ini. Sekilas Hinata melihat tatapan ketakutan di mata safir Naruto. Setiap kali Hinata mendekat, Naruto akan makin keras meneriaki Hinata untuk pergi. Badannya pun semakin bergetar.

Kenapa Naruto takut kepadanya sampai seperti itu?

Setelah pertemuan dengan Hinata, Naruto menghilang entah kemana. Hinata kesulitan mencari keberadaan Naruto karena ia meminimalkan pancaran chakra-nya sehingga sulit dilacak. Padahal Hinata ingin meminta maaf kepada Naruto. Hinata takut kalau ada tindakannya yang membuat Naruto takut. Tatapan ketakutan Naruto masih terekam jelas di otak Hinata. Melihat Naruto yang seperti itu Hinata jadi ingin melindunginya, ia ingin ada di sampingnya.

Para tertua desa pun menyayangkan hilangnya Naruto. Mereka bermaksud memberitahu Naruto kalau dirinya ditunjuk jadi Hokage ke-6. Konoha butuh Hokage secepatnya. Jika Naruto sudah menyatakan bersedia, maka mereka tinggal menyiapkan pelantikan.

Hari berganti hari dan kabar dari Naruto tak juga ada. Konoha justru menghadapai masalah lain, invasi Pain telah di depan mata. Serangan berlangsung cepat, ledakan dimana-mana, hewan-hewan besar menghancurkan bangunan-bangunan, dan para penduduk langsung panik. Kekuatan Pain jauh di atas ninja-ninja Konoha. Dalam waktu singkat, sudah banyak korban yang meninggal di pihak Konoha seperti Kakashi, Shizune, dan ninja-ninja lain yang sudah tak terhitung jumlahnya.

“Apa yang terjadi?!” teriak Hinata kepada sekelompok jounin dan ANBU yang sedang berkumpul. Hinata baru pulang mencari Naruto sehingga tidak tahu apa yang terjadi di Konoha.

“Ketua Akatsuki menyerang Konoha!”

Kedua mata Hinata melotot. Ia tak menduga kalau ketua Akatsuki akan menyerang secepat ini. Padahal mereka baru bertarung dengan Jiraiya. Hinata segera mengamati keadaan dengan mata byakugan-nya. Di kejauhan ia melihat seseorang berjubah Akatsuki, ia sedang mengontrol hewan Kuchiyose. Di dekatnya ada lima sosok berjubah Akatsuki lain yang bersiap menyerang. Hinata sadar tidak bisa melawannya sendiri.

“Apa Naruto sudah ditemukan?”

“Belum. Apa yang harus kita lakukan?”

“Sial!” rutuk Hinata. Di saat-saat genting seperti ini Naruto malah tidak ada. Saat ini Hinata dipandang paling mampu untuk memimpin oleh yang lain. Hinata tak punya pilihan selain mengambil alih komando. Ia membuat dua bunshin dan menyuruh mereka bertapa mengumpulkan energi alam. Setelah itu Hinata membagi shinobi ke dalam beberapa kelompok. “Seseorang laporkan kondisi terbaru desa kepada Tsunade-sama! Sepuluh orang segera bekerja sama dengan ninja medis untuk mengevakuasi penduduk! Sisanya ikut aku. Kita akan melawan Pain!”

Berbekal petunjuk berbunyi ‘orang yang sesungguhnya tidak bersama mereka’ yang ditinggalkan Jiraiya, Hinata dan puluhan ANBU serta jounin bergerak menghadapi keenam Pain.

“Kuchiyose no Jutsu!”

BHOOM!

Gamabunta, Gamaken, dan Gamahiro muncul di tengah desa setelah dipanggil Hinata. Hinata sedang berdiri di atas kepala Gamabunta, ditemani puluhan shinobi di belakangnya. Hinata lalu menatap jauh ke langit. Kedua kelopak matanya sudah berwarna orange.

“Lihat aku Jiraiya-sensei!”

“Odama Rasengan!”

BUAKHH!

Tubuh Pain Jigokudo hancur setelah dihantam Odama Rasengan berukuran 3 kali tubuh Hinata. Pain Jigokudo adalah Pain yang punya kemampuan untuk memanggil Raja Neraka, sebuah sosok berbentuk kepala besar yang bisa digunakan untuk menginterogasi orang. Selain itu, Raja Neraka juga bisa digunakan untuk menghidupkan atau memperbaiki tubuh Pain lain yang mati.

“Sekarang kau tak bisa menghidupkan tubuh Pain lain lagi!” ujar Hinata. “Ukh!”

Hinata berlutut ke tanah karena kehabisan chakra. Mode sage-nya sudah berakhir. Kelopak matanya tidak lagi berwarna orange, urat-urat di sekitar matanya pun sudah menghilang.

Kekuatan Pain sebagai ketua Akatsuki tidak diragukan lagi. Hinata dan puluhan shinobi yang tersisa kewalahan menghadapinya. Semua shinobi kalah, yang sampai sekarang masih bertahan hanya Hinata. Hinata sudah mengalahkan 3 Pain yaitu, Pain Chikushodo pengendali hewan, Pain Ningendo pengambil jiwa, dan Jigokudo pemanggil Raja Neraka. Kini yang tersisa adalah Pain Tendo pengguna Shinra Tensei, Pain Shurado yang punya senjata mekanik di sekujur tubuhnya, dan Pain Gakido yang bisa menyerap chakra.

Hinata jadi bulan-bulanan 3 Pain yang tersisa.

“Kau tidak akan menolongnya?” tanya Kurama yang bicara dalam pikiran Naruto. Kurama sedang tiduran santai di sana karena sejak 6 tahun lalu Naruto sudah membuka segel sel Kurama.

Naruto tidak menjawab. Ia duduk terdiam di atas patung Hokage ke-4 sambil melihat pertarungan Hinata.

“Kau tahu dia istrimu,” lanjut Kurama.

“Bukan!” sergah Naruto.

“Tapi dia juga ‘Hyuuga Hinata’.”

“Aku tahu itu tapi mereka dua orang yang berbeda! Dia bukan- Ah sudahlah kau tak akan mengerti! Kau tak ikut merasakan loop seperti yang kualami!”

Kurama kemudian diam. Ia dan Naruto kembali menyaksikan Hinata yang sedang bersusah payah mengalahkan Pain. Hinata terlihat bangkit lagi. Kini di keningnya terlihat simbol berbentuk jajargenjang, lalu di wajahnya muncul pola garis berwarna violet, seiring dengan sembuhnya luka di sekujur tubuh Hinata. Ia mengaktifkan jurus Sozo Saisei!

“Jūho Sōshiken!”

Hinata mengumpulkan chakra di kedua tangannya hingga berbentuk singa. Dengan gabungan kedua jurus itu, tinjuan Hinata jadi puluhan kali lebih kuat. Shurado dan Gakido yang menghadangnya tak mampu menahan kekuatan Hinata. 

Kini Hinata terlibat pertarungan sengit dengan Pain Tendo. Tapi lama-kelamaan perbedaan kekuatan mereka semakin terlihat. Gerakan Hinata mulai melambat. Berulang kali Hinata terkena Shinra Tensei Pain Tendo. Ia kesulitan mengalahkan Pain terkuat tersebut. Kekuatan Hinata belum cukup untuk mengalahkannya. Ia sudah terlanjur kehabisan chakra lagi. Dulu Naruto bisa menang karena dibantu chakra Kyuubi, tapi tidak dengan Hinata.

Pain Tendo dan Hinata sudah sama-sama babak belur. Di saat-saat terakhir Hinata masih sempat memberikan serangan-serangan tak terduga. Tapi nyatanya Pain Tendo unggul tipis, ia masih punya tenaga untuk bangun dari serangan Hinata dan mencekik leher Hinata hingga gadis itu tak menapak di tanah.

BLESH!

Sebuah besi chakra menembus perut Hinata. Tiba-tiba hati Naruto terasa sakit.

‘Perasaan apa ini?’ pikir Naruto sambil memegang dadanya yang sakit. Padahal dulu ia sering menyiksa Hinata. Tapi kenapa sekarang rasanya berbeda? Apa karena yang menyiksanya adalah orang lain yang bisa membuat Hinata tewas?

BLESH!

“Uhuk!”

Pain menusuk perut Hinata untuk kedua kalinya. Kali ini Hinata sampai memuntahkan darah. 

Kurama yang gerah melihat pertarungan di bawah sana akhirnya duduk dan bicara lagi.

“Dengar Nak, aku sebenarnya tak terlalu peduli padamu atau pada gadis di bawah sana. Aku tak peduli apa benar kau sudah melalui belasan loop atau tidak. Aku tak peduli kau sudah berumur ribuan tahun atau baru 16 tahun. Tapi satu yang pasti, kita baru berteman selama 6 tahun dan aku merasa familiar denganmu. Aku tak ragu untuk membagi kekuatanku denganmu. Aku merasa pernah berteman denganmu lama sekali. Aku merasa seperti déjà vu  saat melihatmu. Itu artinya aku yang sekarang dengan yang di kehidupanmu sebelumnya terhubung meskipun tidak secara langsung. Itu artinya aku dan Kurama lainnya adalah sama. Aku yakin gadis di bawah sana juga merasakan hal yang sama. Kalian akan selalu merasakan kedekatan emosional di masa manapun kalian hidup. Apapun cara yang kau lakukan untuk menjauhkannya darimu, dia akan terus berusaha dekat denganmu. Sekarang keputusan ada padamu, kau mau menyelamatkannya, atau membiarkannya mati?” tanya Kurama. Ia menyimpan kedua tangannya di belakang kepala dan kembali berbaring. “Yang jelas aku bisa pastikan kau akan menangis tanpa henti saat dia mati. Aku tak akan menghiburmu jika itu terjadi.”

Naruto tiba-tiba tertawa sendiri.

“Kenapa kau malah tertawa?!”

“Kurama sialan!” teriak Naruto. Ia kesal sekaligus senang. “Kau mengatakan hal yang persis sama seperti di loop sebelumnya.”

“Kau lihat?! Aku yakin ini bukan kebetulan! Ini menunjukan diriku yang sekarang dengan diriku di loop ke-17 terhubung meskipun secara tidak langsung. Makanya kami akan mengatakan hal yang sama!” jelas Kurama puas.

Naruto akhirnya berdiri. Sekujur tubuhnya mulai diselimuti chakra Kyuubi.

DUAKH!

Naruto memukul wajah Pain Tendo hingga pegangannya di leher Hinata terlepas. Hinata terjatuh ke tanah.

“Akulah orang yang kau cari,” ujar Naruto.

Pain Tendo segera menegakkan badannya. Ia melihat tubuh Naruto yang dalam mode Kyuubi. Target yang dicari Pain kini telah muncul sendiri di hadapannya. Perlahan Tendo melangkah mendekati Naruto, besi chakra sudah siap di kedua tangannya sebagai persiapan kalau-kalau Naruto melakukan perlawanan. Namun tiba-tiba langkahnya tertahan. Tendo melihat ke bawah dan terlihat Hinata sedang menahan kakinya.

“Menyingkir, Naruto! Ini pertarunganku!” usir Hinata.

Naruto kaget. Ternyata Hinata masih bisa melawan.

BUKH!

“Ghk!”

Pain menendang Hinata dengan kaki lainnya. Lalu ia mengarahkan kedua besi chakra di tangannya ke punggung Hinata. Tanpa disangka, untuk kedua kalinya Hinata masuk ke mode Sage, ia menangkap kedua besi itu, mematahkannya, dan menusukannya ke dada Pain Tendo hingga ia tertahan di tanah. Saat itulah ia menyerang Pain dengan jurus lain.

“Katon: Gōen Rasengan!”

Tubuh Pain Tendo langsung hangus dibuatnya. Nagato tak bisa mengontrolnya lagi. Naruto menatap pemandangan di hadapannya tak percaya. Hinata mengalahkan semua Pain persis di hadapan Naruto. Naruto pikir tenaganya tak banyak diperlukan di sini. Akhirnya ia menonaktifkan mode Kyuubi.

Dengan langkah gontai Hinata berusaha melangkah menuju bukit tempat Nagato berada. Hinata ingin segera mengakhiri pertarungan dengan menghabisi Nagato dan Konan. Belum sampai selangkah, Hinata terlanjur tersungkur ke tanah. Sebelum kepalanya membentur tanah, Naruto segera menangkap badannya.

“Sudah kubilang aku tak butuh bantuanmu!” kata Hinata keras kepala.

“Gadis bodoh, aku sudah capek-capek turun ke sini menolongmu. Jadi lebih baik kau diam saja. Biar aku yang bereskan sisanya,” gumam Naruto.

Naruto pikir sifat keras kepala yang ditunjukkan Hinata adalah pertanda bagus. Itu menunjukkan kalau Hinata akan baik-baik saja. Naruto  menggendong Hinata di punggungnya. Barulah saat itu Hinata mau diam. Mungkin ia sadar kalau ini adalah momen yang jarang terjadi. Ia bisa sangat dekat dengan Naruto. Hinata mengeratkan pegangannya di leher Naruto, sedangkan kepalanya ia sandarkan di bahu Naruto. Setetes air mata kebahagiaan keluar dari mata lavender-nya. Sialnya, kesadaran Hinata mulai hilang karena ia sudah kehabisan chakra.

‘Ukh! Kesadaranku malah menghilang di momen berharga seperti ini!’ rutuk Hinata dalam hati. Tak lama kemudian ia tertidur di punggung Naruto.

Naruto bergegas menemui Nagato. Ia perlu menyelesaikan pertarungan yang Hinata mulai. Naruto akan menceramahi Nagato untuk ke-18 kalinya, atau tepatnya 19 kali jika dunia pertama ikut dihitung. Ini akan jadi hari yang panjang.

Masalah dengan Nagato/Pain akhirnya selesai. Nagato menghidupkan semua penduduk yang mati dalam invasi. Sekembalinya Naruto ke desa, ia disambut oleh sorakan penduduk Konoha atas  jasanya mengalahkan Pain. Namun Naruto tahu dirinya tidak berhak mendapatkan pujian. Orang yang sebenarnya mengalahkan Pain adalah gadis di punggungnya. Awalnya penduduk tak percaya saat Naruto bilang kalau Hinata yang mengalahkan Pain. Tapi melihat Hinata yang kelelahan kehabisan chakra sedangkan Naruto segar bugar mereka akhirnya percaya.

Hinata dirawat di sebuah tenda darurat karena bangunan rumah sakit hancur. Kata ninja medis yang menangani Hinata, Hinata terlalu memporsis tubuhnya hingga ia kehabisan chakra dan tak sadarkan diri. Tapi katanya Hinata tak mengalami luka serius. Luka-lukanya sudah sembuh berkat jurus Sozo Saisei. Ia diperkirakan akan siuman dalam beberapa hari ke depan.

Naruto menatap Hinata yang sedang terbaring lemah. Saat melihat sosok Hinata, Naruto jadi bingung harus apa sekarang. Ia sudah kehabisan akal untuk ‘kabur’ dari Hinata.

Tak lama kemudian, Shikaku datang bermaksud menjelaskan tentang surat wasiat yang ditinggalkan Jiraiya. Mereka agak menjauh dari Hinata agar pembicaraan mereka tidak mengganggunya.

Setelah obrolan panjang, akhirnya Naruto terpaksa menerima tawaran menjadi Hokage Ke-6 karena menyerahkan Konoha kepada Danzou bukanlah pilihan bagus. Pelantikan Hokage akan dilangsungkan bulan depan. Bulan ini akan difokuskan pada pembangunan dan penataan kembali desa.

Naruto kembali duduk di samping Hinata. Naruto sebenarnya setengah hati menjadi Hokage Ke-6. Apalagi setelah ia ingat kalau gadis yang sekarang berbaring di hadapannya mengincar posisi tersebut. Ini persis seperti yang dikatakatakan Hinata tempo hari, Naruto telah merebut impiannya jadi Hokage.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba Naruto mendapatkan ide.

“Aku akan mewujudkan cita-citamu,” kata Naruto sambil mengusap rambut Hinata dan merapikan poninya.

Hari pelantikan Hokage Ke-6 akhirnya tiba dengan dipimpin langsung oleh Daimyou. Naruto menerima topi dan jubah bertuliskan Hokage Ke-6 sebagai tanda kalau mulai hari ini ia resmi memimpin desa Konoha. Tepuk tangan meriah penduduk Konoha menyambut Hokage baru mereka.

Tibalah saatnya kini Naruto menyampaikan pidato pertamanya.

Hening.

Butuh waktu yang lama bagi Naruto untuk mulai bicara. Sampai-sampai penduduk heran melihat sikap Naruto. Naruto sebenarnya sedang mencari sosok Hinata di antara deretan penonton. Hinata berada di deretan belakang karena hati kecilnya masih tak rela Naruto jadi Hokage. Sayangnya Hinata tak tahu kalau selama ia tak sadarkan diri Narutolah yang menjaganya.

Setelah sosok Hinata ditemukan, Naruto memulai pidatonya.

“Aku tak akan banyak bicara dalam pidato pertamaku ini. Aku hanya akan menyampaikan 3 pengumuman penting.

Pertama, aku mengundurkan diri jadi Hokage ke-6.

Kedua, aku menunjuk Hyuuga Hinata sebagai penerusku.

Ketiga, aku akan berhenti jadi ninja. Sekian dan terima kasih.”

To Be Continue…

© rifuki

The Infinite Loops – Chapter 1
The Infinite Loops – Chapter 2
The Infinite Loops – Chapter 3
The Infinite Loops – Chapter 4
The Infinite Loops – Chapter 5
The Infinite Loops – Chapter 6
The Infinite Loops – Chapter 7
The Infinite Loops – Chapter 8 (End)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.