The Infinite Loops – Chapter 4
Sebelumnya dalam The Infinite Loops:
“Semua Hinata yang hidup setelahku adalah nyata. Justru akulah ilusi yang selalu hidup di pikiranmu. Aku mohon lepaskan aku dari ingatanmu dan lanjutkan kehidupanmu dengan Hinata yang masih hidup. Jangan terus menerus menghindarinya. Jangan pula menyakitinya atau bahkan membunuhnya. Itu akan menambah beban mental yang kau emban. Jika begini terus kau akan semakin sedih, stress, dan kau bisa…” Hinata dewasa tidak melanjutkan kalimatnya.
‘Kenapa aku menyeduh 4 porsi? Kenapa aku bicara sendiri?’ pikir Naruto. Ia bisa gila kalau terus begini.
BRAK!
Naruto membanting meja makan hingga semua yang ada di atasnya terlempar.
…
“Tinggalkan dia,” kata Hiashi. “Dia hampir membunuhmu. Dia melukai dadamu, 1 cm saja dari jantungmu.”
Hinata menggeleng. “Aku akan mencobanya sekali lagi.”
…
“Naruto menggunakan Rasengan dan Senjutsu dalam final ujian chuunin?!” tanya Jiraiya kaget. “Aku ambil alih tanggung jawab misi rahasia milik Sandaime ini. Aku ingin semua datanya ada di mejaku besok pagi.”
Chapter 4
“Request”
Tim 7, termasuk Naruto, sedang melaksanakan misi ke Cha no Kuni untuk menolong Morino Idate memenangkan lomba lari. Mereka diperkirakan pulang hari ini. Sementara itu di Konoha, penelitian tentang identitas Naruto masih berlangsung. Ini adalah hari ke-3 dan semua hasil penelitian tentang Naruto selama 3 tahun sudah Yamato serahkan kepada Jiraiya. Jiraiya dan Tsunade meneliti semua bukti mencurigakan yang terdiri dari sidik jari, catatan medis, catatan misi, statistik perkembangan di akademi, dan apapun data atau benda yang berkaitan dengan Naruto. Yamato membaca rangkuman laporan misi dari awal hingga akhir yang tak bisa dibilang sedikit.
“Berdasarkan keterangan Umino Iruka dan Hyuuga Hinata, perubahan sikap Naruto pertama kali terjadi 3 tahun lalu. Tepatnya pada jam pelajaran ke-2, di kelas teori ninja yang dibimbing oleh Iruka.”
Jiraiya dan Tsunade sedang tak ada di desa sehingga tidak mendengar kabar apa-apa saat itu. Mereka melanjutkan mendengarkan laporan Yamato selagi tetap memperhatikan bukti-bukti di tangan mereka.
“Setelah itu perubahan demi perubahan lain terjadi pada Naruto secara drastis hingga sekarang. Secara garis besar, perubahan Naruto selama 3 tahun terakhir adalah sebagai berikut:
1 — Naruto berubah jadi pendiam. Ia tak banyak membuat onar lagi di kelas maupun di desa. Dia juga tak banyak omong seperti sebelumnya. Dia akan bicara dengan rekannya hanya jika ada hal penting yang ingin dibicarakan.
2 — Naruto bersikap lebih dewasa. Naruto seringkali menjauhi konflik dengan orang lain. Namun jika dia terlanjur terlibat dalam konflik, Naruto biasanya akan berusaha mengalah. Ia tak peduli jika orang lain menilainya pengecut.
3 — Naruto tak akan mengalah hanya jika orang yang terlibat konflik dengannya adalah Uchiha Sasuke dan Hyuuga Hinata. Sikap Naruto terhadap Sasuke tak berubah. Naruto tetap tak memberi respect kepada Sasuke. Sedangkan sikap Naruto terhadap Hinata jauh lebih parah dibandingkan kepada Sasuke. Naruto terkesan membenci Hinata setengah mati.
4 — Naruto pernah mengalahkan Uchiha Sasuke dalam sparing tradisional dalam waktu 1 detik pada usia 10 tahun. Padahal Sasuke punya peringkat tertinggi di kelas sedangkan Naruto terendah. Naruto juga mengalahkan Hinata dalam sparing di hari yang sama. Sejak saat itu Naruto sering memberikan ancaman kepada Hinata untuk menjauhinya.”
Poin nomor 3 dan 4 diperkuat dengan adanya laporan kekerasan yang dilakukan Naruto terhadap Hinata di salah satu bukti yang dibawa Yamato. Jiraiya melihat ada 2 kali pertengkaran brutal antara Naruto dan Hinata, tepatnya saat di akademi dan setelah mereka bergabung ke dalam tim 7 dan 8. Selain itu ada 4 pertengkaran ringan dan belasan kali saling ejek.
Naruto enggan untuk mencari masalah dengan anak lain, tapi kenapa dengan Hinata ia punya sejarah keributan yang demikian banyak? Ini terlihat janggal bagi Jiraiya.
“5 — Peningkatan kekuatan Naruto terjadi secara tiba-tiba. Seolah-olah dia berubah jadi kuat dalam hitungan hari, bahkan jam.
6 — Penguasaan jurus Naruto tak bisa diduga. Ia bisa menguasai jurus tanpa perlu diajari. Naruto menguasai jurus perubahan dan bayangan sebelum ia lulus akademi. Naruto menguasai jurus berjalan di air dan pohon tanpa diajari Hatake Kakashi. Sedangkan kapan tepatnya ia mulai menguasai rasengan dan sage mode belum diketahui.
7 — Naruto punya daya analisis yang hebat dalam sebuah misi. Seringkali ia bisa memprediksi arah serangan lawan dan arah lari musuh, seakan ia sudah tahu sebelumnya.
8 — Naruto telah mengubah total pola makan dan kehidupannya. Ia jarang mengkonsumsi ramen, lebih sering membersihkan apartemennya, dan tak pernah terlambat tidur.
9 — Naruto sering menghabiskan waktunya dengan tiduran di bukit Hokage, melukis, atau menulis.
10 — Ketika berada di rumah, Naruto selalu memandang lukisan besar dengan gambar wanita dewasa dan 2 orang anak.”
Yamato mengakhiri penjelasan panjangnya. Jiraiya dan Tsunade mendapatkan masing-masing 1 copy laporannya sehingga bisa memperhatikannya lebih teliti. Kedua sanin itu bertukar pandangan. “Apa pikiran kita sama?”
Jiraiya mengangkat bahunya.
“Yamato, siapa saja yang terlibat misi rahasia ini?” tanya Jiraiya.
“Hanya kita, Kakashi, Kurenai, Iruka, dan Hinata.”
“Kalau begitu panggil semua yang terlibat, kecuali Hinata.”
Yamato sebenarnya agak aneh mendengar Jiraiya tidak memanggil Hinata. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut karena percaya Jiraiya punya suatu rencana. Melibatkan Hinata pun dinilai akan menambah masalah.
“Baiklah.”
Tak lama kemudian Kurenai dan Iruka sudah hadir bertepatan dengan kedatangan Kakashi yang melaporkan selesainya misi. Ini waktu yang tepat, itu artinya Naruto sudah ada di apartemennya.
“Kita ke apartemen Naruto sekarang. Aku akan ceritakan detailnya di perjalanan.”
Setelah beberapa hari mengistirahatkan dirinya setelah ujian chuunin, pikiran Naruto jauh lebih tenang. Misi yang dijalankannya bersama tim 7 juga berhasil mengalihkan pikirannya dari Hinata.
Kini, sekembalinya ke Konoha, Naruto jadi menyadari kalau saat final ujian chuunin dirinya banyak melakukan kesalahan hanya karena terpancing emosi. Dirinya terlalu ‘serius’ melawan Hinata. Meskipun ia akui Hinata lebih kuat dari perkiraannya, tapi seharusnya ia bisa mengalahkan Hinata tanpa perlu memakai jurus rasengan apalagi sage mode. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Kini Naruto harus memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah ini.
Belum sempat Naruto merencanakan apa yang harus dilakukan setelah ini, ia merasakan kekuatan besar yang datang mendekati apartemennya. Kekuatan besar yang bersumber dari 6 orang yang sudah dikenalinya sehingga ia tak perlu takut. Tak lama kemudian ada ketukan di pintu.
“Masuk,” kata Naruto tanpa peduli untuk membukakan pintu. Dirinya sedang menikmati makan siang dengan sepotong daging ayam dan kentang goreng. Naruto ingin cepat mengistirahatkan badannya sehingga tidak memasak menu yang sulit.
Setelah itu masuklah Jiraiya, Tsunade, Kakashi, Kurenai, Iruka, dan Yamato. Jiraiya duduk di kursi di hadapan Naruto tanpa menunggu untuk dipersilahkan duduk, sementara yang lain berdiri di belakangnya.
“Apartemenmu cukup bersih untuk seseorang yang tinggal sendiri,” kata Jiraiya basa-basi.
Naruto mengacuhkannya dan melanjutkan makan.
“Kudengar dulu kau suka ramen instan, sejak kapan kau jadi suka ayam dan kentang?”
Naruto menghabiskan kentang dan potongan daging terakhirnya, meminum air, dan menatap Jiraiya.
“Sudahlah. Aku tahu kau ke sini bukan untuk memuji kebersihan apartemenku dan menu makan siangku. Jadi langsung saja pada intinya.”
Jiraiya tertawa pelan. Ia kemudian bertukar pandangan dengan orang-orang di belakangnya, seolah meminta persetujuan. Kelima orang di belakangnya mengangguk. Jiraiya lalu bertanya kepada Naruto.
“Baiklah aku akan langsung pada intinya saja. Aku ingin bertanya, apa kau dari masa depan?”
Naruto kaget. Sebenarnya ia tahu kalau kecerobohannya dalam final ujian chuunin cepat atau lambat akan membawanya pada keadaan seperti sekarang. Tapi ia tak mengira kalau pihak Konoha akan mengetahui rahasianya secepat ini. Meskipun tebakan Jiraiya tak sepenuhnya benar, hanya mendekati benar. Kenyataannya, bukan Naruto yang berasal dari masa depan. Melainkan waktu yang terus menerus berputar (mengalami loop) ke masa lalu. Hanya saja semua orang tidak ada yang merasakan kalau selama ini dunia mengalami loop. Hanya Naruto yang merasakan semua loop.
“Apa tebakan kami salah?”
“Apa yang membuat kalian berpikiran seperti itu?” kata Naruto balik bertanya.
“Itu baru hipotesis,” ujar Tsunade.
“Masalahnya, hanya Minato, Kakashi, dan aku saja yang menguasai jurus rasengan. Jadi mana mungkin kau bisa menguasainya kalau tidak diajari? Kau bahkan seharusnya belum pernah melihat jurus itu. Minato tidak pernah mendokumentasikan rasengan ke dalam buku atau gulungan. Satu-satunya kemungkinan adalah kau dari masa depan,” tambah Jiraiya.
Tsunade lalu menggarisbawahi poin nomor 6, 7, dan 10 dalam laporan Yamato dan menunjukkannya kepada Naruto.
“Hanya orang dari masa depan yang bisa menguasai jurus begitu saja tanpa melihat, tanpa belajar atau tanpa diajari. Kau juga tahu arah kepergian lawan dalam berbagai misi. Lalu lukisan ini adalah bukti yang terkuat,” jelas Tsunade sambil mengangkat lukisan dengan tangannya yang lain. Lukisan itu adalah lukisan yang sempat digandakan Yamato dari apartemen Naruto.
Yamato segera angkat bicara. “Dulu aku dan Sandaime sudah pernah melihat database klan Hyuuga tapi tidak berhasil mencari tahu siapa wanita itu. Jadi bisa dipastikan wanita itu bukan berasal dari masa sekarang atau masa lalu.”
“Jiraiya bilang melintasi waktu hanyalah mitos. Aku juga berpikir demikian sampai bukti-bukti ini mengarahkan kami ke sana,” kata Tsunade. “Tebakanku, sosok dalam lukisan ini adalah Hyuuga Hinata, 20-30 tahun dari sekarang.”
Tsunade menyimpan lukisan itu di meja makan. Lalu di atasnya ia meletakkan foto Hinata berusia 14 tahun yang diambil dari data shinobi Konoha. Kini terlihat langsung kemiripan dari dua sosok di atas meja. Mata lavender dan rambut indigonya sama. Wajahnya pun mirip meskipun berbeda usia.
“Apa hipotesis kami benar Naruto?”
Naruto tersenyum melihat kejelian tamu-tamunya siang itu. Karena tidak mau berdebat terlalu panjang, Naruto mengiyakan saja pertanyaan yang diajukan kepadanya. Toh tebakan mereka ‘mendekati benar’.
“Ya. Aku dari masa depan,” jawab Naruto datar.
Tak ada sedikit pun pembelaan dari Naruto. Semua orang di hadapan Naruto mengira mereka akan menghadapi pembelaan yang sengit. Bagi Naruto, percuma mengelak. Itu hanya akan membuang waktu. Tapi itu tak mengurangi keterkejutan 6 orang di sana. Hal yang selama ini dipercaya sebagai mitos, kini terjadi di hadapan mereka. Bocah di hadapan mereka telah jadi saksi hidup kalau melintasi waktu itu bisa dilakukan.
“Siapa saja yang tahu masalah ini? Apa Hinata tahu?” tanya Naruto menambahkan.
“Dia belum tahu.”
Naruto menghela napas lega. Jiraiya menyadari sikap Naruto ini. Tak salah lagi, Hinata adalah sosok yang penting bagi Naruto.
“Kau belum bilang, apa benar wanita dalam lukisan ini Hinata?” tanya Jiraiya.
Naruto menatap lukisan di meja makan. Ia sadar sesuatu. Lukisan asli masih ada tergulung di ruang tengah. Itu berarti mereka menggandakannya tanpa seizin Naruto. Raut wajah Naruto berubah tak senang. Lukisan itu telah mengingatkannya kembali pada Hinata dewasa.
“Kalian sudah tahu asalku. Kurasa itu sudah cukup. Aku tak akan menjawab lebih dari itu. Lebih baik kalian cepat pergi dari sini.”
Naruto menyimpan peralatan makannya ke tempat cuci piring. Tak lupa ia mencuci kedua tangannya.
“Tunggu. Kami juga ingin pastikan apa kau tak akan membahayakan Konoha?”
Mendengar itu, Naruto menatap Jiraiya tajam.
“Ikut kami ke divisi interogasi. Kami memerlukan informasi darimu sedetail mungkin,” ajak Jiraiya.
“Aku menolak,” jawab Naruto.
“Ini perintah Hokage.”
“Aku tidak peduli.”
Jiraiya tak mau mengambil resiko dengan membiarkan Naruto keluyuran di desa tanpa dipastikan asal-usulnya. Ini prosedur resmi Konoha. Seyakin apapun Jiraiya pada Naruto, dia perlu mengirim Naruto untuk diinterogasi lebih lanjut di divisi interogasi.
“Aku mohon ikut kami, Naruto,” bujuk Jiraiya lagi. “Meski bukti-bukti sudah ada, kami harus pastikan kau tidak bohong.”
“Aku memang tidak bohong.”
Masalahnya bukan karena Naruto berbohong atau apa. Naruto tak yakin semua orang di divisi interogasi mampu membaca ingatan Naruto yang totalnya ribuan tahun. Bisa-bisa otak mereka meledak. Kalaupun otaknya berhasil ‘dibaca’, dikhawatirkan rahasia loop diketahui. Bukan tidak mungkin rahasia loop ini pun akan bocor kepada Hinata. Satu-satunya orang yang tak ingin Naruto libatkan.
“Kalau kau tidak bohong, ikut kami.”
“Tidak.”
Keadaan jadi tegang, kedua pihak tak ada yang mau mengalah.
Jiraiya mengisyaratkan kepada Yamato dan Iruka untuk mendekati Naruto. Naruto mundur teratur. Ia tak ingin memakai cara kekerasan. Sudah cukup ia melakukan blunder di ujian chuunin.
CRAK!
Beberapa potong kayu menangkap kedua kaki dan tangan Naruto dari arah belakang. Yamato sudah mulai beraksi.
“Sebenarnya aku tak ingin menggunakan kekerasan, tapi kalian yang memaksa,” ujar Naruto.
Naruto tidak punya stok energi alam sehingga tak bisa masuk ke mode sage. Ia tak punya pilihan selain masuk ke mode kyuubi.
BLAST!
Iruka yang berada di dekat Naruto terhempas ke dinding hanya dengan hembusan chakra orange itu. Sementara itu Yamato kewalahan karena chakra kyuubi adalah kelemahannya. Semua kayu yang dibuatnya tumbuh jadi pohon setelah melakukan kontak langsung dengan chakra kyuubi. Chakra kyuubi penuh dengan energi kehidupan.
Selanjutnya giliran Tsunade, Kurenai, dan Kakashi yang menerjang Naruto.
Naruto memukul Tsunade dan menendang Kurenai dan Kakashi sebelum ketiganya menyerang duluan. Dalam mode kyuubi, gerakan Naruto sangat cepat dan tak bisa dihindari oleh ketiganya.
DUAKH!
Mereka terbanting ke segala arah.
Kurenai bisa dilumpuhkan tapi tidak dengan Kakashi dan Tsunade. Naruto perlu serangan tambahan.
Naruto menyiapkan 2 buah rasenshuriken di tangan kanan dan kirinya.
“Aku sudah berbuat banyak untuk Konoha, inikah balasan kalian?! Hentikan misi pengintaianku sekarang juga! Buang semua bukti dalam misi itu tanpa sisa! Pastikan semua orang terutama Hinata, tidak tahu masalah ini!” bentak Naruto.
“Rasenshuriken!”
“Raikiri!”
BUKH!
Kakashi menahan rasengan Naruto dengan raikiri sedangkan Tsunade dengan pukulannya. Hasilnya sudah bisa ditebak, Naruto lebih unggul. Kakashi terluka parah di bagian perut kanannya sedangkan Tsunade di bagian tangan kanannya.
“Kuchiyose no Jutsu!”
Tsunade memanggil Katsuyu untuk meminimalkan luka yang diderita dirinya, Kurenai, dan Kakashi. Apalagi ia merasa kalau serangan Naruto tadi berbeda dengan semua serangan yang pernah diterimanya. Rasengan milik Naruto tadi menyerang ke tingkat sel. Dirinya dan Kakashi perlu diobati secepatnya. Katsuyu membagi tubuhnya jadi 2 bagian dan melindungi Tsunade dan Kakashi. Apartemen Naruto hancur karena tak kuat menahan beban Katsuyu.
Jiraiya memanfaatkan jeda serangan Naruto sebagai kesempatan untuk menyerangnya. Ternyata diamnya ia sejak tadi adalah mengumpulkan energi alam. Ia kini sudah masuk ke mode sage. Matanya mirip mata kodok dan Fukusaku serta Shima sudah berada di pundaknya.
“Ranshishigami no Jutsu!”
Rambut putih Jiraiya memanjang dan membelit sekujur tubuh Naruto.
“Dalam ujian chuunin katanya kau juga memakai jurus ini. Siapa yang memberimu kontrak dengan kodok?” tanya Jiraiya. Sejak tahu Naruto juga bisa mode sage, Jiraiya penasaran ingin menanyakan itu.
Naruto yang masih terbelit hanya tersenyum. “Aku tidak perlu kontrak jika dalam setengah detik saja aku bisa ke Myoubokuzan sendiri. Fukusaku dan Shima saja yang tak sadar aku sering ke sana.”
Jiraiya melotot. Naruto juga sudah menguasai Hiraishin?
Belitan di tubuh Naruto melonggar. Fukasaku dan Shima memperkuat belitan dengan lidah mereka.
Namun biar bagaimanapun mode kyuubi bukanlah tandingan mode sage. Naruto mengeluarkan 4 chakra kyuubi berbentuk tangan. Ia memegang tubuh Jiraiya lalu menariknya dalam satu tarikan cepat. Saat Tubuh Jiraiya melayang, sempat-sempatnya ia menyiapkan serangan.
“Odama Rasengan!”
Naruto tak kalah cepat. Ia menyambutnya dengan serangan lain.
“Rasengan!”
Meskipun kedua rasengan itu berbeda ukuran, tapi tentu milik Naruto lebih kuat karena dibuat dalam mode kyuubi. Tak selamanya ukuran yang besar menang. Rasengan milik Naruto membelah rasengan milik Jiraiya dan mengenai perutnya.
“Uhuk!”
Jiraiya muntah darah dan terlempar ke reruntuhan apartemen.
“Maaf Ero-sennin, aku tahu ini prosedur desa. Tapi aku tak mau kalian mengetahui isi kepalaku.”
“Kau masih punya rahasia besar yang kau sembunyikan,” gumam Jiraiya sambil mengusap darah di bibirnya.
Naruto tersenyum penuh kemenangan.
“Yang terpenting kalian sudah tahu apa yang perlu kalian ketahui. Itu cukup.”
Keributan di puing-puing apartemen Naruto mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Hinata yang saat itu sedang berjalan tak jauh dari apartemen ikut kaget. Ia melihat Jiraiya seperti dihajar oleh sosok yang mengeluarkan chakra berwarna orange dari tubuhnya. Tak lama kemudian Hinata menyadari kalau sosok berwarna orange itu adalah Naruto. Melihat Hokage-nya dalam bahaya tentu saja Hinata tak bisa tinggal diam.
“Stop Naruto! Apa yang kau lakukan?!” tanya Hinata dari kejauhan.
Naruto tak mempedulikan teriakan Hinata. Ia malah bertanya kepada Jiraiya. “Jadi bagaimana? Misi ini selesai?”
Jiraiya sadar dirinya tidak dalam kondisi yang bisa melawan. Aliran chakra orange yang keluar dari tubuh Naruto bisa dirasakannya bahkan dari jauh. Rasanya chakra itu bisa merobek tubuhnya kapan saja. Jiraiya segera menjawab. “Baiklah. Aku akan menuruti keinginanmu. Misi ini akan dianggap selesai. Identitasmu hanya diketahui oleh kami berenam dan kami pastikan Hinata tidak tahu.”
Naruto puas dengan jawaban Jiraiya. Tak lama kemudian Hinata sampai di dekat Jiraiya sedangkan Naruto beranjak pergi. Ia menonaktifkan mode kyuubi lalu melemparkan sejumlah kunai ke apartemen yang dilengkapi kertas peledak. Dengan begitu Hinata tak akan melihat bukti apapun di dalam apartemen. Ia ingin melenyapkan semua bukti yang menghubungkannya ke masa depan. Cukup 6 orang saja yang tahu (sebagian kecil) identitas Naruto.
BOOOM!
Apartemen Naruto meledak. Tsunade, Kakashi, Kurenai, Iruka, dan Yamato berhasil menyelamatkan diri dari apartemen tanpa sempat membawa bukti apapun. Ledakan di apartemen tak menyisakan satu lukisan atau pun novel yang utuh. Jangankan lukisan dan novel, perabotan Naruto saja tak ada yang utuh. Sepertinya Naruto sudah menempatkan ratusan kertas peledak di semua barang-barang miliknya sebagai persiapan untuk keadaan darurat seperti sekarang.
Luka Jiraiya tidak mengancam nyawanya karena Naruto sebenarnya hanya menggertak. Ia segera berdiri dan menyadari kalau Naruto sudah lenyap entah kemana. Tidak salah lagi, Naruto berasal dari masa depan jika tingkatan kekuatannya sudah sampai sedemikian hebat. Jiraiya senang melihat peningkatan kekuatan Naruto. Itu artinya anak Minato telah hidup jadi orang yang kuat di masa depan. Sikap Naruto yang tersinggung saat ditanya loyalitasnya terhadap Konoha juga menunjukkan kalau di masa depan Naruto akan ada di pihak Konoha. Rasa penasaran Jiraiya tentang apa yang terjadi di masa depan antara Naruto-Hinata sepertinya harus dikubur dalam-dalam. Mungkin akan lebih baik kalau kejadian yang akan terjadi di masa depan tidak diketahui sekarang.
“Hokage-sama, Anda tidak apa-apa?” tanya Yamato bergegas mendekati Jiraiya.
“Aku baik-baik saja.”
“Apa perlu aku mengejar Naruto?”
“Tidak perlu. Dari perkataannya dan sorot matanya aku tahu dia tak berniat membunuh kita. Dia ada di pihak kita. Hanya saja tadi kita terlalu bersikeras saat bertanya padanya. Dia tak ingin kita mencampuri urusan pribadinya.”
Jiraiya lalu menoleh ke arah Hinata yang sedang melihat puing-puing apartemen Naruto. Gadis itu tak menyangka kalau Naruto akan menghancurkan apartemennya sendiri. Hinata juga masih tak percaya kalau Naruto mampu mengimbangi 6 orang sekaligus termasuk 2 orang sannin di dalamnya. Jurus yang dikeluarkan oleh Naruto tadi belum pernah dilihat Hinata sebelumnya. Naruto tak habis-habisnya membuat Hinata terkejut. Di saat Hinata masih berusaha mengejar ketertinggalannya dari Naruto, kini Naruto sudah menunjukkan jurus yang jauh lebih hebat lagi.
“Kebetulan kau ada di sini, Hinata,” sapa Jiraiya.
Hinata menoleh ke arah Jiraiya. “Um, ada apa Hokage-sama?”
“Datang ke ruanganku besok pagi. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Baik,” jawab Hinata, meskipun Hinata masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara Jiraiya dan Naruto hingga keadaan kacau begini. Hinata tak mengerti apa ‘urusan pribadi’ Naruto yang dimaksud Jiraiya.
Keesokan harinya, Hinata datang ke ruangan Jiraiya. Tak disangka, ternyata banyak orang di sana. Ada beberapa elite jounin, ANBU, dan ada panitia ujian chuunin.
“Aku punya 2 berita untukmu, Hinata,” kata Jiraiya. “Berita pertama adalah misi pengintaian Naruto dihentikan sehingga kau tak disarankan untuk memata-matai Naruto lagi mulai saat ini.”
“Apa?!” Hinata kaget dengan berita yang sangat mendadak ini. Nada bicaranya meninggi. Ia sampai lupa kalau orang yang ada di hadapannya sekarang adalah Hokage. Maklum saja, dengan dihentikannya pengintaian Naruto, itu artinya tak akan ada lagi yang memberitahunya informasi terbaru mengenai Naruto. “Kenapa dihentikan? Apa sudah ada hasilnya mengenai perubahan Naruto?”
“Kami menyimpulkan kalau Naruto berubah karena memang dia ingin berubah. Merupakan hal yang wajar saat seorang remaja yang sedang beranjak dewasa untuk berubah jadi lebih baik.”
“Tapi perubahan Naruto itu terlalu mendadak. Anda seharusnya melihat kalau ada yang aneh dengan Naruto.”
“Keputusanku tak bisa diganggu gugat. Tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi dari Naruto.”
Hinata mengigit bibir bawahnya. Ini tidak benar. Ada yang salah. Hinata berpikir, pasti sikap Jiraiya ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Apapun yang terjadi, Hinata tak akan menghentikan pengintaian Naruto meskipun ia harus berusaha sendiri setelah ini.
“Kita langsung saja pada berita kedua. Kurasa ini lebih penting bagimu,” lanjut Jiraiya. “Seperti kau ketahui, ujian chuunin kali ini tidak berjalan sampai tuntas. Meski begitu panitia tetap mencatat hasil pertarungan setiap peserta dan menyimpan nilainya. Aku mendapatkan laporan kalau peningkatan kekuatanmu tak kalah pesat dari Naruto. Atas usaha yang kau perlihatkan di ujian kemarin, kami putuskan kalau kau berhasil naik tingkat menjadi chuunin.”
Raut wajah Hinata berubah drastis. Ia senang kerja kerasnya selama ini telah membuahkan hasil. Tak sia-sia ia berlatih siang dan malam. Kemudian Hinata teringat kepada Naruto. Mungkin benar dirinya bertambah kuat, tapi itu semata-mata untuk mengejar ketertinggalannya dari Naruto.
“Siapa lagi yang lolos selain aku?” tanya Hinata. Hati kecilnya berharap Naruto tidak lolos. Tapi itu mustahil karena justru Narutolah yang mengalahkannya di final ujian chuunin.
“Shikamaru juga lolos. Dia sudah kupanggil tapi belum datang.”
“Bagaimana dengan Naruto?”
Jiraiya diam sejenak. Ini malah membuat Hinata makin penasaran.
“Dia sudah kurekomendasikan jadi jounin.”
“Jounin?” tanya Naruto.
Naruto menatap topeng yang dikenakan Yamato penuh tanya. Tadinya ia menganggap Yamato akan ‘mencari ulah’ lagi dengannya. Tapi ternyata ia datang untuk menyerahkan sebuah surat pernyataan yang ditandatangani langsung oleh Hokage. Dalam surat itu dinyatakan kalau Naruto direkomendasikan ke tingkat jounin. Yamato menyerahkan surat itu kepada Naruto di rumah barunya yang besar di pinggiran Konoha. Sampai saat ini belum diketahui dari mana Naruto bisa mendapatkan uang untuk membeli rumah. Dan nampaknya Yamato tak mau tahu. Mencampuri urusan pribadi Naruto berarti cari mati.
“Ya, jounin.”
“Apa tidak salah merekomendasikanku jadi jounin?”
“Tidak. Itu keputusan dari Hokage-sama.”
Naruto membaca lagi surat di tangannya, kali ini dengan lebih seksama. Di sana memang benar tertulis namanya dan keterangan direkomendasikan jadi jounin.
“Apa ini tidak menyalahi aturan?”
“Tidak. Seorang Hokage berhak menaikan level seorang shinobi jika dirasa perlu. Kemampuanmu terlalu jauh melampaui teman-teman seangkatanmu. Jika kau dibiarkan jadi genin atau chuunin, itu justru hanya akan mengacaukan standar kekuatan genin dan chuunin di Konoha,” jelas Yamato.
Naruto menatap Yamato lagi tak yakin.
“Jangan khawatir. Ini tidak ada kaitannya dengan insiden kemarin. Misi sudah resmi dihentikan. Hokage-sama sudah bilang dia tak akan lagi mendesakmu untuk menceritakan apa yang terjadi di masa depan. Dia sudah yakin kalau kau memang berada di pihak kami. Kalau kau jahat, mungkin kau sudah membunuh kami kemarin. Hanya saja mungkin kau belum siap untuk menceritakannya kepada kami sekarang.”
“Sekarang? Sampaikan kepada Hokage, baik sekarang ataupun nanti, aku tak akan pernah menceritakan apapun dari masa depan. Kalian tak boleh tahu apa yang akan terjadi tahun depan, bulan depan, bahkan besok. Aku sudah merusak alur seseorang di kehidupan ini dengan sikapku, jadi aku tak ingin merusak alur lainnya dengan menceritakan hal yang harusnya tak kuceritakan kepada kalian.”
Alur seseorang yang dimaksud Naruto adalah Hinata.
Yamato terdiam sejenak meresapi perkataan Naruto. “Aku mengerti. Akan kusampaikan pesanmu kepada Hokage-sama. Jadi bagaimana? Kau setuju untuk ‘melompat’ jadi jounin? Lagipula aku yakin di masa depan kau sudah berada di tingkat yang jauh lebih tinggi.”
Naruto menghela napas pelan. Mungkin jadi jounin bisa mengobati dirinya dari kebosanan. “Hmm. Aku akan jadi jounin, tapi bukan berarti aku akan patuh sepenuhnya kepada kalian. Ini hanya kulakukan untuk membuang rasa bosan.”
GLEK!
Yamato menelan ludahnya.
“Aku akan mengambil perlengkapan jounin-ku besok,” tambah Naruto.
Yamato mengangguk dan segera pergi untuk melaporkan jawaban Naruto.
Naruto dilantik jadi jounin di umur 14 tahun (di masa ini). Setelah ia resmi jadi jounin, otomatis ia keluar dari Tim 7 dan disarankan membuat timnya sendiri. Tapi melihat sifat Naruto sepertinya ia tidak tertarik untuk membuat tim.
Kakashi sudah tahu masalah ini, sekarang saatnya Naruto memberitahu Sakura dan Sasuke. Saat ini mereka berdua sedang berada di rumah sakit. Sasuke harus dirawat di rumah sakit sepulang dari misi ke Cha no Kuni karena terluka parah. Ini kontras sekali dengan Naruto yang tak terluka sedikitpun.
“Bagaimana keadaanmu, Sasuke?” tanya Naruto basa-basi.
Sasuke tak menjawab pertanyaan Naruto dan memilih untuk memandang ke luar jendela.
Sakura saat itu sedang mengupaskan apel untuk Sasuke. Sakuralah yang menjawabkan pertanyaan yang tadi diajukan kepada Sasuke. “Sasuke-kun sudah lebih baik karena Tsunade-sama sudah mengobatinya.”
“Oh begitu. Baguslah.”
Setelah itu tidak ada yang bicara lagi. Naruto mengambil inisiatif untuk memulai lagi pembicaraan.
“Sebenarnya aku ke sini untuk pamit kepada kalian karena aku tak akan lagi jadi anggota tim 7.”
“Kenapa?” tanya Sakura setengah kaget.
Naruto menatap Sakura, lalu beralih kepada Sasuke. Sasuke pasti kaget mendengar berita ini, tapi cepat atau lambat Sasuke harus tahu.
“Aku sudah diangkat jadi jounin.”
“Whoa? Benarkah?” tanya Sakura.
“Hmm.”
“Kau hebat Naruto!” ujar Sakura. Ia ikut senang dengan keberhasilan teman satu timnya.
Sedangkan orang ke-3 di ruangan itu mematung. Sasuke tak percaya atas apa yang didengarnya. Ia iri melihat Naruto tak terluka sedikit pun dalam misi terbaru mereka. Sekarang ia makin iri saat tahu Naruto sudah jadi jounin. Sasuke mengepalkan kedua tangannya. Ia serba salah. Mau menantang Naruto bertarung pun percuma karena ia sadar tak bisa mengalahkan Naruto yang sekarang.
Sakura menyadari keadaan jadi menegang sehingga berusaha mencairkan suasana. “Aku sudah mengupaskan apel untukmu, Sasuke-kun. Makanlah,” kata Sakura sambil menyodorkan sepiring apel.
PRANG!
Sasuke menepis piring berisi apel yang ditawarkan Sakura.
Kejadian yang sama dengan loop-loop sebelumnya.
Persis sama.
“Tak usah capek-capek merawat orang bodoh seperti dia, Sakura,” gumam Naruto pelan.
“Apa kau bilang?” bentak Sasuke.
Suara Naruto yang pelan hanya didengar dengan jelas oleh Sakura. Sayangnya gadis itu bersikukuh untuk merawat orang yang sangat disayanginya.
“Aku tidak bilang apa-apa, Sasuke. Lupakan. Aku pergi.” Naruto sadar keberadaannya di ruangan itu membuat Sasuke kesal. Makin lama ia diam di sana, makin besar pula kemungkinan Sasuke lepas kontrol dan mengajaknya berkelahi seperti di kehidupannya yang pertama. Jadi lebih baik Naruto cepat pergi.
Namun… 24 jam kemudian Sasuke meninggalkan Konoha untuk berguru kepada Orochimaru.
Naruto berpikir jika ia berusaha mengalah dan tidak bertarung dengan Sasuke hasilnya akan berbeda. Ternyata sama saja, Sasuke tetap pergi.
Setelah Sasuke dilaporkan pergi dari Konoha, Jiraiya mengirim tim untuk melakukan misi pencarian Sasuke. Naruto ditunjuk sebagai pemimpin dan diperintahkan membawa sebanyak mungkin genin dan chuunin yang ada di Konoha. Shinobi yang dibawa Naruto adalah Shikamaru, Chouji, Neji, dan Kiba karena hanya mereka yang ada. Naruto mengikuti alur seperti biasa di mana Shikamaru, Chouji, Neji, Kiba serta Lee (yang datang terakhir) melawan 5 ninja bunyi sedangkan Naruto melawan Sasuke.
Perbedaannya, kini Naruto sengaja melepaskan Sasuke meskipun dirinya menang duel. Naruto menyuruh Kakashi dan Pakkun untuk segera kembali ke Konoha dan tak perlu mencari Sasuke karena ia sudah pergi jauh.
Sikap Naruto ini tentu saja membuat Sakura marah.
“Naruto! Kau sudah jadi jounin, seharusnya kau bisa membawa kembali Sasuke-kun! Kau sama sekali tak peduli padanya!” bentak Sakura.
Naruto menatap Sakura datar. Bukannya ia tak peduli kepada Sasuke. Naruto sudah berusaha membawa pulang Sasuke di loop-loop sebelumnya. Tapi sekuat apapun Naruto berusaha, Sasuke selalu berjalan di arah yang berlawanan dengan Naruto. Pernah dalam suatu loop Naruto menahan Sasuke di Konoha. Lalu Sasuke tahu rahasia klan Uchiha dan ujung-ujungnya memberontak juga. Efeknya malah lebih parah, Sasuke jadi musuh Konoha secara permanen.
“Apa yang kau tahu tentangku?” kata Naruto dengan nada yang serius. “Asal kau tahu. Aku menganggap Sasuke sahabat terbaikku, bahkan dia sudah kuanggap saudaraku sendiri. Tapi sebaliknya, dia menganggapku tak lebih dari seorang musuh yang ingin ia bunuh. Aku sudah menghabiskan sebagian besar hidupku untuk membawa Sasuke ke sampingmu. Aku lelah.”
Naruto berjalan melewati Sakura begitu saja seolah tak peduli.
“Jangan-jangan kau sengaja melepaskannya.”
Tebakan Sakura tepat. Naruto menghentikan langkahnya kali ini.
“Jadi benar kau sengaja melepasnya?! Hanya karena kalian sering bertengkar bukan berarti kau harus melepaskan temanmu sendiri!”
Naruto sudah malas meladeni Sakura sehingga melanjutkan langkahnya.
Sakura makin kesal. “Naruto!” teriaknya. Yang dipanggil terus saja melangkah pergi.
Sakura terkejut melihat sikap dingin Naruto. Sifat Sakura masih kekanakan di masa ini sehingga sulit mengontrol emosinya. Sakura berlari dan memukul Naruto dari arah belakang.
GREP!
Dengan sigap Naruto menahan tinju Sakura.
“Kau mau memukulku?”
Sakura tak menjawab. Ia tak menyangka Naruto bisa menahan tinjunya.
Naruto memperhatikan kepalan tangan mungil Sakura di tangan kirinya.
“Tanganmu kecil. Aku heran kenapa sejak dulu aku mau menerima tinjumu. Padahal sebenarnya aku bisa dengan mudah menghindarinya,” kata Naruto. Sakura tak mengerti mendengar perkataan Naruto.
“Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyadarkan Sasuke. Dia belum dewasa.”
Perkataan Naruto terdengar seolah dia lebih tua, pikir Sakura.
Naruto lalu menghempasan tangan Sakura.
“Kalau kau masih punya tenaga untuk memukulku, kenapa tidak kau gunakan tenaga itu untuk berlatih dan berusaha lebih kuat? Agar suatu hari nanti kau bisa ikut membawa pulang Sasuke. Tidak hanya merengek di sini.”
Sakura tercengang. Kata-kata Naruto sukses menusuk hatinya. Ia heran. Setahunya sejak dulu Naruto sangat menyukainya dan tak akan mungkin melontarkan kalimat yang menyakitinya seperti itu. Tapi sekarang anggapan itu terbukti salah. Sakura berlutut di tanah melihat perubahan sikap Naruto itu. Tapi kemudian ia sadar kalau dirinya tak punya hak untuk menuntut Naruto membawa Sasuke sementara dirinya tak mampu berbuat apa-apa.
Meski Naruto gagal membawa Sasuke tapi ia dipuji dalam kehebatannya mengelola tim. Siapa sangka murid peringkat terakhir di kelas bisa menjadi pemimpin tim yang hebat. Kiba adalah salah satu yang melihat sendiri bagaimana kehebatan Naruto dalam mengatur strategi.
“Dulu aku meremehkannya,” seru Kiba. “Tapi kali ini aku akui kalau Naruto memang hebat. Secara logika, ninja bunyi kekuatannya berada di atas kami. Tapi Naruto mempertemukan kami dengan ninja bunyi yang cocok dilawan dengan kemampuan kami masing-masing sehingga meminimalkan resiko. Dia juga selalu tenang di setiap keadaan. Aku tak pernah melihat sedikit pun raut kepanikan di wajahnya.”
Ocehan Kiba terus berlanjut mewarnai suasana berkumpulnya tim 8 yang sedang berada di restoran. Mereka sudah memesan makanan, tinggal menunggu makanan datang. Ketiganya baru selesai berlatih dan memutuskan untuk makan bersama.
“Berhentilah bicara, Kiba,” potong Shino saat Kiba mengoceh tiada henti.
“Kenapa? Aku bicara yang sebenarnya. Kapan-kapan kalian harus mencoba menjalankan misi dengan Naruto.”
“Kubilang berhenti bicara,” lanjut Shino.
Shino bukan kesal karena dirinya tidak diajak dalam misi tersebut, tapi Shino sadar kalau perkataan Kiba membuat teman satu tim mereka kehilangan harapan. Shino mengisyaratkan Kiba untuk melihat reaksi Hinata. Hinata terlihat kesal karena sejak tadi Kiba memuji-muji Naruto. Raut wajahnya berusaha dipertahankan sedatar mungkin, tapi kepalan kedua tangannya tak bisa disembunyikan. Hinata sudah jengah mendengar setiap orang yang ditemuinya hari ini menceritakan Naruto, Naruto, dan Naruto.
Belum lama Hinata sakit hati mendengar dipromosikannya Naruto jadi jounin, kini hatinya semakin sakit karena Naruto seolah berjalan semakin jauh di depan Hinata. Padahal Hinata sudah berlatih sekuat yang ia bisa.
Setelah melihat apa yang dimaksud Shino, Kiba langsung merasa bersalah.
“Err.. kau juga hebat Hinata. Aku yakin suatu saat nanti kau akan mengalahkan Naruto dan bisa jadi Hokage.”
Perkataan Kiba sudah terlambat karena kini Hinata jadi murung. Keadaan makin parah saat Hinata melihat Naruto di pintu masuk restoran. Naruto sebenarnya akan mengurungkan niatnya makan di restoran tersebut saat melihat Hinata. Tapi Kiba terlanjur menyeretnya ke dalam.
“Oh, Naruto ayo bergabung bersama kami!”
Bahkan Kiba menyuruh Naruto duduk di samping Hinata karena itu satu-satunya tempat duduk yang kosong.
“Tadi aku sedang membicarakanmu,” kata Kiba.
“Oh ya?”
“Ya. Ini kebetulan sekali. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa kuat dalam sekejap? Jangan pelit dan beritahu metode latihanmu. Siapa tahu aku bisa mengalahkanmu suatu saat nanti,” bujuk Kiba sambil nyengir.
Naruto menoleh sejenak ke arah Hinata.
Naruto masih belum bisa menyamakan istrinya dengan Hinata yang sekarang berada di sampingnya. Ia harus menjauhkan Hinata dari dirinya bagaimanapun caranya. Menjauhkannya dengan serangan fisik sudah sering dilakukan, sekarang ia coba dengan cara menyerang mentalnya.
Naruto bersandar santai di kursinya lalu bicara “Di dunia ini ada 2 jenis orang. Orang yang ditakdirkan kuat dan orang yang ditakdirkan lemah. Aku adalah contoh orang yang ditakdirkan kuat. Aku bukan orang yang hanya mengumbar janji untuk jadi Hokage tapi pada kenyataannya dia lemah. Berjanji tanpa memperhitungkan kemampuan sendiri adalah tindakan bodoh. Orang seperti itu tak akan bisa mengalahkanku seberapa kuat pun dia berusaha.”
Shino dan Kiba merasa aneh karena jawaban Naruto tidak secara langsung menjawab pertanyaan Kiba. Justru jawabannya terkesan memojokan Hinata. Hinata pun merasakan hal yang sama. Tidak salah lagi, Naruto sedang menyindirnya.
“Lebih baik jadi orang yang pendiam tapi kuat, dibanding jadi orang ribut yang lemah.”
“Kau mengejekku ‘kan?” lirih Hinata. “Jika kau berniat mengejekku, selamat, kau telah berhasil.”
“Oh, kau merasa tersindir?” tanya Naruto pura-pura tak tahu. Ia menoleh untuk melihat reaksi Hinata.
“Orang bodohpun tahu kalau yang kau maksud adalah aku. Tertawalah sepuasmu!” bentak Hinata. Hinata mempertemukan tatapan matanya dengan Naruto. Tak lama kemudian…
“Hahahahahaha!”
Tawa Naruto terdengar ke setiap penjuru restoran. Ia tak peduli dikira gila oleh seisi restoran.
Tawa Naruto bagaikan pedang yang menusuk dada Hinata berulang kali. Kedua mata lavender Hinata yang asalnya menatap tajam kini melemah. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Kedipan matanya makin sering, ada air mata yang memaksa ingin keluar. Mata Hinata mulai berkaca-kaca.
“Kenapa diam? Aku tidak salah. Tadi kau menyuruhku tertawa sepuasku. Maka aku tertawa,” cibir Naruto.
“Kau…” Hinata tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk. Naruto benar-benar membuatnya sakit hati. Ia mati-matian menahan dirinya agar tidak menangis.
“Kehabisan kata-katamu? Lidahmu kelu?” Naruto lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Hinata. “Kalau kau sudah sadar pada ketidakmampuanmu, sudah saatnya kau menyerah. Pecundang.”
GREP!
PRANG!
“Ghhh!”
Hinata menghantamkan botol minuman bersoda ke kepala Naruto hingga botol tersebut pecah. Tak lama kemudian darah segar mengalir ke pelipis Naruto. Naruto murka dan menarik jaket Hinata, tangan kanannya sudah siap memukul Hinata. Tapi pukulan itu diurungkan saat Naruto melihat isak Hinata yang diiringi air mata. Hinata sudah tak kuasa menahan tangis hingga akhirnya air mata itu menetes juga.
Hinata mendorong badan Naruto hingga pegangannya terlepas. Ia tidak ingin dihina lebih jauh oleh Naruto sehingga bergegas lari keluar dari restoran.
“Cengeng!” dengus Naruto.
Kiba bengong dan Shino mematung melihat peristiwa di hadapan mereka. Kejadian berlangsung cepat sehingga mereka tak bisa berbuat apa-apa.
“Kali ini kau keterlaluan, Naruto,” gumam Shino.
“Ya, Shino benar,” sahut Kiba. “Aku heran. Di misi kemarin kau menunjukkan sikap seorang pemimpin yang bijaksana. Tapi barusan kau malah menyindir Hinata seperti anak kecil. Kenapa sikapmu selalu tak ramah begini saat berada di dekat Hinata?”
Naruto menghela napas panjang. “Karena keberadaan Hinata di dekatku malah menyakitiku.”
“Menyakiti apa maksudmu? Apa dia pernah berbuat salah padamu?”
Naruto tak menanggapi apa-apa lagi setelah itu.
Tak lama kemudian datang makanan yang dipesan tim 8. Naruto melihat sepiring salad buah dengan ekstra melon pesanan Hinata. Itu makanan yang sama dengan yang disukai Hinata dewasa. Entah kenapa perasaan Naruto jadi tak menentu.
“Aku pulang saja. Aku sudah tidak lapar,” ujar Naruto. Ia bahkan menolak tawaran pelayan restoran untuk mengambilkan perban dan obat. Naruto hanya mengambil beberapa lembar tissue untuk menahan agar darah tidak terus keluar.
“Habiskan makanan kalian, biar aku yang bayar.” Naruto menyerahkan beberapa lembar uang ke kasir yang dipastikan melebihi tagihan makanan tim 8 dan mengganti botol yang pecah.
“Jika kau pikir sikapmu ini akan menjauhkan Hinata darimu, maka kau salah besar Naruto!” teriak Kiba.
Naruto tak peduli dan terus berjalan ke luar restoran.
Setelah keluar dari restoran, Naruto masih bisa melihat Hinata yang sedang berlari. Butiran-butiran air mata berjatuhan dari wajah Hinata, terlihat jelas karena tersorot sinar matahari sore. Naruto melangkah ke arah yang berlawanan dengan Hinata. Dipandangnya langit Konoha yang mulai gelap. Pikirannya jadi kacau lagi sekarang.
Naruto dan Hinata pada kenyataannya hanya saling menyakiti satu sama lain. Tapi ini lebih baik dibandingkan Hinata dekat dengan Naruto. Itu puluhan kali lebih sakit bagi Naruto.
TOK! TOK! TOK!
Jiraiya terlonjak saat pagi-pagi pintu ruangannya ada yang mengetuk. Ia yang untuk kesekian kalinya tertidur di atas tumpukan-tumpukan dokumen bergegas menegakan badannya. Tak lupa ia membereskan dokumen yang berantakan di atas mejanya. Jiraiya tak mau Tsunade yang belakangan ini bertindak sebagai penasihatnya mengomelinya lagi.
CKLEK!
Terlambat!
Pintu sudah terbuka sebelum Jiraiya selesai merapikan mejanya.
Ternyata yang ingin menemuinya adalah Hinata dan Tsunade. Tsunade sudah tahu kalau Jiraiya tertidur lagi di mejanya, padahal ini sudah jam 9 pagi. Tapi kali ini Tsunade tak menghiraukan teman lamanya itu karena ada hal yang lebih penting.
“Hinata ingin menemuimu, lebih tepatnya menemui kita.”
“Ada apa lagi Hinata? Sudah kubilang misi pengintaian Naruto dihentikan dan keputusanku itu sudah final,” tanya Jiraiya.
“Aku ke sini bukan untuk membahas hal itu lagi,” kata Hinata. Raut wajah gadis itu serius sekali. Berbeda dengan pertemuan mereka sebelum ini.
Jiraiya jadi penasaran. “Lalu apa?”
“Aku ingin jadi murid kalian.”
Kening Jiraiya berkerut. “Mungkin maksudmu, ingin meminta izinku untuk jadi murid Tsunade?”
“Tidak. Maksudku aku ingin jadi murid kalian berdua.” Hinata menatap Tsunade dan Jiraiya bergantian. “Sekaligus.”
To Be Continue…
© rifuki
The Infinite Loops – Chapter 1
The Infinite Loops – Chapter 2
The Infinite Loops – Chapter 3
The Infinite Loops – Chapter 4
The Infinite Loops – Chapter 5
The Infinite Loops – Chapter 6
The Infinite Loops – Chapter 7
The Infinite Loops – Chapter 8 (End)
One Reply to “The Infinite Loops – Chapter 4”