The Infinite Loops – Chapter 3

The Infinite Loops – Chapter 3

Sebelumnya dalam The Infinite Loops:

Naruto rata-rata bisa hidup sampai umur 110 tahun per masa hidup dikarenakan ia keturunan Uzumaki yang terkenal berumur panjang. Ini adalah loop-nya yang ke-18. Itu artinya Naruto sudah mati 18 kali dan sudah hidup sekitar 1980 tahun. Lukisan yang selalu Naruto buat di setiap loop adalah lukisan wanita dewasa dengan 2 anak. Mereka adalah sosok 3 orang yang hidup di kehidupannya yang pertama sebelum rangkaian loop ini terjadi tanpa henti.

Naruto dan Hinata lolos ujian Chuunin babak pertama (tes tertulis) dan kedua (survival) tanpa kesulitan yang berarti. Memasuki pra-babak ke-3, Naruto mengalahkan Kiba juga dengan cara yang mudah. Berbeda dengan Hinata yang harus bersusah payah melawan Neji.

Jūkenhō: Hakke Rokujūyon Shō!

Naruto bingung. Kenapa Hinata bisa menguasai jurus itu? Setahu Naruto, Hinata tak menguasai jurus itu saat ujian Chuunin.

“Pemenangnya, Hyuuga Hinata!” seru sang wasit.

“Naruto,” panggil Hinata. Hinata lalu mengusap darah yang mengalir deras dari bibirnya dengan tangan kanan. Kemudian tangan kanannya dikepalkan dan diarahkan kepada Naruto. “Demi darah ini, aku berjanji akan mengalahkanmu di final!”

BRUK!

Di lorong menuju pintu keluar, Naruto meninju dinding hingga retak.

‘Aku akan mengalahkanmu di final jika itu satu-satunya cara untuk menjauhkanmu dariku, Hyuuga Hinata!’

Chapter 3

“Memory

“Permisi, Hokagesama,” panggil seorang ANBU dengan topeng kucing bercorak warna merah dan hijau.

“Kinoe. Ada apa?”

“Ini tentang Naruto.”

“Oh, bagaimana? Kau sudah mendapatkan barang yang kumaksud?” tanya Sandaime.

“Ya. Saya sudah menggandakan lukisan yang Anda minta,” kata ANBU tersebut.

Sandaime menerima lukisan yang merupakan copy dari lukisan yang ada di apartemen Naruto. Ia memerintahkan Kinoe untuk menggandakan lukisan itu setelah mendengar laporan kalau Naruto sering memandangnya lama. Meskipun lukisan tersebut digabung dengan lukisan lain, tapi lukisan itu dibuat lebih besar dari yang lain. Kinoe juga tak melewatkan sorot mata aneh Naruto ketika sedang memandanginya. Pasti lukisan itu sangat berarti bagi Naruto.

Sepasang mata sayu yang sudah dimakan usia milik Sandaime memandang sosok tiga orang di lukisan dengan seksama. Nampaklah di sana gambar seorang wanita dan 2 anak yang sudah beranjak dewasa. Sandaime mengira ia akan mendapatkan petunjuk setelah melihatnya. Ternyata ia salah. Ia tak mengenali satu pun sosok di lukisan tersebut.

“Aku tidak mengenal mereka.”

“Begitu juga denganku, Hokage-sama.”

“Ini seperti sebuah keluarga.”

“Ya. Jika dua orang yang lebih muda diasumsikan sebagai anaknya, maka wanita Hyuuga dewasa di tengah adalah ibu mereka.”

“Ibu dengan 2 orang anak yang beranjak dewasa pasti berusia sekitar 40 tahun ke atas. Seingatku tak ada wanita Hyuuga di Konoha yang berusia 40 tahunan dengan wajah seperti ini. Bukankah begitu?”

“Betul.”

“Lalu siapa mereka? Naruto tak mungkin melukisnya dalam ukuran besar jika mereka bukan orang penting.”

“Apa perlu kita tanya langsung kepada Naruto?”

“Tidak perlu. Dia pasti tak akan menjawab seperti sebelumnya.”

Sandaime berpikir sejenak, mencari langkah apa yang harus ia lakukan setelah ini.

“Rahasiakan dulu masalah ini dari Naruto. Lanjutkan saja penyelidikanmu, cari petunjuk lain, catat semua hal yang mencurigakan sekecil apapun itu.”

“Baik.”

Setelah itu Kinoe menghilang dalam kepulan asap. Sandaime berjalan ke arah jendela besar di ruangan Hokage. Hampir seluruh bagian desa bisa dilihat dari sana, tak terkecuali apartemen milik Naruto, meskipun hanya terlihat atap dan dinding atasnya saja.

Sandaime menyimpan tangannya di dagu. ‘Siapa yang kau gambar itu, Naruto?’ batinnya.

Waktu seminggu yang diberikan panitia ujian chuunin setelah pertandingan pra-babak ke-3 dimanfaatkan oleh Hinata untuk memulihkan lukanya dan berlatih. Hinata kini berlatih bersama Neji. Kebencian Neji kepada anggota head family, perlahan menghilang setelah Hiashi menyerahkan surat yang ditinggalkan ayah Neji, Hyuuga Hizashi. Neji akhirnya tahu kalau ayahnya mengorbankan diri bukan semata-mata demi menyelamatkan head family, tapi demi seluruh keluarganya. Neji akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan ayahnya. Ia akan melindungi seluruh head family sebagai seorang anggota keluarga, bukan sebagai branch family yang statusnya bawahan di klan Hyuuga. Melatih Hinata adalah salah satu bukti nyata kalau Neji ingin berubah ke arah yang lebih baik.

Sementara itu Naruto melakukan hal yang berbanding terbalik dengan Hinata. Seperti biasa, ia tiduran di bukit Hokage setiap siang hingga sore. Ia berpikir dirinya tak perlu berlatih jika hanya ingin mengalahkan Hinata. Namun ada yang sedikit mengganggu pikirannya. Ia masih bertanya-tanya kenapa peningkatan kekuatan Hinata pesat di masa sekarang? Bukannya Naruto takut kalah, hanya saja di loop-loop sebelumnya Hinata tak pernah sekuat ini. Niat awal Naruto untuk menjauhkan Hinata dari dirinya juga tak berhasil. Di masa ini justru Hinata semakin bersemangat mencari tahu segala hal tentang Naruto untuk membongkar rahasianya. Perubahan Hinata ini terus merembet pada perubahan-perubahan alur cerita lainnya di masa ini. Kalau begini caranya, maka akan terjadi efek domino. Alur yang satu akan mempengaruhi alur lainnya hingga terbentuk alur cerita baru yang belum pernah dilalui Naruto selama 18 masa hidup.

Hei, tunggu dulu!

Tiba-tiba Naruto menyadari sesuatu.

Naruto melengkungkan bibirnya, 1900 tahun hidupnya dilalui dengan membosankan. Jika kini alur yang akan dilaluinya berbeda, maka ia akan sedikit terhibur. Ini membuat rasa bosannya menjalani hidup perlahan terobati. Kini ia menghadapi masa depan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Naruto segera beranjak dan menatap jauh ke arah desa Konoha. Angin senja menerpa rambut pirangnya.

‘Mungkin gertakkanku selama ini tak cukup,’ pikir Naruto. ‘Baiklah kalau begitu. Kita lihat seberapa kuat kau akan berusaha, Hyuuga!’

Naruto melompat dari bukit Hokage menuju ke desa. Perutnya sudah minta diisi, saatnya ia menyiapkan makan malam. Malam ini ia akan memasak makanan enak lagi.

Hari yang dinanti-nanti oleh Hinata datang juga. Final ujian chuunin sudah di depan mata. Kini ia dan 6 orang lainnya sudah berada di arena pertandingan sehingga total peserta ada 7 orang (Sasuke belum datang). Hari ini Naruto memakai t-shirt berwarna hitam dipadu dengan pakaian jaring di bagian dalamnya. Sedangkan untuk bawahannya ia memakai celana pendek ninja selutut yang juga berwarna hitam. Jaket dan celana orange-nya entah sudah kemana. Ia tak pernah memakainya lagi.

Pertandingan disaksikan oleh ribuan penonton dari Konoha maupun dari luar Konoha. Hinata yang baru pertama mengalami ini tentu saja merasa bangga. Jangan tanya bagaimana reaksi Naruto, dia sudah pasti merasa bosan karena sudah mengalami kejadian ini belasan kali.

Pertandingan pertama adalah Naruto melawan Hinata.

Penonton tak begitu tertarik karena mereka belum tahu kalau Hinata sudah kuat sekarang. Sedangkan mengenai Naruto, ia masih dicap pemalas oleh penduduk desa. Pertandingan yang justru dinantikan banyak orang adalah pertandingan Sasuke. Naruto tak tersinggung mengenai hal itu karena itulah yang ia inginkan sejak awal. Ia tak ingin mengundang perhatian orang secara berlebihan.

Wasit memanggil Naruto dan Hinata untuk bersiap.

“Aku memberimu waktu 1 menit,” kata Naruto sambil mengangkat telunjuknya.

Hinata menatap Naruto tak mengerti.

“Apa maksudmu, Naruto?” tanya Hinata. Sufix –kun sudah jarang terdengar lagi dari gadis itu saat memanggil nama Naruto. Bukannya Hinata sudah tidak menyukai Naruto lagi, ia tetap menyukainya. Tapi sufix itu terasa tak cocok dengan karakter Naruto yang dingin dan kasar seperti sekarang. 

“Kau ingat pertarungan pertama kita 4 tahun lalu?”

Hinata mengingat kembali pertarungan pertamanya dengan Naruto. Pertarungan pertama mereka terjadi setelah pulang dari akademi di lapangan berlatih empat tahun lalu. Itu salah satu kenangan pahit bagi Hinata. Saat itu pertama kalinya Hinata tahu kalau sikap Naruto padanya berubah drastis.

“Aku mengingatnya, pertarungan 4 tahun lalu di akademi,” jawab Hinata.

“Bagus. Saat itu aku mengalahkanmu dalam waktu 5 detik. Aku akui kau sudah lebih kuat sekarang jadi aku putuskan untuk mengalahkanmu dalam waktu 60 detik atau tepat 1 menit dalam final ujian chuunin ini.”

Mendengar perkataan Naruto, Hinata merasa diremehkan.

“Kalau begitu buktikan!” bentak Hinata.

Naruto tersenyum karena usahanya membuat Hinata kesal telah berhasil. Kedua orang itu memasang kuda-kuda mereka masing-masing. Oh ralat, Hinata yang memasang kuda-kuda khas Hyuuga, sedangkan Naruto hanya berdiri tegak dan menatap datar ke arah Hinata.

Wasit pertandingan final melihat kedua peserta sudah siap sehingga ia akan memulai pertandingan.

“Mulai!”

Hinata berlari sekuat tenaga ke arah Naruto. Chakra sudah dipusatkan di kedua tangannya. Enam puluh detik adalah waktu yang singkat sehingga ia harus menyerang secara eksplosif maksimum. Ia harus mengeluarkan kekuatan terbaiknya dalam waktu 1 menit. Tapi Hinata berpikir waktu sesingkat itu sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan Naruto.

“Jūken!”

Hinata menyerang dada Naruto dengan Jūken di tangan kanannya. Gerakan itu dibaca dengan mudah oleh Naruto. Naruto melangkah ke kanan dan sedikit menunduk. Dengan gerakan yang sama cepatnya, Naruto menangkap tangan kanan Hinata sekaligus menariknya. Lutut Naruto dilayangkan cepat ke perut Hinata.

BUGH!

“Uhuk!”

Hinata terbatuk. Ulu hati Hinata terkena lutut Naruto dengan keras.

Serangan Naruto dilanjutkan dengan memukul punggung Hinata dengan kedua tangan hingga ia tersungkur ke tanah. Serangan tidak selesai di situ. Naruto menendang Hinata yang sedang terkapar di tanah hingga gadis itu terlempar jauh ke pinggir arena dan berguling berkali-kali.

Penonton menatap pemandangan di hadapam mereka ngeri. Naruto melawan Hinata dengan cepat dan beringas. Pertandingan yang asalnya tidak terlalu dipedulikan oleh penonton, kini jadi pusat perhatian seisi arena. Mereka tak menyangka ternyata Naruto ninja yang hebat hingga bisa menandingi seorang keturunan Hyuuga.

Naruto tahu serangannya tadi belum cukup. Naruto berlari dan bermaksud menendang Hinata lagi. Saat itu Hinata baru bangun dari posisinya, tapi Naruto sudah terlanjur ada di hadapannya.

“Heaaah!”

“Hakke Sanjūni Shō!”

“Terlambat!” teriak Naruto. Hinata melotot, 32 serangan totokan memang sebagian besar mengenai badan Naruto, namun jarak Naruto sudah terlalu dekat. Naruto tak mempedulikan serangan Hinata dan terus masuk ke area serang Hinata. Naruto menggapai Hinata dengan tangannya.

“Ghhk!”

BRAK!

Leher Hinata dicekik Naruto dan badannya didorong ke tembok batas arena. Kepala bagian belakang Hinata berdarah karena membentur tembok. Ia mati-matian melepas pegangan tangan Naruto di lehernya. Sayangnya pegangan tangan Naruto itu kuat sekali.

Di pihak lain, baju Naruto sobek di beberapa bagian karena terkena serangan Hinata. Bahkan di beberapa bagian tubuhnya yang terbuka, jelas terlihat bekas luka totokan berwarna merah.

“Kenapa k-kau masih bisa bergerak? Seharusnya jalur chakra ke tanganmu sudah kacau,” tanya Hinata. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari cekikan Naruto.

Naruto tersenyum. “Kau pikir serangan seperti itu akan menghentikanku?”

“Jangan bermimpi!” teriak Naruto, menjawab pertanyaannya sendiri. Tangan kanannya mengepal.

BUKH!

Naruto memukul wajah Hinata.

Darah segar keluar dari hidung Hinata. Rangkaian pukulan selanjutnya membuat pipi Hinata mulai tergores dan membiru.

Hinata menahan rasa sakit di wajahnya. Dia terpojok di tembok. Ini posisi yang tidak menguntungkan. Kalau begini terus ia akan kalah. Hinata menarik napas panjang. Saat pukulan Naruto selanjutnya mengarah ke wajahnya lagi, Hinata menangkisnya dengan tangan kiri, lalu menanduk kepala Naruto.

DUAKH!

Naruto terhuyung ke belakang. Pegangan di leher Hinata terlepas. Hinata merasakan kepalanya pusing karena tandukan barusan. Tapi Hinata harus tetap melanjutkan serangannya. Ini kesempatannya untuk menyiapkan serangan lain.

“Jika 32 titik tidak berhasil, bagaimana jika 64 titik? Apa kau bisa bertahan?”

Jūkenhō: Hakke Rokujūyon Shō!

Asap yang tercipta dari serangan Hinata menutupi arena untuk beberapa detik. Saat asap hilang, terlihatlah efek serangan Hinata tadi. Tembok bagian timur arena pertandingan hancur karena serangan Hinata. Sementara itu tubuh Naruto terlempar ke tengah arena. Ia terkena 64 totokan Hinata dengan telak kali ini.

“Kurasa ini sudah berakhir, menyerahlah Naruto!” teriak Hinata sambil mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia tahu jalur chakra di sekujur tubuh Naruto sudah dihentikan, tapi Naruto tak akan mati semudah itu. 

Tak ada jawaban.

“Rasengan!”

Hinata menoleh ke arah suara. Naruto lain datang dari reruntuhan tembok arena. Ia sudah mengarahkan serangannya ke perut Hinata.

“Oh, tidak!”

Hinata menyilangkan kedua tangannya untuk menangkis serangan Naruto. Namun itu tidak cukup. Rasengan menghancurkan kedua lengan jaket Hinata, juga melukai kedua tangan Hinata. Tidak itu saja, karena tangkisan itu tak cukup kuat, rasengan berlanjut menyerang ke perut Hinata.

Hinata terjatuh di samping Naruto yang asli di tengah arena.

Naruto yang asli bangun. “Aliran chakra-ku memang sudah berhenti. Tapi aku punya chakra lain yang berwarna merah. Chakra yang jauh lebih hebat dari chakra biasa. Seharusnya kau jeli melihatnya.

‘Jadi itu sebabnya,’ pikir Hinata. ‘Pasti chakra merah itu milik Kyuubi.’

“Uhuk!” Hinata terbatuk lagi. Kali ini darah dalam jumlah yang banyak keluar dari mulutnya. Ia memejamkan kedua matanya menahan rasa sakit di perutnya.

Naruto menarik kerah jaket Hinata, memaksanya berdiri. Ditatapnya wajah yang sudah berlumuran darah itu. “Hinata, Hinata, Hinata,” panggil Naruto. “Kau seharusnya tahu kalau kekuatan kita berada di tingkatan yang berbeda. Kau bahkan tak sadar kalau sebelum terkena seranganmu aku sempat membuat seorang bunshin. Kalau begini terus sampai kapanpun kau tak akan mampu mengalahkanku. Kupikir kau akan menghiburku di masa ini, kupikir kau bisa lebih kuat dari ini. Ternyata aku salah. Lihat keadaanmu saat ini. Kaulah yang seharusnya menyerah.”

Hinata menggeleng. Kedua tangannya  berusaha menggapai kedua pundak Naruto.

“Jika aku… menyerah, kau… tak akan mengatakan… rahasiamu,” bisik Hinata terputus-putus.

DZIGH! DZIGH! DZIGH!

Naruto kembali memukuli wajah Hinata tanpa ampun. Dari arah samping, dari arah bawah (rahang), juga dari arah depan

“Keras kepala! Kenapa kau tidak menyerah saja?!”

Hinata sudah tak berdaya, tak bisa melawan, tapi gadis itu tetap saja memegang erat kedua pundak Naruto. Merasa tak ada jalan lain lagi, Naruto mengambil kunai dari kantongnya.

Hanabi melotot melihat apa yang dilakukan Naruto. “Menyerahlah, Nee-san!” teriak Hanabi dari bangku penonton. Ia tak tega melihat kakaknya akan dihabisi Naruto. Lagi-lagi Hinata masih diam. Hampir semua penonton berdiri dari tempat duduknya. Ada yang tak tega seperti Hanabi, ada yang penasaran apa Naruto akan benar-benar membunuh Hinata, ada pula yang bersikap biasa karena sudah tahu resiko ujian chuunin, saat kau mengikuti ujian chuunin, maka kau harus siap mati.

Naruto mendecih melihat sikap Hinata yang diam saja.

“Baiklah. Kau yang meminta ini. Kunai ini tak akan meleset seperti dulu!”

Kunai diarahkan ke kepala Hinata.

Naruto menatap wajah Hinata untuk terakhir kali. Ia mati-matian menegaskan kepada dirinya sendiri kalau Hinata di hadapannya berbeda dengan Hinata yang hidup di kehidupan pertamanya. Ia harus menganggap kalau Hinata yang ada di hadapannya bukanlah siapa-siapa.

Hanabi mengigit bibir bawahnya lalu memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya di badan Hiashi. Hiashi sedang mati-matian menahan amarahnya melihat putri tertuanya jadi sasaran serangan Naruto. Tak lama lagi besi tajam itu mengenai wajah putrinya. Ia ingin sekali menolong tapi ia tahu ujian chuunin adalah pertarungan hidup dan mati. Kemungkinan kematian adalah resiko yang harus ditanggung semua peserta ujian chuunin.

“Mati kau!”

“Jangan lakukan ini, Naruto-kun.

Naruto mematung.

Hime?!”

Naruto melotot menatap sosok ‘Hinata’ yang tadi bicara di hadapannya dengan tak percaya. Jika saja yang bicara padanya Hinata kecil yang jadi lawannya dalam final ujian chuunin, Naruto tak akan peduli. Masalahnya yang kini ada di hadapannya adalah Hinata dewasa yang pernah jadi istrinya di kehidupan pertamanya 1900 tahun yang lalu. Wanita dewasa berusia 40 tahunan yang nampak anggun sekali dengan yukata ungu mudanya.

Di pinggir arena, penonton bertanya-tanya melihat Naruto menghentikan kunai-nya sejengkal saja dari wajah Hinata. Sosok yang ada di hadapan Naruto sebenarnya tetap Hinata kecil dari loop ke-18 (masa sekarang), Hinata yang sedang mati-matian berusaha membongkar rahasia Naruto. Tapi penglihatan Naruto justru memproyeksikan Hinata dewasa. Tak lama kemudian ingatan tentang semua Hinata yang pernah ia temui bercampur aduk di kepala Naruto. Sosok 16 Hinata lain berkelebat dalam ingatan Naruto. Kepalanya seolah ingin pecah.

“Gah!” Naruto memegang kepalanya yang sakit dengan tangan kiri. “Kenapa kau mencegahku, Hime?”

Hinata dewasa dalam bayangan Naruto menatapnya sedih. “Jika kau membunuhnya, kau hanya akan memperpanjang penderitaanmu. Kau juga menyakitinya tanpa memberinya kesempatan untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tapi dia bukan Hinata! Dia hanya ilusi, kaulah yang nyata!”

Hinata dewasa menggeleng.

“Semua Hinata yang hidup setelahku adalah nyata. Justru akulah ilusi yang selalu hidup di pikiranmu. Aku sudah mati 1900 tahun lalu, Naruto-kun. Kenapa kau tak mau melupakanku? Masaku sudah habis. Jadi aku mohon lepaskan aku dari ingatanmu, dan lanjutkan kehidupanmu dengan Hinata yang masih hidup.”

“Tapi dia tidak mengingatku! Untuk apa menjalani kehidupan dengan Hinata lain jika pada akhirnya mereka akan melupakanku saat mereka mati? Setiap aku mati aku dipaksa memasuki loop  dan kembali ke usia 10 tahun, semua kejadian di kehidupan sebelumnya seolah menguap begitu saja. Semua Hinata setelahmu tak mengingat kejadian sebelumnya, bahkan semua orang tidak mengingatnya!”

“Kau tidak bisa menyalahkan mereka karena tak bisa mengingatmu. Kau satu-satunya orang yang mengingat semua loop-”

“Itu masalahnya!” potong Naruto dengan intonasi yang keras. Hinata dewasa tidak tersinggung karena ia tahu tekanan yang dialami Naruto. “Kenapa hanya aku yang terjebak dalam loop ini? Kenapa hanya aku yang punya ingatan atas semua loop yang kulalui? Aku muak dengan semua ini. Setelah masa ini berakhir aku tak ingin terbangun lagi. Aku ingin mati, Hime.”

Hinata dewasa berubah murung. Ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ia mengusap pipi Naruto lalu berkata, “Aku tidak tahu harus bagaimana. Kau harus mencari tahu sendiri bagaimana keluar dari infinite loop ini. Jika kau satu-satunya orang yang mengingat semua loop, maka kaulah yang jadi kunci dari rangkaian loop ini. Hanya kau yang bisa menyelesaikannya. Aku datang ke sini hanya ingin memohon satu hal padamu, berhentilah memikirkanku dan lanjutkan hidupmu dengan Hinata yang hidup di masa sekarang. Jangan terus menerus menghindarinya. Jika kau menghindarinya, maka itu sama artinya dengan kau menghindariku. Jangan pula menyakitinya, atau bahkan membunuhnya, itu akan menambah beban mental yang kau emban. Jika begini terus kau akan semakin sedih, stress, dan kau bisa…”

Hinata dewasa tidak melanjutkan kalimatnya.

Naruto menunduk, ia mengerti apa maksud perkataan Hinata dewasa.

“Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus pergi,” kata Hinata dewasa. Ia menggenggam tangan Naruto lalu menjauh. “Tolong lupakan aku setelah ini.”

“Tunggu, Hime!”

Naruto ingin mengejar Hinata dewasa tapi kedua kakinya tak bisa digerakkan.

“Hime! Ugh!

Naruto merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Ia menoleh ke arah dadanya. Bajunya hancur, beberapa bagian kulitnya sobek, ada 2 luka besar yang menyebabkan lapisan daging Naruto terlihat.

“Arghhhhh,” teriak Naruto kesakitan. Ia berlutut saking sakitnya.

“Kau ceroboh. Membiarkan musuhmu dalam jarak dekat sedangkan kau melamun. Kau malah memanggil hime, hime, hime. Siapa itu hime?” bisik Hinata kecil di hadapan Naruto. Di kedua tangannya ada chakra biru berbentuk kepala singa. Itu Jūho Sōshiken! Hinata berhasil mengumpulkan kekuatan terakhirnya untuk menyerang Naruto.

“Hinataaa!!!” bentak Naruto. “Kau sudah membuatku marah sekarang!”

Naruto memakai rencana cadangannya. Padahal tadinya ia mengira tak akan menggunakan rencana ini.

“Kuchiyose no Jutsu!” “Kai!”

Jurus pertama mendatangkan 1 bunshin Naruto dari gunung Myoubokuzan, lalu jurus kedua menghilangkannya. Setelah bunshin itu menghilang, energi alam dari bunshin tersebut berpindah ke tubuh Naruto. Luka di dada Naruto sembuh dengan cepat dan Naruto mendapat kekuatan penuh lagi.

Itu membuat Hinata dan semua penonton menatapnya tak percaya. Tak terkecuali seorang ANBU bertopeng kucing bercorak merah-hijau dan Sandaime. Penonton mungkin tak ada yang tahu jurus apa yang digunakan Naruto. Tapi ANBU dan Sandaime tahu kalau itu Senjutsu.

Penonton hanya tak menyangka Naruto bisa sekuat ini tanpa tahu jurus apa yang digunakannya. Mereka juga kagum karena Naruto sudah memikirkan rencana sebelum bertarung. Hanabi dan Hiashi sudah pasrah menghadapi apa yang akan terjadi. Hinata memang sangat keras kepala jika berkaitan dengan hal yang berbau Naruto.

Naruto merasa tak perlu bermain-main lagi. Dalam satu gerakan cepat, Naruto melesat ke hadapan Hinata. Serangan Jūho Sōshiken Hinata lainnya dihindari Naruto dengan mudah. Naruto mengambil kunai lain dari kantongnya. Diarahkannya kunai tersebut ke arah wajah cantik Hinata, persis seperti sebelumnya.

“Jangan lakukan ini, Naruto-kun.”

“Kau hanya akan memperpanjang penderitaanmu.”

“Kau juga menyakitinya.”

“Lanjutkan kehidupanmu dengan Hinata yang masih hidup.”

“Tolong lupakan aku setelah ini.”

“Aarrrggghhhh!” Perkataan Hinata dewasa terus terngiang-ngiang di kepala Naruto. Di detik-detik terakhir Naruto membelokkan arah kunai-nya.

BLESH!

“Ghhkkk!”

Hinata tumbang ke tanah. Mulutnya kembali mengeluarkan darah, lebih banyak dari sebelumnya.

Naruto telah menusuk jantung Hinata.

“Aku menang, Hinata,” gumam Naruto.

“Aku yang… menang,” balas Hinata dengan suara yang nyaris tak bisa didengar. “Ini sudah lebih dari 1 menit. Kau harus ceritakan rahasiamu.”

Naruto menanggapinya datar. Naruto kemudian membungkuk di samping tubuh Hinata. Tatapan datar itu perlahan berubah menjadi sebuah tatapan sendu.

Di tengah kesadarannya yang mulai hilang, Hinata merasakan belaian lembut Naruto di pipinya. Setelah itu Naruto semakin menurunkan wajahnya. Jempol tangannya mengusap darah yang mengalir dari bibir Hinata kemudian memainkan bibir bawah Hinata. Lalu Naruto memiringkan wajahnya. Ia seperti bermaksud mencium Hinata.

Hinata bingung dengan sikap Naruto ini. Hinata memejamkan mata, menunggu ciuman Naruto. Tapi ciuman itu tak pernah dirasakannya.

“Gadis bodoh, semua orang di arena ini tahu siapa yang menang. Aku tidak akan menceritakan apa-apa padamu,” bisik Naruto.

Hinata segera membuka matanya dan Naruto sudah tak ada di sana.

Tiba-tiba tanpa Hinata sadari sepasang mata lavendernya mengeluarkan air mata, air mata yang kemudian bercampur dengan darah di wajahnya. 

Awalnya Hinata bahkan tak tahu kenapa ia menangis. Ia mengira dirinya menangis karena kecewa tidak jadi dicium Naruto atau karena gagal mengalahkan Naruto dan membongkar rahasianya.

Tidak!

Baginya dua hal itu adalah alasan yang kekanakan. Alasannya lebih kuat dari itu hingga membuat tangisnya tak henti-henti.

Hinata kecewa karena kini ia merasa semakin jauh dengan sosok Naruto-kun yang diingatnya sejak kecil. Ia ingin bertemu lagi dengan sosok Naruto-kun yang ramah dan murah senyum. Ia sangat merindukan aura hangat yang dipancarkan sosok yang sangat disayanginya tersebut. Rasa sakit di dada Hinata pun kini jadi dua kali lipat antara sakit secara fisik terkena tusukkan dan sakit hati.

Naruto dinyatakan sebagai pemenang ujian chuunin babak ke-3 melawan Hinata. Tapi ujian chuunin harus terganggu oleh invasi Konoha oleh Orochimaru. Meskipun saat ini pikiran Naruto dipenuhi pemikiran atas Hinata, Naruto masih punya kesadaran untuk melindungi Konoha dari serangan Orochimaru. Naruto harus mengulangi apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya, yaitu  mengalahkan Gaara.

“… akhirnya aku sadar, aku sendirian di dunia ini. Kalau begitu kenapa aku hidup? Aku terus mempertanyakan itu selama ini. Hanya dengan membunuh orang aku merasa keberadaanku berguna…”

Naruto sudah 18 kali mendengar permasalah Gaara ini.

Mood Naruto sudah terlanjur jelek hari ini. Banyak hal yang membebani pikirannya. Karena itulah ia memutuskan untuk mengalahkan Gaara dengan cepat. Tak tanggung-tanggung, ia langsung berubah jadi mode Kyuubi untuk melawan Gaara dan Ichibi. Di kehidupan pertama pun ia berubah jadi Kyuubi, meskipun dulu hanya henge, dan tak ada penduduk yang curiga. Kebanyakan penduduk terkena genjutsu dan tidur, sedangkan kebanyakan ninja sedang bertarung.

Ichibi bisa dilumpuhkan dengan cepat. Setelah itu Naruto menonaktifkan mode Kyuubi-nya. Ia menarik Gaara dan menahannya di sebuah pohon, memegang kerahnya dengan kuat hingga tubuh Gaara terangkat. Gaara sudah tak mampu melawan.

“Kau tak mengerti apa yang kurasakan!”

BUKH!

Naruto memukul wajah Gaara.

“Siapa bilang aku tak mengerti apa yang kau rasakan? Tatap mataku!” bentak Naruto. “Aku merasakan kesepian yang jauh lebih parah darimu!”

Gaara melotot tak percaya. Ia melihat beban yang sangat berat di kedua sorot mata safir Naruto.

“Jika kita sama, lalu kenapa kau begitu kuat? Kenapa aku tidak bisa sekuatmu?” tanya Gaara.

“Kau menjalani hidupmu dengan cara yang salah. Kau seharusnya hidup untuk melindungi orang yang kau sayangi, bukan untuk membunuh orang. Kau bisa keluar dari rasa kesepianmu dengan melindungi orang-orang yang penting bagimu.”

Raut wajah Naruto berubah sedih.

‘Kau bisa keluar dari penderitaanmu, sedangkan aku tak bisa keluar dari penderitaan ini. Aku akan terus merasa kesepian entah sampai berapa ribu tahun lagi,’ batin Naruto.

Temari dan Kankuro datang menjemput Gaara. Dalam waktu yang bersamaan, Sasuke datang. Naruto melepaskan Gaara dengan baik-baik. Ia melarang Sasuke untuk menyerang karena ia tahu suatu hari Gaara akan berubah jadi lebih baik.

Hari yang panjang ini diakhiri dengan duka mendalam bagi seluruh penduduk Konoha. Sandaime mati di tangan muridnya sendiri, Orochimaru.

Bukannya Naruto tak mau menolong Sandaime, tapi lagi-lagi ia harus memperhitungkan keseimbangan dunia. Jika Sandaime tidak mati hari ini, maka harus ada yang menggantikan kematiannya hari ini. Itu akan lebih merepotkan bagi Naruto. Sekarang saja ia belum tahu pasti kalau alur yang dijalaninya di loop ke-18 itu bagus. Perubahan sikap Hinata telah merubah berbagai hal di masa sekarang.

Naruto ikut datang ke pemakaman Sandaime tapi raut wajahnya tidak menunjukkan kesedihan. Itu adalah masalah lain yang dihadapi Naruto akibat infinite loop. Kepekaan hati Naruto terhadap orang yang meninggal terus berkurang. Sekarang hatinya mulai merasakan kebal, imun. Naruto tak merasakan kesedihan sebagaimana dalam kehidupan pertamanya saat Sandaime meninggal. Hatinya seakan mengingatkan kalau setelah Naruto mati pun, ia akan kembali ke usia 10 tahun dan di sana Sandaime akan hidup lagi. Ini berlaku kepada seluruh orang terdekatnya yang mati, Asuma, Jiraiya, dan lain-lain. Naruto merasa hidupnya tidak berharga, bagaikan ilusi.

Naruto memandang tulisan angka 18 di telapak tangan kirinya. Ini baru loop ke-18, jika loop terus terjadi, bisa saja dalam loop ke-50 nanti ia sudah sepenuhnya kebal pada rasa sedih. Ia tak akan bisa merasakan lagi kesedihan. Kematian orang tak akan berarti lagi baginya.

Lalu bagaimana keadaan Naruto pada loop ke-100? 1000? Mungkin hati Naruto akan benar-benar beku saking seringnya mengulangi kejadian yang sama. 

“Aku pulang, Hime,” kata Naruto saat sampai di apartemennya. Seperti biasa ia akan menyapa lukisan besar di ruangan tengah. Gambar di lukisan tersebut adalah gambar keluarganya di kehidupan pertama, sebelum rangkaian loop ini terjadi. Di sana ada istrinya Hinata yang selalu ia panggil Hime, dan dua anaknya, Yuki dan Ame. Kali ini ia diam agak lama di hadapan lukisan tersebut. Dipandangnya sosok Hinata di sana. “Kenapa tadi kau mencegahku?” tanyanya.

Naruto diam lagi. Dirinya seperti sedang menunggu sebuah jawaban. Tentu saja tak akan ada yang menjawab.

“Ah sudahlah. Sekarang, kita akan makan malam. Aku lelah jadi kita makan malam dengan ramen instan saja malam ini.”

Pandangan Naruto beralih ke dua sosok lain di lukisan tersebut.

“Hmm? Oh, maaf Yuki, Ame, aku melupakan kalian. Aku akan membuatkan kalian makan malam juga.”

Yuki adalah anak perempuan Naruto yang dalam lukisan berambut pirang panjang, sedangkan Ame adalah anak laki-laki Naruto yang berambut indigo pendek. Kedua anak Naruto diberi nama sesuai waktu kelahiran mereka. Yuki lahir di saat musim salju sedangkan Ame saat musim hujan 3 tahun kemudian. Penamaan yang sangat sederhana tapi Hinata tak keberatan dengan itu.

Sepuluh menit kemudian, 4 cup ramen instan sudah siap di atas meja makan.

“Selamat makan,” seru Naruto. Ia makan dengan lahap. Tapi lama-kelamaan kecepatan makan Naruto melambat dan kemudian berhenti. Disimpannya cup ramen di atas meja. Kenyataan seperti menghantamnya.

‘Kenapa aku menyeduh 4 porsi? Kenapa aku bicara sendiri?’ pikirnya.

Naruto mengusap wajahnya. Ini tidak baik. Beban di kepala Naruto sudah semakin berat hingga ia terus membayangkan keluarganya di masa lalu. Kenangan di loop-loop sebelumnya bercampur dengan kenyataan masa kini. Naruto bisa gila kalau terus begini.

“Sial!”

BRAK!

Naruto membanting meja makan hingga semua yang ada di atasnya terlempar. Cup ramen beserta isinya terlempar ke segala arah, sementara noda kuah menempel di dinding, lantai, dan perabot lainnya yang ada di dapur. Naruto berjalan menuju wastafel sambil memegang kepalanya. Air dari kran ia basuhkan ke wajahnya berulangkali. Dinginnya air malam itu membuat pikirannya agak tenang.

“Tolong lupakan aku.”

Mungkin benar perkataan Hinata dewasa, Naruto harus berusaha melupakannya sedikit demi sedikit. Kepalanya sudah semakin penuh dengan ingatan-ingatan selama ribuan tahun. Ia bisa gila kalau tak bisa mengaturnya dengan baik. Naruto harus menerima kenyataan kalau Hinata di lukisan itu sudah mati. Mengenang saja boleh, tapi tidak sampai mengajak bicara sebuah lukisan.

Naruto kembali ke ruangan tengah dan langsung menurunkan lukisan keluarganya. Disimpannya lukisan itu di dekat tumpukan buku dengan posisi gambar menghadap ke bawah.

Naruto melepas bajunya lalu melemparnya sembarangan. Setelah itu ia menjatuhkan dirinya di kasur, tak peduli pada ruangan sebelah yang berantakan. Ia akan membereskannya besok.

‘Aku perlu istirahat,’ batinnya.

Pasca invasi Orochimaru, penduduk Konoha sibuk menata kembali rumah mereka yang hancur. Sementara itu para ninja mengobati luka mereka di rumah sakit. Hiashi juga pergi ke rumah sakit, bukan untuk berobat, tapi untuk menemui Hinata.

Luka tusukan di dada Hinata parah sehingga ia harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Dokter mengatakan kalau kunai Naruto menembus ke sela tulang rusuk dan menuju jantung, 1 cm saja di atas jantung Hinata. Dokter bilang itu suatu keajaiban. Satu senti lebih bawah saja, maka nyawa Hinata tak akan tertolong.

Pagi itu Hinata sedang duduk melamun di tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela. Saat Hiashi duduk di tempat tidurnya, barulah Hinata sadar.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja. Aku sudah sehat, tapi dokter bilang aku harus dirawat di sini 2 hari lagi agar dia bisa memantau keadaanku.”

Hiashi terlihat lega. Masalahnya saat pertama masuk rumah sakit, Hinata sempat kritis. Setelah siuman pun Hinata malah terlihat sering menangis. Alasannya sudah pasti karena Naruto. Hari ini tepat seminggu Hinata dirawat di rumah sakit. Ia sudah jarang menangis lagi. Ia berusaha untuk kuat. Selama ini Hiashi datang setiap hari menemui Hinata. Belakangan ini ia memang sudah tak malu memperlihatkan perhatiannya kepada Hinata. Apalagi setelah final ujian chuunin. Mungkin ia sadar kalau Hinata begitu berarti baginya.

Hiashi memperhatikan putrinya yang kembali menatap ke luar jendela.

“Tinggalkan dia,” kata Hiashi.

Hinata diam, tak menjawab.

“Dia hampir membunuhmu,” lanjut Hiashi. “Dia melukai dadamu, 1 cm saja dari jantungmu. Aku tak yakin dia memperhitungkan itu. Pasti kemarin dia berniat ingin membunuhmu, tapi kau beruntung bisa selamat.”

Lama Hinata tak menjawab. Sebenarnya setelah rasa sedihnya hilang, Hinata sudah berulangkali memikirkan hal tersebut. Nyawanya nyaris hilang oleh Naruto. Entah kenapa Hinata yakin kalau Naruto sudah memperhitungkan serangannya. Ini memang tidak logis bagi seorang genin. Umumnya, genin seperti Naruto tak mungkin bisa mengukur jarak tusukkan agar tidak mengenai jantung. Tapi Hinata justru yakin Naruto lebih hebat dari anggapan orang-orang sehingga ia tak ragu menusuk dada Hinata tanpa takut mengenai jantungnya. Dalam final ujian chuunin Naruto hanya berniat menggertaknya dengan menusuk dada Hinata, berharap Hinata akan menyerah di saat-saat terakhir. Jika memang Naruto berniat membunuh, seharusnya ia menusuk kepala Hinata, tidak membelokkan serangannya ke dada.

Terlepas dari luka-luka yang disebabkan Naruto padanya, Hinata ingin percaya pada keyakinannya sendiri kalau Naruto tidak benar-benar ingin membunuhnya.

Hinata akhirnya menggeleng. “Aku akan mencobanya sekali lagi.”

Hiashi menghela napas pasrah.

Hinata memandang ke luar jendela lagi. Banyak hal dari Naruto yang akhir-akhir ini tak ia mengerti.

Pertama adalah perkataannya di ujian chuunin, “Kupikir kau akan menghiburku di masa ini.” Apa yang dimaksud ‘masa ini’?

Kedua adalah sikap Naruto saat pertarungan berakhir. Hinata memegang pipi kiri dan bibirnya yang kemarin dibelai Naruto. Apa maksud Naruto melakukannya?

Sepeninggalnya Sandaime, Jiraiya jadi kandidat terkuat untuk jadi pemimpin baru Konoha. Sayangnya Jiraiya menolaknya dan menawarkan diri untuk mencari Tsunade, berharap teman lamanya itu mau jadi Hokage Ke-5.

Dalam masa ini Jiraiya tidak mengajak Naruto karena ia tahu kalau Naruto sudah tumbuh jadi ninja yang hebat. Ia tak perlu melatihnya lagi. Awalnya ia juga kaget saat beberapa penduduk bilang Naruto mengalami peningkatan kekuatan yang pesat. Jiraiya pun menolak tawaran Homura dan Koharu untuk ditemani oleh 3 ANBU. Jiraiya bilang ANBU-ANBU itu malah akan menghalanginya. Keputusan Jiraiya untuk tidak membawa Naruto justru membuat Tsunade menolak untuk jadi Hokage. Terpaksa Jiraiya jadi Hokage Ke-5 dan menggunakan kekuasaannya untuk membawa Tsunade pulang.

“Jika kau masih punya sisi kemanusiaan, ikutlah denganku ke Konoha. Kami perlu kemampuan medismu. Ini perintah pertamaku, sebagai Hokage ke-5,” kata Jiraiya.

Mendengar kalimat Jiraiya, Tsunade tersenyum. Ia tak menyangka orang yang sering ia ejek di masa lalu telah jadi Hokage. “Sebelum itu, beri aku waktu seminggu di sini, Hokage-sama.

Jiraiya menyetujui.

Di hari yang dijanjikan Orochimaru, Tsunade menemuinya dan menolak permintaannya. Tsunade tak terlalu bodoh untuk percaya pada tipuan Orochimaru. Orochimaru bohong saat bilang tak akan menghancurkan Konoha. Sudah pasti ia akan menyerang Konoha lagi kalau tangannya disembuhkan saat itu. Di saat yang bersamaan Jiraiya juga datang membantu karena curiga pada gerak-gerik Tsunade. Orochimaru melarikan diri karena tak mungkin menang. Selanjutnya Tsunade pulang ke Konoha bersama Jiraiya.

Sesampainya di Konoha, Tsunade menepati janjinya untuk memeriksa orang-orang yang terluka sedangkan Jiraiya sibuk sebagai Hokage. Ada banyak yang harus diurus mulai dari pelantikan dirinya sebagai Hokage Ke-5, sampai pemulihan kekuatan Konoha pasca invasi agar bisa kembali seperti semula. Jiraiya nampaknya harus membiasakan dirinya dengan pekerjaan Hokage yang banyak. Sejujurnya ia butuh orang lain untuk membantu meringankan pekerjaannya.

“Kau harus mempertimbangkan untuk tinggal di sini. Aku butuh partner. Konoha juga butuh ninja medis yang handal sepertimu,” bujuk Jiraiya kepada Tsunade di sela kerjanya memeriksa dokumen.

“Sampai saat ini aku belum tertarik untuk tinggal lebih lama di sini,” jawab Tsunade cuek.

Jiraiya mendengus kesal. Lagi-lagi bujukannya gagal.

“Permisi,” kata seorang ANBU. Jiraiya dan Tsunade menoleh.

“Ada apa?” tanya Jiraiya.

“Aku ingin menyampaikan hal penting. Ini berkaitan dengan Sandaime dan Naruto,” kata sang ANBU. Jiraiya langsung tertarik dibuatnya.

“Lanjutkan,” kata Jiraiya.

ANBU tersebut maju ke dekat meja Jiraiya. “Selama 4 tahun terakhir Sandaime memerintahkanku untuk mengamati Naruto. Ia diawasi karena sejak dia di akademi, ia menunjukkan peningkatan kekuatan yang tak wajar. Sikapnya juga berubah drastis. Ini laporan pengamatan terbaruku.” Jiraiya mengambil laporan yang diberikan ANBU. “Kejadiannya terjadi saat final ujian chuunin, saat Anda tak ada di desa.”

Karena terlalu malas membaca keseluruhan laporan, Jiraiya hanya membaca kesimpulannya saja.

“Naruto menggunakan Rasengan dan Senjutsu dalam final ujian chuunin?!” tanya Jiraiya kaget. “Orang-orang bilang Naruto tampil hebat di sana, tapi tak ada yang bilang padaku kalau dia menggunakan 2 jurus itu!”

“Ya. Apa Anda yang mengajarkannya?” tanya ANBU balik bertanya.

“Tidak. Aku bahkan belum bertemu dengannya selama 4 tahun ini.”

‘Ini sungguh aneh. Kalau Naruto bisa menggunakan 2 jurus itu, sudah pasti ada yang mengajarkannya, atau dia belajar sendiri?’ pikir Jiraiya.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Jiraiya kepada Tsunade. Tsunade tahu apa yang membuat Jiraiya kaget. Rasengan dan Senjutsu adalah jurus tingkat atas yang mustahil dikuasai anak seumur Naruto. Ia mengambil laporan di tangan Jiraiya. Pandangannya tertuju pada kalimat yang mengatakan kalau penyembuhan luka Naruto sangat cepat. Ia bisa sembuh dari luka Jūho Sōshiken dalam hitungan detik.

“Data ini tidak cukup untuk dianalisa,” jawab Tsunade. “Hei kau, siapa namamu?” tanya Tsunade kepada sang ANBU.

“Aku dipanggil dengan code name Kinoe,” jawab sang ANBU.

“Kau mantan bawahan Danzou?” tanya Jiraiya. Ia pernah mendengar ada anggota root yang keluar bernama Kinoe. Kinoe mengangguk.

“Aku benci orang tua itu,” kata Tsunade blak-blakan. “Mulai sekarang aku akan memberimu code name baru, yaitu Yamato. Kami membutuhkan semua hasil pengamatanmu, Yamato.”

Jiraiya menatap Tsunade dan bertanya “Sudah menemukan hal yang menarik di Konoha?”

“Mungkin,” jawab Tsunade sambil meninggalkan ruangan Jiraiya.

Jiraiya tersenyum. Kasus ini telah memancing rasa tertarik Tsunade. Jiraiya pun merasakan ketertarikan yang sama. Mungkin ini akan menjawab pertanyaan kenapa Naruto bisa kuat tanpa dilatih olehnya.

“Aku ambil alih tanggung jawab misi rahasia milik Sandaime ini. Aku ingin semua datanya ada di mejaku besok pagi.”

“Baik, Hokage-sama.”

To Be Continue…

© rifuki

The Infinite Loops – Chapter 1
The Infinite Loops – Chapter 2
The Infinite Loops – Chapter 3
The Infinite Loops – Chapter 4
The Infinite Loops – Chapter 5
The Infinite Loops – Chapter 6
The Infinite Loops – Chapter 7
The Infinite Loops – Chapter 8 (End)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.