The Infinite Loops – Chapter 2
Sebelumnya dalam The Infinite Loops:
‘Time looping lagi rupanya,’ batin Naruto. Naruto menulis angka 18 di telapak tangan kirinya.
“Ini peringatan untukmu, Hyuuga. Jangan pernah membuntutiku lagi dan jangan pernah berusaha untuk dekat denganku lagi,” bisik Naruto dingin.
Tanpa Naruto ketahui, sikap kasarnya kepada Hinata telah memicu obsesi Hinata pada kekuatan.
“Namaku Hyuuga Hinata. Aku ingin jadi ninja karena ingin jadi Hokage suatu hari nanti,” kata Hinata semangat.
Perkelahian Naruto dan Hinata awalnya hanya sebuah sparring. Entah siapa yang mulai, setelah itu serangan-serangan yang mereka lancarkan jadi semakin keras dan ujung-ujungnya jadi berkelahi.
BUAAKHH!
Hinata memberondongi Naruto dengan pukulan di wajah.
“Aku benci padamu! Siapa kau sebenarnya? Aku tak mengenalmu. K-kau bukan Naruto-kun yang kukenal! Kembalikan Naruto-kun-ku yang dulu! Kau kemanakan Naruto-kun-ku?” tanya Hinata sambil terisak pilu.
“Naruto yang kau kenal sudah mati.”
Chapter 2
“Rival”
“Apa yang ada di pikiran kalian? Aku menyuruh kalian untuk sparring, bukan berkelahi,” kata Kurenai kepada Naruto dan Hinata. Nada kekesalan jelas sekali terdengar dari kata-katanya. Dua orang yang ditanya Kurenai tak menjawab. Naruto terlihat cuek seperti biasa, sedangkan Hinata merasa bersalah karena tak bisa menahan emosinya.
Sementara itu pandangan Kakashi tak lepas dari muridnya, Naruto.
“Ehem,” dehem Kakashi, meminta perhatian dua orang yang sedang diinterogasi Kurenai.
Ia harus memperingatkan Naruto atas tingkahnya yang makin seenaknya. Siapa pun yang memulai perkelahian, memukuli seorang Hyuuga di luar pertandingan resmi adalah suatu kesalahan. Hyuuga adalah salah satu klan tertua dan terhormat di seantero Konoha. Apalagi yang dipukuli adalah seorang perempuan.
“Jika Sandaime tahu masalah ini, dia bisa mencabut gelar genin-mu Naruto,” jelas Kakashi. Kakashi memegang protektor milik Naruto dan mengangkatnya ke arah Naruto. Tadi protektor itu terjatuh ke tanah saat Naruto dipukuli Hinata. “Sekarang keputusannya ada padamu. Jika kau masih ingin jadi ninja, ambil protektor ini dan jangan berkelahi dengan teman sendiri di luar pertandingan resmi. Tapi jika kau tak ingin jadi ninja, aku akan kembalikan protektor ini kepada Sandaime.”
Dengan langkah malas Naruto mengambil protektor itu lalu pergi tanpa pamit.
“Nah, ayo kita lanjutkan latihan,” ajak Kakashi untuk mengalihkan perhatian.
“Bagaimana dengan Naruto, guru?” tanya Sakura polos.
Kakashi tersenyum di balik maskernya. “Tidak apa-apa, jangan pikirkan Naruto. Dia lebih suka latihan sendiri.”
Hinata memandang Naruto di kejauhan. Hal yang sama dilakukan oleh Kakashi.
“Guru Kakashi, kau tahu ada sesuatu yang terjadi dengan Naruto, ‘kan?” tanya Hinata.
Kakashi terkejut Hinata bertanya demikian. Ia bertukar pandangan dengan Kurenai. Kurenai menatap Kakashi seolah bilang ‘sudah kubilang, dia tahu’. Kakashi kembali menatap Hinata, ditatapnya dua bola mata lavender yang penuh kesungguhan tersebut. Kelihatannya ia harus bicara dengan gadis ini.
“Sakura, Sasuke, bersiap di sana,” perintah Kakashi sambil menunjuk lapangan berlatih. “Aku ingin bicara dulu dengan Hinata sebentar.”
Sakura dan Sasuke menurut. Sementara Kurenai mengajak kedua murid lainnya ke sisi lain lapangan berlatih.
“Kau tahu ada yang berbeda dengan Naruto?” tanya Kakashi kepada Hinata saat mereka sudah ditinggal berdua.
“Ya, aku sudah sadar hal ini dari 3 tahun lalu.”
Kakashi lalu bertanya lagi, “Sejak kapan tepatnya? Dan apa perubahan yang paling kau rasakan?”
Hinata menyimpan baik-baik momen tersebut dalam otaknya sehingga mudah baginya untuk mengingatnya kembali.
“Aku pertama merasakan perubahan Naruto saat kami masih di akademi. Suatu hari ketika kami sedang belajar, Naruto disuruh maju ke depan kelas oleh Guru Iruka untuk mengerjakan soal teori ninja. Saat itulah ia berubah secara tiba-tiba. Dia jadi pintar dalam hal teori ninja. Aku tahu dia masih Naruto, tapi dalam waktu bersamaan aku merasakan ada yang berbeda dengan tatapan matanya. Dia seperti orang dewasa yang sedang menyimpan masalah berat. Lalu yang paling kurasakan adalah…” Ada jeda saat Hinata mengatakannya. Ini hal yang membuatnya sakit hati. “Dia menyuruhku untuk menjauhinya. Dia berubah jadi membenciku, yang membuatku lebih sakit hati adalah dia hanya membenciku sementara ia bersikap biasa kepada murid yang lain.”
“Aku mengerti,” kata Kakashi. Kakashi tak ingin membuat Hinata makin sedih. Ia sudah mendapatkan informasi yang ia inginkan. Hinata adalah satu-satunya orang di rookie 9 yang tahu sedetail ini, sementara yang lainnya hanya menganggap Naruto sekedar ingin mengubah kebiasaannya. Apa yang dikatakan Hinata sama dengan yang diceritakan Iruka dan Kurenai. “Apa kau masih menyayanginya?”
Hinata menunduk ditanya seperti itu. Jika Kakashi bilang ‘masih’, itu artinya Kakashi sudah tahu kalau sejak dulu Hinata menyukai Naruto. Sejelas itukah rasa sukanya kepada Naruto? Hinata berpikir meskipun Naruto yang sekarang tak lagi seperti dulu, meskipun Naruto yang sekarang sering bertindak kasar padanya, meskipun Naruto sendiri bilang kalau ‘Naruto yang dulu sudah mati’, di lubuk hati yang paling dalam Hinata yakin dia masih ‘Naruto’ dan Hinata masih menyayanginya.
Hinata mengangguk pelan.
Kakashi tersenyum. Perubahan sikap Naruto memang telah membuat Hinata sedih, tapi ternyata tetap tak menghilangkan rasa sayang Hinata kepada Naruto.
“Baiklah. Dengar baik-baik, Hinata.” Kakashi memegang pundak Hinata. “Kami sudah sadar ada perubahan di diri Naruto sejak 3 tahun lalu, sama sepertimu. Sandaime sudah mengadakan pertemuan untuk membahas ini. Sayangnya, Naruto tak mau bicara setiap kami tanya apa yang terjadi. Bahkan pernah Sandaime turun langsung untuk bertanya, hasilnya tetap nihil. Akhirnya diputuskan kalau Naruto akan diawasi ANBU. Ini sudah tahun ke-2 ia diawasi seorang ANBU. Tentu kau penasaran kenapa kami bertindak sejauh ini hanya untuk seorang genin, ‘kan?”
“Kenapa, guru?” tanya Hinata.
“Sandaime sudah memberiku izin untuk memberitahumu rahasia besar ini jadi aku mohon jangan sia-siakan kepercayaannya.”
Hinata mengangguk.
“Naruto adalah anak dari Yondaime Hokage.”
Hinata kaget. Orang yang disukainya adalah anak seorang Hokage?! Namun kemudian saat Hinata berusaha menenangkan dirinya. Ia mulai sadar kalau Naruto dan Minato punya banyak kesamaan dalam hal fisik, terutama warna rambut.
“Yondaime menitipkan Naruto kepada Sandaime sehingga ia punya tanggung jawab atas Naruto. Selama ini kami tak melihat perubahan Naruto ke arah yang mencurigakan, selain perubahan sikapnya yang jadi cuek. Kau lihat sendiri dia menolak untuk latihan bersama. Selama dia tidak macam-macam maka akan kubiarkan. Biasanya dia akan tiduran di bukit Hokage siang-siang seperti ini.”
Hinata mengaktifkan byakugan-nya lalu diarahkan ke arah kepergian Naruto. Ternyata benar ia memang sedang berjalan ke arah bukit Hokage.
“Jika benar kau menyayangi Naruto, bantu kami mengawasinya. Syukur-syukur kau bisa membantu kami menggali informasi tentang apa sebenarnya yang terjadi pada Naruto,” lanjut Kakashi.
“Tanpa diminta pun aku akan melakukannya,” ujar Hinata sambil tersenyum ramah.
Kakashi ikut tersenyum. “Baiklah, cepat kembali berlatih bersama timmu.”
Hari itu Naruto tidur seharian di bukit Hokage. Ia baru pulang menjelang matahari tenggelam.
Sepulangnya ia ke apartemen, Naruto disambut oleh harum aroma jeruk sebagai pengharum ruangan. Lantai apartemen terlihat mengkilap karena tadi pagi sudah dipel. Apartemennya kini dipenuhi barang-barang yang semuanya tertata dengan rapi. Balkon depan dihiasi berbagai tanaman hijau. Lima tumpuk kertas ada di atas meja di sudut ruangan tengah. Tak jauh dari sana ada dua rak yang penuh dengan buku. Di sudut lain ruangan tengah, ada kanvas, palet, standar, dan berbagai jenis cat. Di kanvas yang sedang tertempel di standar, ada lukisan yang baru selesai 80%. Sementara di dinding ada puluhan lukisan yang sudah selesai dalam berbagai ukuran.
Satu lukisan terbesar dan berada di tengah semua lukisan itu adalah sebuah lukisan wanita dewasa yang sangat mirip sekali dengan Hinata. Di sampingnya ada seorang anak perempuan yang berumur sekitar 20 tahunan sedangkan di sisi lainnya ada anak laki-laki yang lebih muda, usianya sekitar 17 tahun. Naruto menatap lukisan itu lama. Raut wajahnya tak bisa ditebak. Pikirannya seperti terhanyut ke ingatan masa lalu yang sudah sangat lama.
Bunyi perut keroncongan menyadarkan Naruto dari pemikirannya. Naruto melangkah ke ruang dapur yang tak kalah bersih dari ruang tengah. Tak ada sedikit pun sampah yang ada di sana seperti 3 tahun lalu. Saat ia membuka lemari penyimpanan, bukan lagi ramen yang mendominasi di sana, melainkan bahan makanan seperti daging, ikan, telur, sayuran, dan berbagai jenis makanan sehat lainnya. Naruto menghabiskan waktu 30 menit untuk makan malam dengan masakan sendiri. Steak dan tumis berbagai sayuran segar jadi menu makan malamnya hari ini.
Setelah selesai makan, Naruto duduk di depan standar dan melanjutkan lukisannya yang belum selesai. Coretan-coretan cat minyak disapukannya ke kanvas tanpa ragu. Ia sudah seperti pelukis profesional. Beberapa kali ia merenggut kesal karena keberadaan ANBU di luar sana mengganggu konsentrasinya. ANBU itu berpikir Naruto tak mendeteksi keberadaannya. Padahal Naruto tahu hingga ke setiap tarikan napas yang dihisap ANBU itu. Naruto ingin lukisannya segera selesai karena ia berencana menjualnya besok.
Setelah lukisan selesai, Naruto menyimpan telunjuknya di dagu untuk memastikan lukisannya sempurna. ‘Sip! Lukisan ke-18.416-ku selesai,’ katanya dalam hati. Selesainya lukisan bertepatan dengan jam tidur sehingga Naruto langsung tidur.
Pagi sarapan, siang menjalankan misi atau latihan dengan tim 7 (kalau sedang mood), makan siang, melihat awan di bukit Hokage sampai tertidur, makan malam, lalu melukis. Itu adalah keseharian Uzumaki Naruto yang sekarang.
Tiga tahun ini aparteman Naruto telah menjelma dari yang asalnya seperti kapal pecah jadi seperti museum seni. Hobi melukis Naruto muncul 1600 tahun yang lalu atau saat loop ke-3. Saat itu ia sadar barang-barang dalam kehidupan sebelumnya tak bisa ikut bersamanya, termasuk foto. Maka Naruto menjadikan lukisan sebagai media untuk mengenang orang-orang yang ia sayangi. Ingatan orang-orang tersayangnya ia tuangkan dari ingatan ke dalam kanvas. Orang yang tak berbakat melukis pun jika terlatih selama ribuan tahun maka akan jadi seperti seorang pelukis profesional.
Naruto rata-rata bisa hidup sampai umur 110 tahun per masa hidup dikarenakan ia keturunan Uzumaki yang terkenal berumur panjang. Ini adalah loop-nya yang ke-18. Itu artinya Naruto sudah mati 18 kali dan sudah hidup sekitar 1980 tahun. Lukisan yang selalu Naruto buat di setiap loop adalah lukisan wanita dewasa dengan 2 anak. Mereka adalah sosok 3 orang yang hidup di kehidupannya yang pertama sebelum rangkaian loop ini terjadi tanpa henti.
Saking seringnya melukis, apartemen kecilnya tak bisa menampung lukisan lagi. Naruto sering menjual hasil lukisannya sekaligus untuk menambah tabungannya. Terkadang ia juga menulis novel untuk mengusir kebosanan. Khusus untuk menulis, itu adalah hal yang baru ditekuni Naruto 200 tahun yang lalu.
Naruto selalu memberi inisial NR di setiap karyanya, baik itu lukisan maupun novel. Saat menjualnya ke toko seni, Naruto akan menutup wajahnya dengan topeng dan memakai jubah hitam agar tak dikenali si penjual. Waktu yang dipakai untuk menjual karyanya adalah antara jam 6 pagi sampai jam 12 siang. Pada jam itu ANBU yang membuntutinya pulang, mengira pada jam itu Naruto lebih banyak menghabiskan waktu dengan tim 7 dan tak akan macam-macam.
Pagi pun menjelang.
Tok tok tok!
Naruto mengetuk pintu belakang toko seni tepat jam 6 pagi. Si penjual membukakan pintu dan menyambut Naruto dengan ramah. Ia sudah terbiasa didatangi Naruto sepagi ini selama 3 tahun terakhir.
Ini lukisan ke-18.416-nya dihitung dari pertama kali Naruto melukis 1600 tahun lalu, tapi baru jadi lukisan ke-48 yang dijualnya di masa hidupnya yang sekarang. Transaksi tak berlangsung lama. Naruto mendapatkan uang yang terbilang mahal untuk satu lukisan saja. Maklum saja, lukisannya bagus dan banyak yang tertarik.
“Terima kasih banyak. Aku yakin banyak pembeli yang tertarik dengan yang satu ini,” kata penjual sambil memperhatikan lukisan abstrak Naruto.
Naruto mengangguk. “Apa tema yang sedang banyak permintaan bulan ini?” tanyanya.
“Yang banyak permintaan saat ini adalah lukisan bertema musim dingin. Kau bisa membuatnya?”
“Gampang,” jawab Naruto.
“Errr, sebenarnya ada satu lagi yang sedang banyak permintaan, yaitu lukisan wajah/portrait.”
Naruto tersenyum dalam topengnya. “Melukis portrait sangat mudah bagiku. Tapi kau tahu sendiri lukisan seperti itu mewajibkanku untuk diam lama bersama pembeli untuk memperhatikan wajahnya. Sedangkan aku tak ingin berlama-lama menunjukkan jati diriku.”
“Kenapa kau tak ingin orang lain tahu siapa dirimu? Bukankah kau bisa terkenal dengan karyamu ini?” tanya penjual, tak habis pikir dengan sikap Naruto yang menyembunyikan identitasnya selama 3 tahun mereka bekerja sama.
“Aku tidak butuh popularitas. Aku hanya melukis di waktu luang dan menjualnya karena dinding apartemenku sudah terlalu penuh dengan lukisan.”
“Ahaha, maaf-maaf. Baiklah tidak apa-apa,” kata penjual. Ia tak mau membuat ‘NR’ kehilangan minat untuk menjual lukisan lagi kepadanya. Lukisan berinisial NR itu selalu ditawar dengan harga yang tinggi. Tak jarang ada sejumlah kolektor yang kebetulan menawar secara bersamaan sehingga si penjual akan melelang dengan harga tertinggi.
“Aku pergi. Jika lukisan bertema musim dingin sudah selesai aku akan datang lagi,” pamit Naruto.
“Aku tunggu, NR,” kata penjual itu sambil membungkuk hormat.
Hari ini Naruto berniat untuk menjalankan misi dengan tim-7. Misi kali ini adalah misi ke Nami no Kuni. Naruto sudah hapal seluk beluk misi ini sampai ke detail serangan apa yang akan dilancarkan musuh. Bukannya Naruto tak bosan, tentu saja ia bosan. Misi ini sudah ia lakukan belasan kali. Hanya saja diam diri di apartemen dan tiduran di bukit lebih membosankan.
“Kalian lama,” keluh Naruto sambil bersandar di pohon dekat gerbang utama desa Konoha.
“Eh? Kupikir kau tak akan ikut dalam misi ini,” ujar Sakura.
“Kupikir kau tak punya keberanian untuk ikut dalam misi tingkat C pertama kita,” kata Sasuke, dengan nada meremehkan.
Naruto tersenyum santai lalu berjalan paling depan. Sasuke memang tak pernah berubah meskipun Naruto sudah pernah mengalahkannya. Sasuke selalu tak ingin kalah. “Aku takut kau akan kencing di celana jika tak kubantu,” kata Naruto.
“Apa!?” Seorang Sasuke yang kalem pun akan terpancing emosi jika dihina seperti itu.
“Sudahlah, Naruto, Sasuke, bukankah lebih baik kalau tim kita lengkap?” ujar Kakashi menenangkan sambil menahan pundak Sasuke.
“Ck!”
Kakashi lalu beralih menatap Naruto. “Kau juga Naruto, jika berniat ingin ikut misi, seharusnya kau ikut dalam pertemuan awal dengan Hokage sehingga kau bisa langsung dicatat dalam laporan peserta misi. Apalagi ini misi ke luar desa.”
“Bukankah namaku bisa ditulis saat kita pulang?” tanya Naruto tanpa menoleh. Ia masih saja berjalan paling depan.
Kakashi tak menyangka Naruto tahu kalau peserta misi bisa ditambahkan di laporan pada saat misi selesai. Padahal ini misi pertamanya ke luar desa. “Iya tapi itu prosedur darurat. Setiap misi ke luar desa, pesertanya harus dicatat di awal agar jika terjadi sesuatu akan mudah mengarsipkannya.”
“Yayaya,” jawab Naruto sekenanya.
Tazuna, si pembuat jembatan, hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ninja-ninja yang akan mengawalnya. Ia kemudian menegak araknya. Ia tak yakin pada kemampuan mereka, namun kelihatannya ia harus menarik kembali kata-katanya. Ninja-ninja yang mengawalnya bisa diandalkan. Naruto yang terlihat cuek pun ternyata kuat.
Dalam misi ini Naruto sebenarnya tak berbuat banyak. Ia hanya akan turun tangan jika kondisinya sedang mendesak. Ia lebih banyak menggoda Sasuke dan Sakura. Di saat mereka berdua berlatih menaiki pohon dengan memusatkan chakra di kaki pun, Naruto memilih untuk memperhatikan dari jauh. Tak tertarik untuk menaiki pohon meskipun dicap bodoh dan pemalas oleh Sasuke.
Haku dan Zabuza tetap mati di masa yang sekarang. Naruto tak ingin menyelamatkan mereka, karena setelah ia pelajari, kehidupan itu harus selalu seimbang. Saat ada satu orang yang diselamatkan, maka akan ada orang lain yang mati untuk menggantikan orang tersebut. Naruto tak mau di kemudian hari ada orang lain yang mati untuk menggantikan Zabuza dan Haku demi menyeimbangkan dunia.
Misi berjalan sukses dan Naruto mendapatkan bukti pelaksanaan misi. Bukti itu dibutuhkan untuk syarat mengikuti ujian chuunin. Itulah hal kedua yang diincar Naruto, selain menghilangkan rasa bosan tentunya. Setelah misi dari Nami no Kuni, tim 7 direkomendasikan oleh Kakashi untuk mengikuti ujian Chuunin. Kurenai dan Asuma melakukan hal yang sama untuk murid-murid mereka.
“Heahhh!”
“Gh!”
Keringat mengalir dari pelipis Ko. Ia tersudut ke ujung pagar halaman belakang Hyuuga Mansion. Telapak tangan majikannya, Hinata, ada tepat di depan wajahnya.
“Kurasa ini cukup, Hinata-sama, sudah malam. Seandainya chakra disertakan di telapak tangan Anda tadi, pasti aku sudah mati,” ujar Ko.
Hinata terkekeh sambil mengulurkan tangannya ke arah Ko untuk membantunya berdiri. Kemudian Hinata duduk di tepi teras belakang rumah diikuti Ko. Keduanya menegak segelas air untuk menghilangkan rasa lelah mereka. Sudah 3 jam mereka berlatih. Sekarang hampir tengah malam dan keadaan mansion sudah sepi. Sepertinya seisi mansion sudah tidur, kecuali Hinata, Ko, dan penjaga malam.
Hinata dan Ko berusaha mengatur napas mereka yang tak beraturan. Saat napas mereka mulai teratur lagi, Ko memulai pembicaraan.
“Sampai kapan Anda akan melakukan ini?” tanya Ko. “Anda sudah jauh lebih kuat. Saya bahkan sudah kalah beruntun dalam 4 hari terakhir ini.”
Hinata menyimpan gelasnya yang sudah kosong lalu memandang langit malam yang penuh dengan bintang. Memang benar dirinya sudah lebih kuat. Bukan Ko saja yang mengatakan hal ini. Kurenai juga sering mengatakan hal yang sama. Tapi Hinata tahu ini belum cukup. Ini belum jadi batas kemampuan tertingginya.
“Ini belum cukup untuk mengalahkan dia, Ko,” gumam Hinata.
Ko tahu siapa ‘dia’ yang dimaksud majikannya. ‘Dia’ adalah Naruto. Sosok yang selalu dijadikan target yang harus dilampaui oleh Hinata.
Ko menghela napas pelan. Terkadang majikannya memang sangat keras kepala. Sudah berulang kali ia bilang kalau Naruto itu lawan yang hebat. Sulit untuk mengejar hingga kemampuan Hinata bisa melebihi, atau minimal setara dengan Naruto. Tapi melihat kerja keras Hinata selama ini Ko jadi punya harapan kalau Hinata bisa mengalahkan Naruto suatu hari nanti.
Plok plok plok!
Terdengar suara tepuk tangan dari belakang mereka. Suara tepuk tangan itu tak lain datang dari ayah Hinata, Hyuuga Hiashi. Ia datang diikuti oleh adik Hinata, Hyuuga Hanabi di belakangnya.
Hinata dan Ko langsung panik seketika. Mereka berdua mengira Hiashi dan Hanabi sudah tidur.
“Maaf ayah, aku tak bermaksud untuk melanggar jam malam,“ kata Hinata panik.
“Tidak! Ini kesalahan saya, Hiashi-sama. Seharusnya saya tak mengizinkan Hinata-sama berlatih. Saya yang bertanggung jawab atas pelanggaran ini,” kata Ko sambil bersujud di hadapan Hiashi.
Hiashi tersenyum tipis.
“Bangunlah, Ko.” Ia kemudian memerintahkan kepada Hinata dan Ko untuk kembali duduk di tempat duduk mereka tadi. “Aku sudah memperhatikan latihan kalian dari kemarin. Terlepas dari pelanggaran jam malam yang kalian lakukan, aku terkesan melihat perkembangan kekuatanmu, Hinata,” kata Hiashi.
Rasanya Hinata ingin menangis saat itu juga. Ini pertama kalinya ayahnya memuji kehebatannya. “A-ayah tidak marah?” tanya Hinata tak percaya.
“Kenapa aku harus marah? Aku bangga putriku mau berusaha jadi lebih kuat.”
“Terima kasih,” kata Hinata terharu.
Hiashi kembali tersenyum tipis. Ia memang tak pernah berlebihan dalam memperlihatkan ekspresinya. Namun bagi Hinata, melihat ayahnya yang biasanya bersikap datar, kini tersenyum tipis adalah suatu hal yang tak terkira senangnya. Apalagi senyuman itu ditujukan padanya.
“Nee-san, kelihatannya kau belum puas berlatih. Bagaimana kalau kita biarkan Ko istirahat. Lalu kau melawan aku dan ayah sekaligus. Kau setuju, ayah?” tanya Hanabi.
Hiashi sebenarnya enggan karena ini sudah hampir tengah malam. Tapi melihat semangat Hinata, ia ingat pada impiannya di masa lalu yang selalu memaksa Hinata untuk lebih kuat. Dulu Hinata lemah, tapi kini Hinata jauh lebih kuat dan semangat berlatihnya berlipat ganda. Justru sebenarnya inilah yang sejak lama diharapkan Hiashi.
“Kau masih sanggup, Hinata?” tanya Hiashi memastikan.
Hinata menjawab pertanyaan tersebut dengan maju ke tengah halaman lalu memasang kuda-kudanya. Itu diartikan Hiashi sebagai jawaban ‘ya’ dari putrinya. Hiashi akhirnya setuju untuk ikut berlatih dan segera bersiap di samping Hanabi.
Mereka bertiga pun terlibat pertarungan hebat.
Tepat tengah malam, Hiashi menghentikan latihan mereka. Ketiganya duduk di dekat Ko dan ikut minum.
“Siapa ‘dia’ yang kau maksud?” tanya Hiashi tiba-tiba.
Hinata awalnya bingung apa maksud pertanyaan Hiashi. Tapi setelah diingat lagi, Hiashi pasti mendengar obrolannya dengan Ko sebelum ini. Tak ada yang perlu disembunyikan lagi, Hinata menjawabnya dengan jujur.
“Uzumaki Naruto.”
Hiashi terdiam sejenak, berpikir.
“Aku sudah mendengar isu peningkatan kekuatan Naruto yang pesat dari Kurenai. Dia cocok dijadikan target yang ingin kau kejar agar kau makin kuat. Kuakui perkembangan kekuatanmu memang pesat tapi untuk melampaui Naruto adalah hal yang sulit. Kau bahkan belum masuk jajaran ninja elit sekelas Sasuke, Lee, dan sepupumu Neji.”
Hinata menunduk. Perkataan ayahnya benar. Hiashi pun tahu kata-katanya tadi cukup menurunkan kepercayadirian putrinya, maka buru-buru ia menambahkan.
“Aku akan membantumu.”
“Benarkah?” tanya Hinata, kini ia menatap ayahnya lagi.
Hiashi mengangguk. “Besok pagi aku tunggu di lapangan berlatih utama Hyuuga. Ada jurus yang ingin kuajarkan.”
“Baik!”
Naruto mengumpulkan formulir ujian Chuunin paling pagi dibandingkan Sasuke dan Sakura karena setelahnya ia ingin tiduran di bukit Hokage. Ia tak tertarik untuk pamer kekuatan kepada para peserta dari desa lain yang baru datang ke Konoha.
Memang benar, Naruto sempat mengalahkan Sasuke di akademi. Tapi Naruto tak pernah menerima tantangan dari orang lain setelahnya, termasuk permintaan tanding ulang oleh Sasuke. Akhirnya banyak genin yang justu melihat Sasuke lebih layak jadi lawan, ketimbang Naruto yang cuek dan pemalas. Banyak yang ingin melawan Sasuke, ada Lee dan Neji kakak kelas Naruto yang sudah jadi genin sejak setahun lalu, ada Gaara genin dari Suna, dan banyak genin lain, baik dari Konoha maupun desa lain.
Naruto sengaja membuat dirinya inferior di mata orang di sekitarnya. Tujuan sebenarnya Naruto tak ingin terlalu memperlihatkan kekuatannya sebenarnya sederhana. Naruto pernah sok pamer di loop ke-2, hingga mengundang kecurigaan Hokage, bahkan sampai Naruto dikira gila karena bilang umurnya ratusan tahun. Di loop selanjutnya Naruto belajar untuk mengatur kekuatannya, ia akan sesuaikan tingkatan jurus dengan umur dirinya saat itu. Membuat orang lain takjub boleh saja, tapi tetap pada batas yang masuk akal.
Tidur siang Naruto hari itu terganggu saat ia merasakan chakra yang sangat familiar dari balik semak. Padahal Naruto tadinya berniat tidur sampai sore. Tubuhnya seolah sudah otomatis mendeteksi keberadaan orang lain meski ia sedang tidur sekali pun. Naruto sudah bangun, tapi kelopak matanya sengaja tak ia buka karena tahu siapa yang datang padanya.
“Kakashi sudah bilang, perkelahian di luar pertandingan resmi itu dilarang,” kata Naruto.
Orang yang mengendap-ngendap di balik semak adalah Hinata. Ia kaget karena Naruto tahu kedatangannya padahal ia sudah berusaha datang sepelan mungkin. Merasa tak perlu bersembunyi lagi, Hinata berjalan mendekati Naruto lalu duduk di sampingnya.
“Aku ke sini bukan untuk berkelahi denganmu. Aku ingin istirahat setelah latihan,” kata Hinata.
Naruto muak dengan basa-basi Hinata. Sejak awal Hinata tak pernah istirahat di bukit Hokage. Selain itu kalau ingin istirahat tak perlu mengendap-ngendap. Naruto ingin berkata demikian tapi itu akan memperpanjang percakapan mereka. Ia akhirnya memilih tetap diam dan menutup matanya. Akhirnya keduanya diam. Hinata yang terkenal pendiam harus berusaha ekstra keras menghadapi Naruto yang sekarang. Jika dirinya tak memulai pembicaraan maka Naruto tak akan bicara.
“Kau belum menjawab pertanyaanku dulu, kenapa kau berubah?” tanya Hinata langsung pada intinya.
Hinata melakukan kesalahan besar dengan bertanya demikian. Itu adalah pertanyaan yang dibenci Naruto. Kini ia membuka matanya namun masih berusaha untuk tenang dengan tetap tiduran di rumput.
“Aku berubah ke arah yang lebih baik. Sudah kubilang Naruto yang dulu, yang pecicilan dan pembuat onar itu sudah lama mati. Inilah aku yang asli,” gumamnya datar.
Hinata tersinggung ‘Naruto yang dulu’ yang amat disayanginya dibilang pecicilan dan pembuat onar. Maka dengan memberanikan diri Hinata berkata, “Jangan membodohiku. Aku memperhatikanmu sejak kita berumur 6 tahun. Sejak kau menyelamatkanku dari anak-anak nakal.”
Kedua tangan Naruto mengepal.
“Naruto yang asli adalah yang dulu, bukan kau yang sekarang. Aku-“
GREP!
Secepat kilat Naruto mendorong kedua pundak Hinata ke tanah. Diambilnya sebuah kunai lalu diarahkan ke kepala Hinata.
Hinata melotot, tak mengira Naruto akan menyerangnya. “N-Naruto!”
Ujung kunai mengayun cepat ke kepala Hinata. Ia ketakutan melihatnya sehingga memejamkan mata.
CRAK!
Tidak ada rasa sakit yang terasa. Perlahan Hinata membuka matanya. Kunai tadi menancap di tanah, beberapa senti saja di sebelah kiri kepala Hinata.
“Aku meleset karena bangun tidur. Ini peringatan kedua. Jika kau berusaha mendekatiku lagi, aku pastikan kunai-ku tak akan meleset lagi dari kepalamu,” kata Naruto dingin.
Kedua tangan Hinata bergetar, tak bisa digerakkan. Naruto tak segan untuk berusaha membunuhnya. Ternyata meskipun ia sudah berlatih dengan Kurenai, Hanabi, Hiashi, dan Ko, dirinya masih kalah jauh dari Naruto yang anehnya bisa kuat meskipun jarang latihan. Refleks Hinata masih lemah saat diserang secara tiba-tiba. Hinata merasa tak berdaya di hadapan Naruto.
Naruto tersenyum melihat reaksi ketakutan Hinata. ‘Kuharap ini akan menghentikanmu,’ pikir Naruto. Naruto beranjak kemudian berjalan santai menuruni bukit dengan kedua tangan yang disimpan di belakang kepala, meninggalkan Hinata yang masih ketakutan.
Hinata mengangkat kedua tangannya yang masih bergetar. Dilihatnya kedua telapak tangannya yang lembap karena keringat itu. Berulang kali kedua telapak tangannya dikepalkan untuk mengurangi efek ketakutan. Ia harus mengalahkan rasa takutnya jika ingin mencari tahu kebenaran tentang Naruto. Langkah Hinata akan terhenti di sini jika ia takut kepada gertakkan Naruto.
Bukankah ia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Naruto?
Hinata mengambil kunai yang masih menancap di tanah, kemudian berdiri, lalu…
BLESH!
Ia menusukkan kunai itu ke punggung tangan kirinya.
Darah segar mengalir dari tangan kiri Hinata. Diikuti rasa nyeri yang menjalar hingga ke sekujur lengan. Hinata tak pedulikan rasa sakit di sana, yang terpenting adalah ia bisa menghilangkan rasa takutnya, yang penting kedua tangannya berhenti bergetar. Ternyata cara itu sukses untuk menghentikan rasa takutnya atas Naruto. Hinata harus percaya pada dirinya sendiri. Apalagi kini ia sudah menguasai jurus yang telah diajarkan Hiashi.
“Aku akan mengalahkanmu di ujian chuunin dan memaksamu bicara!” teriak Hinata.
Naruto berhenti tanpa menoleh ke belakang. Kalau saja Hinata tahu, sekarang Naruto sedang menunjukkan reaksi wajah tak percaya. Lagi-lagi cara yang dilakukannya untuk menjauhkan Hinata dari kehidupannya gagal. Lagi-lagi Hinata bertindak ke arah yang berlawanan dengan yang diprediksi Naruto.
Naruto tak ingin Hinata melihat reaksi wajahnya. Maka cepat-cepat ia berteriak untuk menghilangkan kekagetannya, “Teruslah bermimpi, Hyuuga.” Setelah itu Naruto segera melanjutkan perjalanannya.
Naruto dan Hinata lolos ujian Chuunin babak pertama (tes tertulis) dan kedua (survival) tanpa kesulitan yang berarti. Memasuki pra-babak ke-3, Naruto mengalahkan Kiba juga dengan cara yang mudah. Tentunya tidak dengan cara mengentuti Kiba seperti di kehidupan pertamanya.
Hyuuga Hinata VS Hyuuga Neji.
Itulah tulisan yang tertera di layar. Sekarang saatnya bagi Hinata untuk bertarung.
Hinata terkejut karena yang jadi lawannya adalah sepupunya sendiri yang berumur setahun lebih tua dan merupakan kakak kelas mereka di akademi. Neji dijuluki seorang Hyuuga genius dan merupakan lawan yang disegani bahkan oleh teman satu timnya sendiri, Lee. Hinata pun tentu tahu sekuat apa Neji karena pada berbagai kesempatan di Hyuuga Mansion, Hinata pernah melihat kakaknya berlatih.
“Heh, kita tak akan bertemu di final. Langkahmu akan terhenti di sini,” ejek Naruto kepada Hinata.
Sebersit ketakutan Hinata terhadap Neji ternyata disadari Naruto yang berdiri tak jauh di sampingnya. Hinata tak ingin Naruto menyepelekannya semudah itu. Ia segera turun ke arena. Sementara Naruto bersila di belakang.
“Kau tak ingin melihat pertarungan mereka, Naruto?” tanya Sakura.
Naruto menggeleng pelan. “Hinata sudah pasti kalah.”
Semua kaget mendengar jawaban Naruto. Apa salah Hinata kepada Naruto? Seingat mereka Hinata itu bukan tipikal orang yang suka berbuat onar atau membuat orang lain kesal. Apa yang membuat Naruto seolah benci kepada Hinata selama 3 tahun terakhir ini? Sakura hanya angkat bahu, sementara yang lain memilih menonton pertandingan Hinata dan Neji.
Di bawah sana pertarungan sudah di mulai. Neji berusaha membuat mental Hinata turun dengan menceramahi Hinata.
“Hinata-sama, sebelum bertarung aku akan memperingatimu satu hal. Menyerahlah. Kau tidak cocok jadi ninja. Kau terlalu baik. Kau hanya mengikuti orang lain. Perkembangan kemampuanmu selama tiga tahun ke belakang belum cukup. Kau tak bisa berubah secepat itu. Pecundang tetaplah pecundang. Kau-“
“Cukup, Nii-san,” potong Hinata, membuat Neji kaget. “Kenapa tidak memberi kesempatan kepada pecundang sepertiku untuk melawanmu? Tentunya mengalahkan pecundang merupakan hal yang mudah untukmu ‘kan?” tanya Hinata dengan wajah yang serius. Bahkan Kurenai tak pernah melihat wajah muridnya seserius ini.
Neji tak membuang waktu lagi. Ia mengaktifkan bola mata byakugan-nya dan langsung menyerang Hinata. Hinata melakukan hal yang sama. Mereka saling menyerang dengan pola penyerangan yang nyaris sama, gerakan taijutsu khas klan Hyuuga.
Serangan Jūken berantai yang dilakukan Hinata berhasil ditangkis Neji. Neji tak menyangka Hinata akan mampu memberi perlawanan sesengit ini. Dua puluh menit terbuang percuma hanya untuk meladeni Hinata. Saatnya ia serius.
Neji menangkap tangan kanan Hinata lalu menariknya. Badan Hinata ikut tertarik ke arah Neji, selanjutnya Neji mengincar leher Hinata dengan Jūken miliknya. Kini leher Hinata hanya berjarak 15 senti saja dari serangan Neji.
‘Kena kau!’ pikir Neji.
Di detik-detik terakhir, Hinata berhasil melepas pegangan Neji. Hinata lalu memanfaatkan kondisi kedekatan tubuh mereka sebagai satu kesempatan untuk ikut menyerang. Hinata menyiapkan serangan yang sama ke arah perut Neji.
“Jūken!” “Jūken!”
BLAST!
Pukulan Neji mengenai dada Hinata, meleset dari yang asalnya ditujukan ke leher. Sementara pukulan Hinata mengenai perut Neji.
“Uhuk!”
‘Pasti sekarang Hinata sedang muntah darah,’ batin Naruto.
“Hinata muntah darah!”
‘Sudah kubilang-‘
“Neji juga muntah darah!”
‘Apa?!’
Naruto buru-buru beranjak dari tempatnya dan melihat ke arah arena. Kejadian di loop ke-18 kembali mengarah ke alur baru yang melenceng dari yang diprediksi Naruto. Di masa ini Hinata bisa mengimbangi kekuatan Neji!
Hinata dan Neji tersungkur ke lantai. Keduanya tengah berusaha keras untuk bangkit dengan susah payah. Neji berhasil bangun duluan sementara Hinata masih berlutut dengan napas yang tak teratur. Neji kemudian membuat kuda-kuda yang masih diingat Naruto. Hinata tak terlihat akan mundur sedikit pun, justru ia berusaha keras untuk bangun juga.
“Menyerahlah bodoh!” teriak Naruto. Pegangannya ke pagar besi di pinggir arena semakin kuat hingga besi tersebut melengkung. Naruto tahu Hinata mendengar teriakannya, tapi gadis itu tak peduli, ia malah melengkungkan bibirnya, tersenyum.
“Jūkenhō: Hakke Rokujūyon Shō!” seru Neji.
Terlambat! Neji akan mengarahkan serangannya ke 64 titik chakra di tubuh Hinata.
“Jūkenhō: Hakke Rokujūyon Shō!”
Di luar dugaan, Hinata melakukan jurus yang sama. Itu jurus yang diajarkan Hiashi padanya.
Untuk kedua kalinya Neji dan Hinata beradu jurus yang sama. Setiap titik dari titik ke-1 sampai ke-64 mengenai tubuh lawan mereka masing-masing. Keduanya terhuyung dan kembali jatuh ke lantai arena.
Naruto bingung. Kenapa Hinata bisa menguasai jurus itu? Setahu Naruto, Hinata tak menguasai jurus itu saat ujian Chuunin.
Wasit memperhatikan keduanya. Tak ada yang bangun, keduanya tak mampu untuk berdiri. Dua tim medis sudah bersiap dengan 2 tandu mereka karena melihat dua peserta mengalami luka parah.
Hinata berusaha keras untuk bangun tapi kedua kakinya sulit digerakkan. Kedua penglihatannya kabur. Ia sudah akan menyerah tapi ia ingat kata-kata seseorang. Bocah pirang yang dikenalnya bertahun-tahun yang lalu. Dia sering bilang, “Jadi Hokage adalah impianku. Aku tak akan melanggar janjiku. Itu adalah jalan ninjaku!”
Jika Hinata menyerah sekarang ia tak akan bisa melawan Naruto di final. Ia tak akan bisa memaksa Naruto untuk mengatakan kenapa ia berubah. Ia juga tak akan bisa melanjutkan impian bocah pirang yang ia sayangi untuk jadi Hokage.
Wasit mulai menghitung 1 sampai 10. Saat di hitungan ke-9 tak ada yang bangun, ia mengangkat tangan dan berkata “Karena tak ada yang mampu melanjutkan pertandingan, kunyatakan kedua peserta dalam pertandingan ini ka-“
“T-tunggu.”
‘Aku tak akan melanggar janjiku!’ batin Hinata. Perlahan tubuhnya bangkit.
“Aku masih bisa berdiri,” kata Hinata pelan. Akhirnya ia berhasil berdiri tegak di tengah arena.
Hening.
“Pemenangnya, Hyuuga Hinata!” seru sang wasit.
Terdengar sorak kegirangan dari pinggir lapangan. Sakura dan yang lain menyoraki kemenangan Hinata. Ia salut pada Hinata, padahal Neji adalah lawan yang kuat. Satu-satunya yang diam di pinggir arena adalah Naruto. Ekspresinya tak bisa ditebak.
Neji ditandu ke luar arena menuju ruang medis. Hinata juga disarankan untuk ikut ke ruang medis karena lukanya tak kalah parah. Sebelum Hinata ikut ke ruang medis, ia meminta izin untuk bicara.
“Naruto,” panggil Hinata. Perhatian Naruto kini tertuju pada gadis berambut indigo tersebut. Begitu juga dengan semua yang hadir di sana. Hinata lalu mengusap darah yang mengalir deras dari bibirnya dengan tangan kanan. Kemudian tangan kanannya dikepalkan dan diarahkan kepada Naruto. “Demi darah ini, aku berjanji akan mengalahkanmu di final!”
Naruto melotot, tak percaya Hinata melakukan hal yang persis sama seperti yang pernah dilakukannya. Dengan perasaan yang tak tentu Naruto berjalan meninggalkan area penonton tanpa berkata apa-apa.
BRUK!
Di lorong menuju pintu keluar, Naruto meninju dinding hingga retak.
‘Aku akan mengalahkanmu di final jika itu satu-satunya cara untuk menjauhkanmu dariku, Hyuuga Hinata!’
To Be Continue…
© rifuki
The Infinite Loops – Chapter 1
The Infinite Loops – Chapter 2
The Infinite Loops – Chapter 3
The Infinite Loops – Chapter 4
The Infinite Loops – Chapter 5
The Infinite Loops – Chapter 6
The Infinite Loops – Chapter 7
The Infinite Loops – Chapter 8 (End)